Denia saat ini sudah berdiri tepat di depan gerbang tinggi rumah Veron. Ia mengiggit bibirnya saat tangannya terjulur untuk memencet bel namun kembali ia urungkan untuk ke sekian kalinya.
Apakah memencet bel selalu sesusah ini?
Denia menarik dan menghembuskan napasnya mencoba memantapkan hatinya. Seharusnya tadi ia mengajak Davian supaya ia tidak gugup dan sedikit takut seperti saat ini.
"Ayo Den ini cuma Veron bukan setan." Denia berucap lirih menyemangati dirinya sendiri.
Setelah sepersekian detik menguatkan mentalnya Denia memencet bel di hadapannya itu dengan pelan.
Tak berselang lama seorang wanita paruh baya membuka gerbang. Denia tersenyum kaku dan menyapa wanita di hadapannya itu. "Siang tante saya Denia adik kelasnya kak Veron, kak Veronnya ada?"
Wanita itu tersenyum ramah, "ada kok, ayo masuk."
Denia kemudian mengikuti langkah wanita tersebut memasuki rumah yang pernah ia sambangi sebelumnya.
"Kamu naik aja kamar Veron pintunya abu-abu. Tante masih ada kerjaan soalnya."
Wanita yang merupakan mama Veron itu kemudian beranjak meninggalkan Denia memasuki sebuah ruangan yang Denia duga adalah ruang kerjanya.
Denia perlahan menaiki tangga dan berhenti tepat di depan pintu. Ia merapikan seragam dan poninya memastikan bahwa penampilannya sudah rapi baru kemudian ia mengetuk pintu kamar Veron yang bernuansa abu-abu.
Denia membuka pintu dan melangkah masuk perlahan setelah mendapat seruan untuk masuk dari sang empunya kamar. Ini adalah kali pertamanya memasuki kamar seorang cowok selain kamar Davian.
Denia melihat ke sekeliling kamar Veron yang bernuansa abu-abu putih sangat berbeda dengan ruangan utama yang bernuansa warna pastel. Kamar Veron bisa dibilang terlalu rapi untuk kamar seorang cowok, berbeda sekali dengan kamar Davian yang menurutnya seperti kandang babi.
"Kak..." Denia memanggil nama Veron dengan ragu-ragu dari dekat pintu dan belum berani mendekati Veron yang duduk di atas sofa di bagian tengah kamar.
Penampilan Veron nampak kacau tak seperti biasanya. Rambutnya acak-acakan dengan kantong mata yang menghitam serta tatapan mata yang terlihat sayu seolah mengingatkan Denia akan keadaan dirinya beberapa bulan yang lalu.
"Ngapain lo kesini?" Veron menatap tajam Denia membuat gadis itu langsung menunduk.
Keraguan mulai muncul di benak Denia. Melihat penampilan Veron yang kacau membuatnya merasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk meminta tolong kepada cowok itu. Justru seharusnya ia lah yang menolong Veron.
"Kakak nggak pa-pa?" Denia balik bertanya dengan ragu-ragu. Nyalinya sungguh menciut melihat tatapan dingin Veron terhadapnya.
"Gue lagi pengen sendiri jadi mending lo pergi sekarang juga!"
Denia masih menunduk sambil sesekali bola matanya mencuri pandang ke arah Veron yang masih betah menatapnya dengan begitu dingin dan tajam.
"Kak aku cuma mau..."
"Gue bilang pergi ya pergi." Kali ini nada suara Veron mulai meninggi.
"Tapi kak,"
Veron menghela napas jegah kemudian mendekati Denia dan mendorong Denia keluar dari kamarnya hingga gadis itu jatuh tersungkur di lantai. Veron sedikit terkejut melihat Denia namun cowok itu cepat-cepat menutup pintu kamarnya enggan melihat Denia lebih lama.
Denia menatap pintu abu-abu di depannya dengan tatapan sedih tak mengira Veron bisa sekasar itu kepadanya padahal ia punya niatan baik kepada cowok itu.
"Auw..." Denia meringis kala kakinya terasa sakit sewaktu ia mencoba berdiri. Sepertinya kakinya terkilir.
Ia mengecek pergelangan kakinya yang tertutup kaos kaki putih dan menemukan semburat warna merah di sana. Dengan bertumpu pada tembok di dekatnya Denia berusaha bangkit dari posisinya.
Sedikit tertatih Denia menuruni satu persatu anak tangga yang akan membawanya ke ruang tengah rumah Veron.
Sesekali ia mengiggit bibirnya untuk mengalihkan rasa nyeri di kakinya. Denia berhenti sejenak begitu sampai di ujung anak tangga mengistirahatkan kakinya sejenak.
"Loh Denia udah mau pulang? Baru mau tante ambilin minum." Seruan dari Laisa --mama Veron-- mengejutkan Denia yang sibuk menunduk melihat kondisi kakinya.
"Nggak usah repot-repot tan." Denia tersenyum sungkan. "Denia mau pamit pulang dulu ya tante."
Denia menyalami Laisa kemudian berjalan menuju pintu utama rumah Veron. Laisa yang menyadari ada keanehan pada Denia kemudian menghentikan langkah Denia.
"Kaki kamu kenapa?" tanyanya sambil melihat ke arah kaki Denia.
'Ini gara-gara anak tante tau nggak?' Itu yang akan dikatakan Denia kalau saja yang dihadapannya sekarang ini bukan wanita yang ramah dan cantik seperti Laisa. Namun kata itu hanya Denia telan karena tidak mungkin ia berkata sekasar itu pada Laisa yang notabene jauh lebih tua darinya.
Denia kemudian hanya menggeleng sambil tersenyum, "Nggak pa-pa tan cuma tadi pas turun tangga aku kurang hati-hati jadi agak keseleo dikit."
"Beneran nggak pa-pa?" Laisa nampak khawatir membuat Denia merasa tidak enak hati.
"Beneran kok tan, nanti juga sembuh mungkin kaki aku cuma kaget," jawab Denia meyakinkan Laisa.
"Yaudah kamu pulangnya hati-hati ya."
Denia mengangguk kemudian melanjutkan jalannya untuk keluar dari rumah Veron.
🐣🐣🐣
Begitu sampai rumah Denia langsung menuju kamarnya dan sebisa mungkin ia menghindari untuk terlihat oleh orang rumah atau ia akan dihujani ribuan pertanyaan mengenai kakinya.
Seusai berganti Denia langsung mengecek ponselnya dan membalas beberapa pesan dari teman-temannya sembari duduk santai di balkon kamarnya.
Satu panggilan masuk membuat Denia hampir saja melemparkan ponselnya ke kolam renang di bawah balkon kamarnya.
Kak Veron.
Denia menatap layar ponselnya ragu untuk mengangkat telepon Veron atau membiarkannya saja.
Dengan penuh keraguan Denia akhirnya mengangkat telepon dari Veron. "Ha.."
Tiba-tiba panggilan terputus bahkan sebelum Denia menyelsaikan kata halo membuat keningnya mengernyit heran.
Tak berapa lama kemudian satu panggilan kembali masuk ke ponselnya dari nama pemanggil yang sama. Denia menghembuskan napas jegah. Sepertinya Veron sudah sembuh dari patah hatinya dan sekarang mencoba menggodanya dengan terus meneleponnya.
Denia kembali mengangkat panggilan tersebut namun ia hanya diam dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Halo," suara maskulin Veron terdengar.
Denia tetap memilih untuk bungkam tak berniat menjawab sapaan Veron.
"Sorry,"
Setelah mengucapkan itu panggilan kembali terputus.
Denia tersenyum sambil menatap layar ponselnya. Veron ternyata hanya ingin minta maaf kepadanya walaupun hanya singkat Denia bisa paham maksud cowok itu.
Denia mulai berpikir bahwa Veron ternyata tak sejahat yang ia kira. Cowok itu masih punya sisi manis yang tentu saja tak semua orang bisa melihat atau merasakannya.
Aku maafin kak :)
Denia mengirim pesan itu kepada Veron melalui aplikasi chat di ponselnya.
Denia kemudian menatap langit biru sembari tersenyum. Ternyata orang jahat pun punya sisi manis meskipun jarang diperlihatkan. Sama seperti Veron.
🐣🐣🐣
Yuhuu.. I'm back
🎨 11 Januari 2019
With love
DotterNatt yang udah selesai UASnya 😆

KAMU SEDANG MEMBACA
DENIA
Teen FictionDenia tidak menyangka bahwa hidupnya akan berubah 180 derajat setelah ia bertemu dengan Veron. Kakak kelas di sekolah barunya itu selalu saja membuatnya dalam masalah. Seolah itu tak cukup, Veron dengan tanpa berdosa memaksanya untuk menjalani hubun...