BAB 8

6.8K 514 11
                                    

Aku mengaduk-aduk makan malam ku tak berselera. Mataku menatap makan malam ku, tapi pikiran ku tidak kesana. Pikiran ku tertuju pada kejadian saat pulang sekolah bersama Azra di rumah Deya.

“Liandra jangan mainkan makanan mu seperti itu,” tegur Ayah membuatku tersadar dari lamunanku. Hanya Ayah yang masih memanggilku dengan nama depanku.

Padahal aku sudah menyuruh semua orang untuk memanggil ku dengan nama belakang saja. Nama depan itu sangat panjang untuk dijadikan panggilan menurutku.

Ku letakkan sendok diatas piring dan meneguk sedikit air.

“Apa ada masalah?” tanya Ibu tiba-tiba. Aku hanya menggeleng.

“Aku hanya sedang tidak lapar Bu, sebentar lagi ujian, dan aku hanya ingin belajar sekarang,” kilah ku dan langsung meninggalkan meja makan. Kudengar Ayah menghela nafasnya berat. Lalu Ibu yang mmperingatkan ku agar tidak memaksakan diri dalam ujian.

Aku hanya melenggang pergi tanpa sekali pun membalikkan badan. Aku sedang tidak ingin menanggapi siapapun sekarang. Hatiku sedang sedih. Aku hanya ingin menangis.

***

Flashback On...

Aku dan Azra tiba dirumah Deya setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit. Waktu yang cukup cepat menurutku. Ini karena Azra sedikit mengebut di jalanan tadi.

Aku turun dari atas sepeda motor dan langsung berjalan kearah pintu rumah Deya lalu memencet bel disusul Azra yang kini berdiri disampingku merapikan rambutnya. Tiga kali aku memencet bel dan pintu pun terbuka.

Seorang wanita paruh baya menyambut kami. Itu pembantu rumah tangga dirumah Deya. Dia tersenyum mempersilahkan kami masuk tanpa bertanya karena sudah mengenalku. Aku sering main dan menginap dirumah Deya dari dulu sejak kami sudah mulai saling mengenal saat kelas lima Sekolah Dasar.

Saat itu tante Maya, ibunya Deya juga ikut menyambut kedatanganku dan Azra. Wajah nya yang biasa lembut dan ramah, kini terlihat lelah dengan lingkaran hitam tercetak jelas di bawah matanya yang bengkak.

“Tante baik-baik saja?”

Tante Maya memelukku, “Tentu saja, tante tidak apa-apa,” jawabnya melepaskan pelukannya dan tersenyum tenang.

Aku hanya menghela nafas. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan tante Maya walau tante Maya mengatakan ia tidak apa-apa.

“Lans sendiri bagaimana, sekolah mu lancar?” tanya tante Maya. Ku jawab dengan anggukan. “Dan siapa ini?” tanya tante Maya. Pandangannya tertuju pada Azra.

“Saya Azra Mahendra tante, teman satu sekolah Lans dan Deya,” Azra mengulurkan tangannya dan menyalami tante Maya.

“Dia juga tetangga ku tante,” jelasku dengan sengaja. Disusul dengan tatapan tak percaya milik tante Maya. Aku hanya mengusap hidungku salah tingkah. Tante Maya mengenal nama Azra tapi tak tahu wajahnya. Dulu aku pernah menceritakan pada tante Maya perihal Azra, laki-laki yang aku suka.

“Oh begitu,” ujar tante Maya mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku jadi semakin salah tingkah. Disisi lain aku senang melihat tante Maya yang sudah mulai bercanda.

“Kami ingin mengjenguk Deya tante,” jelasku.

“Deya ada di kamar Nadira. Dia benar-benar tidak ingin meninggalkan kamar itu, tante sangat khawatir.”

Ketimbang dirinya, tante Maya lebih mengkhawatirkan keadaan Deya yang masih saja mengurung diri di kamar Nadira.

“Tante minta tolong agar kalian bisa membuatnya kembali seperti dulu. Tante merasa sedih melihatnya yang terus menerus mengurung diri dan memikirkan kematian adiknya.”

Aku mengangguk, “Akan aku usahakan tante. Aku juga tidak ingin melihatnya sedih terus seperti ini,” jawabku. Tante Maya pun mempersilahkan ku dan Azra untuk menemui Deya. 

Aku dan Azra pun menuju kamar Nadira. Aku mengetuk pintunya namun tak ada jawaban. Aku membuka sedikit dan memasukkan kepalaku melihat kedalam. Sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Duduk ditepi ranjang menghadap keluar jendela memegangi foto Nadira.

Aku membuka pintu lebih lebar dan masuk kedalam. Azra hanya masuk dan menunggu di dekat pintu. Aku duduk disamping Deya. Aku memegangi tangannya.

“Hei..” sapaku pelan. Deya sedikit terkejut, kelihatan kalau ia tidak sadar akan kedatanganku. Dia melirik ku sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela.

“Kau baik-baik saja?”

Deya tampak menghela nafas, “Apa aku terlihat baik-baik saja?” ujarnya dengan nada dingin. Aku tahu kalau dia tidak baik. Tapi aku bertanya hanya untuk berusaha membuatnya tenang. Kenapa Deya malah menjawab ku dengan dingin seperti ini?

“A-aku tahu. Tapi kau tak harus bersedih terus seperti ini. Kau harus bisa menerima kenyataan dan kembali bangkit,” jawabku berusaha tetap tenang.

“Heh! Bagaimana denganmu? Jika kakak mu meninggal seperti yang adikku alami, apa kau bisa untuk tetap merasa baik-baik saja?” tanya Deya semakin dingin dan marah. Apa salah ku? Kenapa Deya jadi pemarah seperti ini? Bagian mana dari kata-kataku yang salah?

Aku terdiam. Aku bingung harus menjawab apa. Deya bertanya dengan nada dingin seperti itu membuat ku bingung, aku tahu kalau aku tidak akan baik jika kakak ku meninggal dunia dengan cara tragis seperti itu.

Seakan mengembalikkan ku kedunia nyata, pertanyaan itu menusuk ku dan membuat ku sadar dimana pada kenyataannya kematian akan mendatangi siapa saja tanpa pilih-pilih.

“Jawab aku Lans. Apa kau bisa?” tuntut Deya. Tatapannya tajam kearahku.

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang