Enough is Enough

442 73 29
                                    

Get lost from my sight
Those cruel words
I spat out without hesitation
Anyone can see
I was a fool
Even if I’m sorry now
Nothing changes
I know 
(Fool by WINNER)
***

Irene memukul dahinya sendiri saat menutup pintu kamar rawat Mino. Dia malu setengah mati dengan tindakan yang tadi dia lakukan. Jangan tanya dia kenapa dia bisa sebenerani itu. Demi Tuhan, dia mencium Song Mino!

Jemarinya menyentuh bibir yang baru saja merasa mendapat teman yang sangat nyaman. Semburat merah muncul di kedua pipinya, dengan senyum mengembang, sekali lagi dia memukul kepalanya sebagai hukuman atas tindakan konyol yang dia lakukan.

Irene tak tahu bagaimana menghadapi Mino setelah ciuman tadi, jadi Irene memilih untuk mengamankan dirinya dan izin keluar ruangan. Dia kasihan pada jantungnya jika terus berada di satu ruangan dengan Mino.

Sekali lagi Irene menyentuh bibirnya dengan senyum yang semakin lama semaki lebar. Itu adalah ciuman terbaik yang pernah ia alami sepanjang hidupnya. Irene bukan gadis polos, di usianya ini setidaknya dia pernah berciuman dengan beberapa pria tapi sungguh tadi pertama kalinya dia berinisiatif mencium laki-laki lebih dulu. Irene bukan tipe gadis agresif tapi entah bersama Song Mino lain ceritanya.

Dia bertingkah seperti remaja yang baru jatuh cinta. Dia merasa usianya seolah tereduksi oleh akibat kebahagiaan yang ditimbulkan oleh perasaannya saat ini.

Irene berjalan linglung di koridor rumah sakit, ia tak tahu harus pergi kemana. Setelah pikirannya mulai sedikit bisa digunakan, dan berkat perutnya yang berbunyi, akhirnya Irene punya tujuan, yaitu ke kantin rumah sakit.

Sepanjang perjalanan ke kantin, dia terus tersenyum bahkan tertawa kencang. Beberapa orang melihatnya seolah dia gadis yang baru kabur dari rumah sakit jiwa. Well, Irene tidak peduli dengan anggapan orang. Memang ada undang-undang yang melarang dirinya untuk tertawa? Lagipula memang pendapat orang-orang itu benar… Irene sudah gila. Dia gila oleh cinta. Ironis memang, bidang yang Irene tekuni adalah masalah kejiawaan, sekarang lihatlah dirinya.

Begitu Irene melihat menu dan daftar harga, dia teringat hal yang sangat penting di situasi ini.  Dia tidak bawa dompet!

Irene memukul kepalanya sekali lagi, kali ini atas tingkah pelupa dan cerobohnya. Perutnya terus berbunyi miris untuk segera diisi. Setelah dia mempertimbangkan matang-matang, akhirnya Irene memutuskan untuk kembali ke ruang inap Mino. Dia butuh makan, otomatis dia butuh uang, sekarang yang bawa uang hanya Zico, Irene yakin sekali Zico masih ada di ruangan Mino, jadi opsi terbaik adalah kembali ke ruangan Mino, mengalihkan diri dari Mino semampunya, meminjam uang pada Zico, dan voila, dia akan punya uang untuk beli makanan. Rencana yang sempurna.

Ada pepatah yang bilang apa yang kau rencanakan tidak pasti akan sesuai kenyataan, ah, Irene tidak tahu itu pepatah atau bukan—dan ia tidak mau tahu, tapi kenyataan yang dia hadapi sangat bertolak belakang dengan rencana sempurna yang dipikirkannya beberapa menit lalu.

Irene melihat tatapan dingin Mino terarah padanya begitu ia masuk. Tatapan menghakimi, seolah Irene adalah seorang kriminal. Melihat tatapan itu membuat Irene membeku masih persis di depan pintu. Dia tak ingat apa saja yang tadi dia rencanakan, tatapan Mino membuatnya hilang akal.

“Rasa ciumanmu tadi pahit,” ujar Mino yang langsung menggosok bibirnya kasar persis di depan Irene.

Irene membelakak terkejut, sindiran yang Mino lontarkan membuat hatinya yang sudah melambung begitu tinggi mendadak jatuh tanpa persiapan.

“Apa kau selalu seperti itu dengan laki-laki? Agresif seperti itu?”

“Mino…” Zico memperingati tapi Mino terus saja melontarkan kata-kata yang menyakitkan, “Ah, benar juga. Kau mungkin kurang belaian, ya? Aku ingat sewaktu kau masih jadi tawananku, kau selalu menggodaku?” Mino terkekeh, “Harusnya saat itu aku tidak memakai akal sehatku, karena kau yang menawarkan, kenapa tidak aku ambil kesempatan itu?”

Love Is A LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang