BAB 6

7K 486 9
                                    


Hari ini aku tidak masuk sekolah. Saat ini, aku dan kedua orang tuaku pergi menghadiri acara pemakaman. Isak tangis mewarnai proses pemakaman. Tak luput dari pandanganku, Deya yang terisak berat di samping gundukan tanah yang masih basah. Begitu pula kedua orang tuanya.

Ya, ini adalah acara pemakaman adik perempuan Deya yang meninggal dunia kemarin. Itulah alasan mengapa Deya tak dapat mengikuti kegiatan belajar sepulang sekolah kemarin.

Alya Nadira, adalah adiknya yang hanya dua tahun lebih muda dari Deya. Nadira meninggal saat sedang mengikuti kegiatan berkemah bersama teman-teman sekolahnya di hutan yang letaknya di ujung kota.

Menurut kabar yang kudengar dari orang tua Deya, Nadira ditemukan meninggal ditengah-tengah hutan dengan keadaan tubuh yang mengenaskan. Usus-ususnya terurai keluar, isi perut nya berantakan, serta kepala belakangnya yang pecah akibat terbentur batu besar.

Ku pikir awalnya Nadira meninggal akibat serangan binatang buas. Namun itu tidak mungkin karena aku tahu pasti kalau hutan itu telah di nyatakan bebas dari binatang buas oleh walikota. Sehingga para siswa atau masyarakat yang ingin berkemah di sana pun tidak perlu terlalu khawatir. Dan hutan itu juga tidak terlalu luas.

Tapi setelah mendengar penjelasan lanjut dari orang tua Deya, barulah aku tahu kalau Nadira bukanlah meninggal terbunuh binatang buas, melainkan dibunuh oleh seseorang. Karena saat diperiksa, organ penting dalam tubuh Nadira tidak ditemukan.

Lagi-lagi ini terjadi. Penemuan mayat tanpa organ dalam.

***

Aku duduk di taman belakang rumah Deya. Ayah dan Ibu sedang di dalam menemani orang tua Deya dan juga Deya.

Entah kenapa, melihat kesedihan serta ketakutan yang terpancar dari mata Deya saat di pemakaman tadi membuatku teringat akan kak Gita. Kakak perempuan ku yang kuliah di luar kota. Legita Ressie adalah nama lengkapnya. Ia kakak yang usianya tiga tahun di atasku.

Seakan menular, aku jadi takut bagaimana jika kak Gita bernasib sama dengan Nadira? Sepertinya aku tidak akan kuat. Ku tepis semua pikiran buruk itu. Menarik nafas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri.

Ku tatap ponsel ku. Aku mencari nomor kontak kak Gita dan menghubungi nya. Ku pikir tak ada salah nya menanyakan kabarnya. Nada sambung terdengar. Aku menunggu agak lama hingga terdengar suara kak Gita di seberang sana.

“Halo..” sapa kak Gita.

Aku menarik nafas terlebih dulu, lega mendengar suara kak Gita yang tampak baik-baik saja.

“Hai kak,” balas ku.

“Tak biasanya kau menghubungiku lebih dulu,” ujar kak Gita, “Kau memerlukan sesuatu? Atau ayah memotong uang saku mu lagi?” curiganya membuat ku terkekeh pelan.

Yah, tak heran. Memang biasanya aku akan menghubungi kak Gita jika ada perlu nya saja.

“Bukan,” jawab ku singkat.

“Lalu?”

“Tidak ada. Hanya ingin tahu kabarmu saja.”

Hening sejenak. Hanya desah nafas yang terdengar, “Kau baik-baik saja?” tanya kak Gita. Ia selalu bisa mengerti keadaan tanpa harus dijelaskan. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang.

“Kau ingat Nadira adik Deya?”

“Ya, si gadis kecil berkacamata yang dulu pernah ikut Deya menginap dirumahnya kita itu bukan?” Kak Gita sepertinya sedang menerawang, “Ada apa dengannya?”

“Dia telah meninggal dunia kemarin,” ucap ku lirih.

“Oh Tuhan,” kaget suara di seberang sana, “Apa yang terjadi?”

“Dia meninggal saat sedang berkemah,” jelasku, bibirku mulai bergetar, Isak tangis tak lagi dapat ku tahan, “Organ dalam nya hilang, bahkan seluruh isi perut nya keluar. Sepertinya ia di bunuh seseorang.”

Aku berusaha menghentikan tangis dengan menghapus air mata ku, ”Entahlah, melihat Deya menangis dan ketakutan seperti tadi membuatku teringat padamu dan aku mulai takut.”

Kali ini kudengar kak Gita menghela nafas, “Tak akan ada yang terjadi padaku. Aku akan baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir, oke?” ujar kak Gita lembut. Aku tahu itu hanya kata-kata untuk menenangkan ku saja. Aku mengangguk, walau aku tahu dia tak dapat melihatnya.

“Yang perlu kau khawatirkan adalah Deya. Kau lihat sendiri ia sedang sedih dan ketakutan, ia pasti membutuhkan mu untuk berada disisinya,” lanjut kak Gita membuat ku sadar kalau kata-katanya benar. Ada baiknya aku menemani Deya sekarang. Aku jadi egois karena memikirkan ketakutan ku sendiri.

“Kau benar kak, sebaiknya aku menemui Deya. Jaga kesehatan mu, selalu kabari aku, oke?”

“Tentu saja adikku tersayang.”

Aku tersenyum mendengar nya, kurasa ini kali pertama ia memanggilku adik tersayang.

“Baiklah, dah.”

Aku menutup telepon dan bangkit berdiri segera masuk ke dalam rumah. Aku melihat orang-orang yang tadi datang memberikan ucapan belasungkawa sudah pada pulang. Ayah, Ibu dan kedua orang tua Deya sedang duduk di kursi ruang tengah. Ibu Deya masih menangis di pelukan Ibu, walau tidak separah saat di pemakaman tadi. Kulihat Ayah sedang berbicara dengan Ayah Deya, sepertinya sedang berusaha menguatkannya.

Tapi aku tidak melihat Deya. Aku menghampiri mereka dan bertanya dimana Deya. Ibu nya menjawab kalau Deya ada dikamar adiknya. Aku pun segera menyusul ke kamar.

Pintunya sedikit terbuka. Ku ketuk perlahan dan mengintip kedalam. Deya sedang duduk ditepi ranjang memegangi foto dirinya dan Nadira. Posisinya memunggungi ku, menghadap jendela.

Aku masuk dan duduk di samping nya. Deya sedikit terkejut, kurasa ia tidak mendengar kedatangan ku. Aku memeluk nya dari samping.

“Kau harus kuat. Nadira pasti juga tak suka melihat mu larut dalam kesedihan. Kau tidak sendiri, kau masih punya aku. Aku akan selalu ada untuk mu,” ujarku lirih berusaha menguatkannya.

Deya tidak menyahut. Hanya terdiam memandangi foto dirinya dan Nadira. Air mata mengalir di pipinya. Deya menangis tanpa suara. Dadaku ikut sakit melihat nya seperti itu. Aku mencoba menghapus air matanya, namun tiba-tiba Deya menepis tanganku.

“Pergi lah Lans, aku sedang tidak ingin di ganggu.”

Aku sedikit tersentak. Ucapannya begitu dingin. Bahkan tatapannya pun dingin mengarah lurus ke depan. Keluar jendela. Ia seolah tak ingin memandangku. Seperti bukan Deya yang ku kenal.

Entahlah, mungkin dia memang membutuhkan waktu sendiri. Aku harus bisa memaklumi nya. Aku beranjak dari tepi ranjang dan berjalan kearah pintu. Namun sebelum keluar, aku kembali menoleh menatap Deya.

“Jika kau butuh seseorang, kau tahu kau bisa menghubungi ku. Aku akan selalu siap untukmu,” ujarku mengingatkan nya. Lalu melangkah pergi dari ruangan.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang