Dulu, ketika dirinya menduduki bangku sekolah di Taman Kanak-Kanak, Neiva bingung kenapa orang-orang diantar oleh seorang wanita sementara ia tidak. Ia diantar oleh ayahnya pada hari-hari pertama masuk sekolah. Saat kedua eyangnya masih hidup, kadang-kadang mereka bergantian mengantarnya. Oma biasanya sudah menyiapkan bekal lucu untuk dimakan di sekolah. Tapi, ia tidak pernah mengerti bahwa dalam satu keluarga, seharusnya ada satu anggota lain.
Kata Bu Guru di taman kanak-kanak, ibu adalah orang yang melahirkan kita. Neiva memperhatikan semua orang. Teman-temannya, semuanya punya ibu. Mereka diantar sekolah oleh ibunya. Pulang bersama ibunya. Dibuatkan bekal oleh ibunya. Bahkan guru di sekolah Neiva adalah sepasang ibu dan anak yang bekerja bersama-sama di sekolah itu. Neiva punya Oma, tapi Oma bukan ibunya. Oma adalah ibu dari ayahnya. Bahkan ayahnya punya ibu. Neiva tidak mengerti, kenapa semua orang punya ibu tetapi dia tidak.
Ketika teman-temannya bertanya di mana ibunya, Neiva hanya menggeleng. Di kepala dia, ibu adalah Surya. Tapi teman-temannya tidak mau mengerti. Kata teman-temannya, ibu seharusnya seorang perempuan sedangkan Surya adalah laki-laki. Mereka bertengkar, membuat kegaduhan di ayunan taman kanak-kanak. Neiva mendorong anak itu hingga jatuh, membuatnya diomeli oleh ibu dari anak itu. Di titik itu, dia baru sadar kalau ia tidak pernah punya ibu. Ia memang tidak punya ibu.
Namun, sejak kejadian itu, anak-anak di sekolah tidak pernah menanyakan soal ibunya lagi. Semua orang justru memandangnya dengan kasihan, memberinya permen ketika mereka punya lebihan, mengajaknya main perosotan bersama bahkan membagi bekal dan susu kotak mereka kepadanya. Ia senang dengan perhatian-perhatian itu.
Pernah, suatu saat, teman perempuannya yang selalu datang ke sekolah dengan jepit rambut dan kunciran warna-warni menanyainya, bagaimana bisa Neiva punya rambut panjang? Di masa sekolahnya, semua anak meskipun dia perempuan pasti berambut pendek. Ibu anak itu rutin memotong pendek rambut anaknya. Menjawab pertanyaan temannya, Neiva hanya mengendikkan bahu. Sebetulnya ia juga ingin punya rambut pendek. Lalu kemudian mereka bertanya lagi, kenapa Neiva selalu mengepang rambut? Kalau ini, dia tahu jawabannya. Karena ayahnya hanya bisa melakukan itu. Ayahnya tidak pandai menguncir rambut dengan gaya macam-macam dan pria itu suka sekali mengepang rambutnya. Jadi, Neiva hanya diam dan menurut. Anak itu kemudian meminta ibunya agar menguncir rambut Neiva supaya lebih bagus dan menggemaskan. Memberinya jepitan kecil-kecil. Membuat Neiva senang bukan main.
Lalu perlahan, semua hal yang terasa asing itu menumpuk di kepalanya. Bayangan pertanyaan apakah dirinya juga punya ibu memenuhi rongga pikirannya, tercampur menjadi satu, dan membuatnya tiba-tiba menangis ketika pulang sekolah.
Neiva menangis meraung kepada Oma, bertanya apakah dirinya punya ibu. Namun, pertanyaan kecilnya itu justru membuat Oma ikut menangis. Opa tak mau menjawab. Mau tidak mau, ia harus menunggu ayahnya.
"Ayah, kenapa di sekolah, cuma aku yang nggak punya ibu?" tanya Neiva malam-malam, ketika Surya membacakan buku dongeng pengantar tidur.
Pria itu paham benar lambat laun anaknya akan menanyakan ini. Ia menutup buku dongengnya, mengusap kepala putri kecilnya itu agar bisa segera tidur nyenyak. "Neiva punya ibu, kok!" jawabnya tenang.
"Oh iya? Kok aku nggak pernah lihat?" tanya anak itu.
Surya tersenyum pedih. "Ibu Neiva sekarang udah di langit."
"Kenapa Ibu di langit?"
"Neiva ingat Tompel, nggak?" tanya Surya, mengingatkannya dengan kucingnya yang meninggal beberapa bulan yang lalu. "Tompel itu sakit. Dia jadinya bobo yang lamaaaaa banget. Pokoknya dia nggak bisa bangun. Neiva inget nggak, waktu itu kita apain si Tompel-nya?"
"Kita kubur di belakang rumah," jawab anak itu dengan tenang.
Surya mengangguk. "Tompel kan dikubur, tuh. Malemnya, waktu kita bobo, malaikat bawa Tompel ke langit. Jadi cahaya di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Write the Stars
Dla nastolatków[13+] Di buku catatannya, Neiva dengan tanpa beban melukis garis-garis perjalanan hidupnya untuk masa depan. Rencana yang matang, otak yang gemilang, ayah yang mendukung, meyakinkan bahwa dirinya mampu mengalami garis-garis nasib yang ia buat sendir...