Perubahan-Perubahan Itu

34 4 4
                                    

Dua hari ini bangun tidur liatnya langsung bang Sakti yang udah ganteng maksimal pakai setelan kerja. Celana bahan hitam dan kemeja putih gading yang lengannya digulung sampai siku, rambut cepak dan udah kelimis abis.

Gak hanya rambutnya, bibirnya juga kelimis banget kalau lagi ngomel-ngomel gini.

"Kamu ceroboh banget si de, tidur di sofa, pintu depan gak kamu kunci. kalau sampai ada yang masuk gimana? Barang-barang hilang bisa beli lagi, nah kalau kamu yang hilang Bunda sama Ayah emang punya duplikatnya?

Nyaring amat bang. Abis sarapan keroto pasti. Batinku.

Aku hanya bisa misuh-misuh di ruang makan. Semacam kunci kali ada duplikatnya.

"Heh, kuyu amat tampang lo," aku sudah duduk manis di kantin belakang perpustakaan menunggu cewek yang barusan nyinyir. "Abis berantem ya semalem sama Hangga terus nangis sampai pagi."

"Gileee ye bibir lo lemes banget," dia tertawa keras sambil mencubit pipiku.

"Iya iya, ngambek sih. Terus kenapa beib?"

"Pagi-pagi gue udah kena omel abang gara-gara semalam gue tidur di sofa ruang tamu, tanpa ganti baju dan lepas sepatu. Pas malamnya baik, dia lepas sepatu gue trus gendong gue ke kamar. Paginya dah abis."

Kali ini tawanya semakin keras, beruntung banget ngajak dia ke sini. Bukan ke kantin depan. Rooming banget.

"Gue kebayang sih kalau bang Sakti ngomel. Pelan tapi jleb," kemudian tertawa lagi.

"Eh anak gadis ketawanya keras amat," aku melirik ke kanan, kak Renji sudah duduk di sebelah Clarissa.

Auto silent. Hahaha sukulin.

"Kak... Lo.... ngapain?" tanyanya panik, suaranya terbata. Lucu kalau liat dia panik begini, biasanya kan heboh.

"Makan lah, masa nyariin lo," jawabnya santai. Aku masih fokus melihat mereka berdua di hadapanku. Sebenarnya mereka sama-sama salah tingkah, tapi Clarissa paling parah sih sampai habisin setengah es jeruknya sekali tenggak sambil tendang kakiku di bawah meja, kalau kak Renji stay cool walaupun beberapa kali menggaruk belakang kepalanya.

Sebelum ada sebuah suara yang sangat familiar mengiang di telingaku, "gak kebalik tuh Ren?"

Skakmatt!

"Diem lu tai,"

Hangga hanya mengangkat bahunya. Hangga pernah bilang kalau kak Renji suka sama Clarissa tapi masih abu-abu karena Clarissanya terlihat cuek ke dia.

Cuek dari Zimbabwe!

Aku tertawa sambil melirik Hangga yang duduk di sebelah kananku, berhadapan dengan kak Renji. Tenang sekali, bertolak belakang waktu tadi di rumahku. Abang langsung mengadukan kecerobohanku malam tadi ke Hangga. Sampai aku berpikir, sepertinya yang cocok jadi anak kandung di rumah itu Hangga deh. Semuanya dipercayakan sampai hal-hal kecil ke Hangga.

Pagi tadi dia jemput aku di rumah, langsung ngomel karena aduanya abang. "Kamu kok bisa-bisanya sih tidur tanpa kunci rumah? Bahaya Andhita, ceroboh banget. Kamu juga kan lagi sakit."

Emosi, langsung aja aku semprot balik. "Iya maaf, abang juga udah ngomel masalah ini." Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar sebelum melanjutkan kalimatku. "Kemarin aku gak sakit, aku salah kirim chat, harusnya ke Clarissa. Ngomongin kamu yang lagi chatting sama Nina," aku mencoba menjelaskannya dengan detail, seperti kebiasaanya.

"Kamu gak mikiran seberapa khawatirnya aku? Hah? Harusnya kamu bilang dong jangan malah bohongin aku. Trus itu lagi masalahnya? Kenapa sih Ta?" dia menatapku tajam, sudah mulai frustasi bicara denganku.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang