Kejutan Akhir Pekan

140 10 2
                                    

Masih terlalu gelap untuk mencerna pesan masuk dari Hangga lima menit yang lalu dan delapan panggilan tak terjawab lainnya. Aku bengong menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya bergegas loncat dari kasur dan mengambil wudhu untuk sholat subuh.

Tidak ada waktu untuk mengganti pakaian, aku langsung turun dan menemukan Hangga yang juga baru selesai sholat subuh dan meminta izin ke orangtuaku. Dia sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, terlihat dari wajah bunda yang khawatir.

"Kalau gitu saya sama Andhita jalan dulu. Assalamualaikum." Aku dan Hangga mencium tangan ayah dan bundaku.

"Walaikumsalam. Titip salam buat Nina ya semoga cepat sembuh," kata bunda. Aku tersenyum dan mengangguk.

Kami mulai menyusuri daerah Margonda yang masih cukup sepi. Aku bisa melihat pedagang kue subuh yang sedang menjajakan dagangannya dan pembeli yang berlomba-lomba memilih kue untuk mereka jual lagi. Maklum saja, namanya juga pasar subuh jadi kue-kue yang di jual di sana itu akan ludes sebelum pukul tujuh. Beruntunglah hanya melihat pemandangan ini. Bukan lagi macet berkepanjangan yang membuat pengendara beserta penumpangnya mengucapkan sumpah serapah mereka.

Pukul lima pagi di hari Minggu aku sudah duduk manis dijok penumpang tanpa ada rasa kantuk sama sekali adanya malah harap-harap cemas. Biasanya aku hanya meneruskan mimpi setelah sholat subuh dan tepat pukul tujuh selalu ada terror telepon dari Clarissa bawel buat jadi partner joggingnya.

Aku melirik ke kanan, di balik kemudi dia masih terlihat santai dan keren seperti biasa walau tanpa mandi dan muka bantalnya yang masih terpampang nyata.

Perlahan, aku mengulurkan tangan kananku mengusap belakang kepalanya. Dia tersentak, namun dua detik berikutnya dia tersenyum samar tanpa menoleh ke arahku. Matanya masih menatap ke depan, tapi aku tahu kalau pikirannya sudah melayang bebas pada perempuan yang berbaring lemah di rumah sakit.

"Kamu jangan khawatir, Nina pasti akan baik-baik aja kok. Dia kan kuat," dengan senyum yang dipaksakan, aku menekan ego yang sudah meluap-luap.

Dia menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya. Aliran dingin langsung menyapaku.

"Makasih ya, kamu udah mau temenin aku ke rumah sakit dan peduli sama Nina," katanya, kali ini sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tetap menunjukkan rasa terpukul sekaligus merasa bersalah.

"It's okey. Sahabat kamu kan sahabat aku juga, Ngga."

Kami sudah sampai pukul setengah enam pagi di rumah sakit Kita di daerah Pejaten dan bergegas menuju ruang UGD.

Di ruang tunggu depan UGD sudah ada Ibunya Nina, Tante Resti. Pandangannya terus melekat pada pintu UGD yang diharapkannya segera terbuka dan dokter mengatakan, "Nina sudah melewati masa kritis." Tetapi, belum ada kabar apapun dari balik pintu itu.

Hangga bilang, Nina masih kritis waktu tante Resti menelponnya pukul empat pagi tadi dan sudah 150 menit Nina di dalam.

Tante Resti yang menyadari kehadiran kami langsung memeluk Hangga, hingga air mata yang tadinya terhenti mulai mengalir lagi. "Nina, masih di dalam. Tante takut Nina kenapa-napa, Ngga. Ini semua salah tante."

Hangga mengusap punggung tante Resti dan mencoba menenangkannya. "Udah tante, sekarang yang penting kita berdoa buat kesembuhan Nina. Tante jangan ngomong yang aneh-aneh, Hangga gak suka."

Tanpa sadar, air mataku sudah menggenang dipelupuk mata dan mengalir ke pipi saat Hangga memanggilku.

"Kenapa jadi sedih-sedihan gini sih. Nina pasti baik-baik aja kok," katanya. Dia lupa bagaimana ekspresinya di mobil tadi, modal gengsi aja tuh makannya gak nangis. Tante Resti jadi tersenyum dan baru menyadari bahwa ada aku di tempat ini bersama mereka.

"Tan, ini Andhita sahabatnya Nina juga yang dua bulan lalu ikut ke Bandung,"

Shit, Ngga. Kenapa harus moment super brengsek itu sih?

Aku senyum aja, tapi kaku kaya kanebo kering.

"Ingat dong, orangnya cantik gini masa tante lupa," kali ini senyumnya agak mengembang walaupun matanya yang sembab tidak dapat ia tutupi. Aku juga tersenyum. "Sabar ya Tante, semoga Nina bisa cepat sadar. Salam dari orangtua aku."

Dia mengusap lembut bahuku. "Terimakasih ya Dhita, salam juga untuk orangtua kamu."

"Sama-sama Tante,"

Di kursi panjang itu, aku memilih duduk di sebelah Hangga dan Hangga duduk di sebelah Tante Resti.

Horror adalah ketika tiba-tiba sepagi ini aku sudah ada di rumah sakit. Bau obat-obatan dan karbol yang khas langsung memenuhi indra penciumanku. Dan baru sadar ketika ada gemuruh dari perutku kalau aku belum mengisi perut sama sekali. Lapeeerrrr.

Tadi, jam 04.10 pagi Hangga telepon dan baru aku angkat teleponnya setelah panggilan ke delapan. Dia bilang Nina masuk rumah sakit karena sebelumnya mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya. Aku belum sadar betul dan hanya bergumam kecil. Hangga mengakhiri panggilannya dan mengirimkanku pesan, membuatku sadar dan meringis ngeri.

Aku belum dengar cerita lengkapnya. Hangga masih terlalu shock untuk melanjutkan ceritanya.

06.00WIB
Pintu yang ditunggu-tunggu akhirnya terbuka. Dokter Anne keluar dan
memberitahukan kalau Nina sudah melewati masa kritisnya. Kabar baik layaknya sebuah keajaiban untuk orang-orang yang sedang memanjatkan doa.

Hangga yang berada di tengah-tengah antara aku dan tante Resti langsung merangkul kami.

Tante Resti masuk untuk melihat Nina. Hanya sisa aku dan Hangga yang menunggu di luar. Sebenarnya Hangga ingin masuk tapi karena Nina masih belum sadarkan diri, dokter hanya mengizinkan keluarganya saja yang boleh masuk terlebih dahulu.

Sepanik itu ya Ngga.

"Aku laper nih belum makan apapun tadi," aku membuka suara untuk menyadarkannya bahwa masih ada orang di sebelahnya.

Dia menoleh dan ada guratan rasa bersalah di wajahnya. Dia mengusap pipi kiriku. "Maaf ya Ta, kamu sampai belum sarapan. Yauda kita ke kantin aja beli makan di sana."

Aku mengangguk dan siap berdiri sebelum akhirnya ada suara lembut dari balik pintu.

"Nina udah sadar, Ngga."

Dan tanpa pikir panjang, dia melupakan ajakannya 10 detik yang lalu.

I just really wanna cry right now atau minimal mendengar suara si bawel Clarissa.
*****





Akhirnya bisa di publish juga ceritanya.  Ini novel pertama dan sueng banget karena kalian sudah mau baca hehe. Terimakasih :)
Kritik dan saranya sangat amat dinanti loh. Selamat membaca part berikutnya Sabtu nanti genk.
Kalau suka di vote ya jangan dipendem aja dalem ati😆

Dipublish saat senja
19 Februari 2018
18.14 wib

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang