write the agreement
.
.
.HARI-hari ujian ternyata terasa begitu lama. Bahkan meski ini hari terakhir pelaksanaannya. Neiva bosan lama-lama menunggu UAS selesai. Enam belas mata pelajaran, dua mata pelajaran setiap harinya. Delapan hari ia habiskan untuk mengerjakan soal-soal yang setiap mata pelajaran berjumlah 50 soal pilihan ganda dan 5 essay itu. Terlalu lama.
Karena adanya UAS, setiap pulang sekolah, Sadam sering mengajaknya belajar bersama. Mereka akan menetap di sekolah untuk mempelajari materi yang akan diujikan besok. Berhubung otak Sadam juga tidak perlu diragukan, Neiva dengan senang hati mengikuti kegiatan itu. Namun, bukan hanya Neiva. Kebanyakan anak-anak X MIPA 7 juga mengaku ingin ada kegiatan belajar bersama seperti hari-hari biasa seperti sebelum ulangan hingga akhirnya semua anak yang berminat menyetujui, mengganggu rencana belajar Neiva dan Sadam yang tadinya hanya berdua.
Rissa termasuk yang paling bersemangat akan hal itu seakan belum puas berusaha meminimalisir kedekatan Neiva dan Sadam dengan caranya. Yang kerap kali membuat Neiva kesal, perempuan overdosis pencitraan itu sering memasang wajah bersedih dan khawatir karena tidak ada kendaraan yang bisa membawanya pulang padahal waktu belum terlalu sore. Kadang ada saja alasan yang membuat Neiva terganggu. Pernah satu kali Neiva dan Sadam harus menemani Rissa sampai mendapat jemputan, bahkan Neiva pernah gagal pulang bersama Sadam karena teman rangkap pacar itu diminta Rissa untuk mengantarkan pulang.
Yang mengganggu pikiran Neiva, dari semua orang yang ada, kenapa harus Sadam? Baiklah, bagi Rissa mungkin karena jelas masih mengejar Sadam sampai sekarang. Tetapi kenapa Sadam jarang menolak setiap kali direpotkan oleh perempuan itu? Bukankah Sadam bisa saja mengatakan bahwa ia akan mengantar Neiva yang ayahnya sudah berkali-kali telepon? Ketika Sadam tidak ragu memilih meninggalkan Neiva dan mengantar Rissa pulang, mengapa Sadam tidak bisa tidak ragu untuk membiarkan Rissa alih-alih bersimpati?
"Dam, kamu bisa stop care ke Rissa ngga?" tanya Neiva dengan tegas saat mereka sedang berjalan ke parkiran motor.
Sadam menoleh, mengerutkan kening di depan Neiva yang tampak kesal. Neiva memanggilnya dengan nama dan itu bukan hal yang bagus untuk didengar. Sebab selama beberapa minggu pacaran, Neiva memanggilnya "Ay" jika mereka hanya sedang berdua.
"Aku nggak care ke dia, Neiva," kata Sadam dengan lemah lembut.
"Dam kamu pernah ninggalin aku buat pulang sendiri, dan lebih milih nganterin dia pulang lho! Oke, aku emang nggak pernah bermasalah mau pulang sendiri juga. Tapi fakta hari itu kamu lebih milih dia daripada aku bikin aku kesel, tau! Belum lagi dia mepet-mepet kamu mulu kalo lagi belajar bareng. Katanya kamu nggak suka sama dia, tapi kenapa capernya dia tetep kamu ladenin?"
"Aku minta maaf soal waktu itu. Kamu tahu sendiri Rissa hari itu maksa banget. Aku juga nggak tahu harus kasih alesan apa lagi buat nolak dia karena bener kata dia, kamu masih bisa nunggu bis." Saat sudah sampai di tempat di mana Sadam memarkirkan motornya, laki-laki itu mengambil helm Neiva, memasangkannya di kepala mungil itu tanpa aba-aba. Helm gadis itu memang suka ditinggal di jok motornya, alasannya biar Neiva tidak repot karena kalau pagi ia lebih sering berangkat sendiri.
"Dam, ngga usah dipakein!" protes perempuan itu tak terima.
"Ayo go public aja, Neiva. Biar aku bisa kasih alesan masuk akal kalo dia minta ini itu. Biar aku bisa kasih alesan kenapa aku lebih prioritasin kamu daripada orang lain."
Neiva memahami masalah Sadam. Ini semua karena ulahnya sendiri yang mempersulit. Kalau saja Neiva mau untuk lepas dari hubungan backstreet ini, benar kata Sadam, ia bisa memberikan alasan masuk akal kepada Rissa mengapa Sadam harus jauh-jauh darinya. Namun, Neiva masih takut. Ia takut apalagi sekarang bukan hanya anak kelasnya yang tahu kalau Rissa naksir Sadam terang-terangan. Ia benar-benar takut dimusuhi orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Write the Stars
Teen Fiction[13+] Di buku catatannya, Neiva dengan tanpa beban melukis garis-garis perjalanan hidupnya untuk masa depan. Rencana yang matang, otak yang gemilang, ayah yang mendukung, meyakinkan bahwa dirinya mampu mengalami garis-garis nasib yang ia buat sendir...