write his hope
.
.
.DETIK berjalan seirama dengan langkah kaki Neiva. Ia menuju ke ruang J, untuk kembali mengerjakan mading. Liburan hanyalah kebohongan baginya karena pada kenyataannya mereka berhutang untuk membuat mading bulan Desember. Padahal sebetulnya, tidak ada juga orang yang akan membaca karena semua orang berlibur.
Sebetulnya, selain anak-anak jurnalistik yang berangkat hari ini, ada beberapa anak lain juga yang datang ke sekolah. Umumnya anak-anak organisasi seperti OSIS, Pramuka, Rohani Islam, atau olahraga.
Kali ini Neiva bekerja sama dengan Savana untuk mengedit artikel sehingga mereka berdua cukup sibuk dengan laptopnya. Ruang J mereka kuasai karena di situ lebih nyaman, ditambah ada kakak kelas seperti Bara, Riani, ataupun Gio yang bisa dimintai konsultasi terkait pengeditan artikel. Selain itu, di ruang J juga sudah terdapat printer sehingga mereka bisa mencetak hasil artikel mereka dengan mudah tanpa harus pergi ke luar.
Sadam tahu hari ini Neiva datang ke sekolah. Tadinya ia hendak ikut, sekaligus membantu jika sewaktu-waktu pacarnya membutuhkan bantuan. Namun, pada akhirnya laki-laki itu kesiangan dan Neiva sebetulnya juga tidak berharap Sadam benar-benar datang karena itu akan membuatnya canggung. Sadam bukan anak jurnalistik. Dari kelasnya hanya ia dan Savana yang bergabung, jadi jelas Sadam tidak mungkin mengenal anak lain kecuali Bara, yang dulu pernah satu SMP dengan mereka. Meskipun begitu, Neiva rasa mereka tidak saling dekat karena Neiva pun baru tahu kalau Bara kakak kelasnya sejak SMP ketika ia sudah beberapa minggu bergabung.
"Udah dapet berapa artikel, Neiva? Savana?" tanya Bara dengan santun. Laki-laki itu sama halnya dengan Savana dan Neiva, mengedit artikel juga. Bedanya hanya temanya karena mereka lagi-lagi membuat dua mading dengan tema berbeda.
"Udah separuh, sih, Kak. Mau dicek dulu?" tanya Neiva ramah.
"Nggak perlu. Gue percaya sama lo. Nanti langsung diprint aja kalo udah selese. Itu lo udah sesuai template kan? Dari font sama desainnya?" balas Bara dengan senyuman meyakinkan.
"Udah, kok, Kak. Aman." Neiva mengacungkan jempol.
"Savana gimana? Lo butuh bantuan nggak?" Bara mengulangi pertanyaannya, sebab sejak tadi gadis itu terlihat sangat fokus sampai tak menjawab pertanyaannya.
Tanpa menoleh, gadis itu hanya mengacungkan jempol. "Aman-aman!"
Bara tersenyum dan mengangguk paham. Ia bisa mempercayakan artikel-artikel itu kepada mereka berdua karena dari evaluasi kemarin, penulisan mereka yang paling benar dan tertata. Selain jago desain dan editing, Bara membutuhkan orang-orang seperti mereka sebagai tulang punggung jurnalistik di masa yang akan datang, saat ia tidak menjabat lagi.
Neiva paham Savana sejak tadi banyak diamnya. Entah anak itu sedang benar-benar fokus, sakit, atau sedang punya masalah. Yang jelas, sejak pertama bertemu dengan sahabatnya di sekolah pagi tadi, Savana sudah cukup banyak diam. Padahal temannya di jurnalistik hanya Savana tapi ia justru dicueki sekarang.
"Kak Gilar ke sini lagi kah nanti?" tanya Riani tiba-tiba.
Mau tidak mau, Neiva mendengar berita itu karena telinganya tidak disumpal earphone seperti Savana sekarang. Jadi, ketika kakak kelas di depannya itu tiba-tiba menyeletuk menanyakan hal itu, Neiva bisa mendengar dengan jelas.
"Nggak tahu. Kenapa emangnya Ri? Nungguin ya?" ledek Gio iseng.
Neiva melirik, melihat Riani yang tersenyum malu. Sementara dari sisi Savana, melihat Neiva memfokuskan diri pada hal lain, ia akhirnya melepas earphone, ikut mencuri dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Write the Stars
Novela Juvenil[13+] Di buku catatannya, Neiva dengan tanpa beban melukis garis-garis perjalanan hidupnya untuk masa depan. Rencana yang matang, otak yang gemilang, ayah yang mendukung, meyakinkan bahwa dirinya mampu mengalami garis-garis nasib yang ia buat sendir...