Sebuah Kenyataan

19 3 1
                                    

Aku duduk termangu di atas karpet bulu di kamarku, sinar matahari masuk dari sela-sela ventilasi. Goblog! sepanjang malam aku terjaga dengan posisi yang sama, duduk sambil memeluk lutut seperti berlindung dari sesuatu. Iya, sesuatu yang menyakitkan itu selalu bergelayut di pundakku, tidak mau lepas walaupun sebentar.

Akal sehatku mendadak hilang terbawa angin malam entah kemana, menyisakan raga tanpa jiwa dan akal.

Walaupun tetap terjaga tapi tidak ada satupun air mata yang menetes dari kedua mataku sampai suara pintu berdecitpun aku nyaris tidak sadar. Clarissa menghambur masuk dan memelukku erat, sampai aku merasa sesak.

"Andhita, " katanya, air matanya lolos hingga membasahi pipi polosnya, dia pasti langsung berlari ke sini tanpa sempat memakai blush on dan curly rambutnya, terlihat dari pakaian yang dia kenakan, hanya kaus dan celana pendek selutut.

Aku hanya menatapnya dalam diam, sudah ada tanda hitam di bawah kedua mataku.  Sampai isakan yang bercampur tawa itu keluar dari mulutku tanpa bisa aku tahan lagi, aku terus terisak sampai rasanya sulit untuk bernafas karena rasanya begitu penuh sesak di dadaku, seperti ditiban beton.

Clarissa hanya mendengarkan isakanku tanpa mengatakan sepatah katapun, karena dia tahu kalau aku hanya ingin didengarkan bukan ditenangkan apa lagi disuruh untuk berhenti. Aku masih terus menangis sampai akhirnya rasa sesak di dadaku berkurang, membuatku bisa berbicara walaupun masih terbata.

"Ter...nyata benar apa yang... lo bilang  waktu itu, ka... kalau persahabatan cewek dan cowok itu bullshit.. mereka bilangnya aja sahabatan tapi padahal sama-sama menyimpan perasaan yang lain," kataku susah payah.

Clarissa mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali, membiarkan aku bercerita dengan sendirinya. Kali ini aku menarik nafas panjang, mencoba berbicara dengan benar dan jelas. "Hangga suka sama Nina dari dulu, tapi Nina gak pernah balas perasaannya..... atas nama persahabatan," kataku, sambil tersenyum kecut. Sangat jelas kalau Clarissa juga terkejut mendengar ucapanku barusan.

"Sekarang gue paham kenapa Hangga begitu peduli sama Nina, kenapa tidak pernah upload foto gue sama dia di sosial media atau foto gue sendiri dan kenapa tidak pernah menyangkal kalau teman-teman atau orang terdekatnya selalu menyangka Hangga dan Nina akan menjadi relationship goals sesuai perkiraan mereka. Sekarang gue paham," kataku lagi dengan sekali tarikan nafas.

"Semua demi Nina. Karenina Hastari," lanjutku.

Clarissa memelukku lagi dan menepuk-nepuk bahuku, mencoba menenangkan. Sekali lagi, tanpa mengatakan apapun, dia benar-benar hanya menjadi pendengar setiaku. karena hanya itu yang aku butuhkan saat ini.

****

Sialan. Satu dari banyak hal tentang mereka yang benar-benar ingin aku lupakan malah membuatku terus mengingatnya dengan ddetail.  Karena salah satu cara melupakan adalah mengingatnya terlebih dahulu, bukan? Prosesnya seperti itu. Karena buktinya aku masih bisa merasakan nafasku tak beraturan ketika tidak sengaja mengingat itu saat aku mulai bercerita ke Clarissa sambil menangis di kamarnya.

"Coba deh lo pikir, persahabatan antara cewek dan cowok itu bullshit, salah satu dari mereka pasti ada yang memendam perasaan lain,"

"Capek ah gue disuruh mikir mulu. Sekarang lo coba yang mikir, gue ini kan pacarnya jadi ya udah. Kalau memang dia suka sahabatnya ya jangan pilih gue dong," kataku kekeuh. 

"Lalu apa artinya air mata lo dua bulan lalu itu? kalau aja air mata lo jadi mutiara, udah bergelimang harta nih gue sekarang," katanya sambil menatapku lelah.

Iya memang, kalau aja air mataku diciptakan Tuhan bisa berubah menjadi mutiara, aku juga pasti akan bergelimang harta seperti yang dibilang Clarissa. Dua bulan lalu dengan tololnya aku menerima ajakan Nina ke Bandung. Menghabiskan weekend dengan kulineran di sekitar gedung sate. Iya, kalau saja itu sesuai dengan ekspektasiku.

"Ta, kamu ikut ya ke Bandung," ajaknya. Tiba-tiba dia udah nongol di kantin gedung A, fakultas Komunikasi. Wajahnya antusias banget waktu bilang gitu. Persis sama Clarissa kalau aku udah ngomong, "temenin gue cari baju dong." Karena katanya aku paling jarang ajak dia shopping.

Gue bengong beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan pertanyaan. "Ngapain?" Dia terkekeh, "jadi Sabtu ini sepupu aku lamaran dan dia undang Hangga juga nah kamu juga harus ikut."

Aku melongo, lagi. Kebiasaan bodoh yang mendarah daging emang. Malu-maluin banget sumpah.

"Engga deh. Itu acara keluarga lo, masa gue tiba-tiba nongol. Gila aja."

Dengan wajah memohon dia tetap maksa aku buat ikut mereka, (Nina dan Hangga). Gak tega liat mata bulatnya tapi agak sendu itu terus memohon supaya aku bisa ikut.

"Oke fine. Gue ikut demi lo nih," kataku akhirnya, agak malas sih sebenarnya. Tapi langsung senang ketika lihat dia nyengir lebar banget bikin mata bulatnya sedikit mengecil.

Bandung, Januari 2019
Dan di sinilah aku. Di tengah-tengah keluarganya yang hangat, rame dan menerimaku dengan baik, sebelum suara itu muncul.

"Ini Hangga? Ya ampun, kasep nyak. Udah lama bibi gak liat kamu,"

Orang yang sebut dirinya bibi ini adalah tantenya Nina, adik dari ibunya Nina, tante Resti.

"Udah lama gak lihat kamu sama Nina, bibi sampe pangling. Udah pacaran pasti nih sekarang, kalau dulu kan cuma cinta-cinta monyet aja waktu kecil ya. Ga sabar liat kalian lamaran kaya Radi sekarang."

Sialan Senyumku pias dan aku merasakan kalau Nina dan Hangga menoleh ke arahku bersamaan.

Gila. Nengok aja bisa barengan gini. Oh wajar kalian kan emang udah barengan dari lama. Batinku.

Terulang lagi, tapi lebih pahit.

"Bi," Nina mencoba memotong. Tapi si bibi makin gesit ngomong kaya abis dikasih pelumas.

"Bibi ingat waktu kalian kecil tuh Hangga suka gendong Nina kalau dia jatuh dari sepeda, apalagi waktu SMP dulu pas udah remaja. Hangga bisa ngamuk kalau Ninanya digoda cowok-cowok sekolanya."

"Kalian nih kok gak ikut nostalgia sama bibi sih. Kalian tuh lucu banget dulu tuh." Sebagian orang di sana langsung tertawa mungkin mulai mengingat masa kecil dua orang yang berada di depanku ini.

Mataku mulai panas dan aku merasa sangat lucu berada di sini.

Lucu karena melihat Hangga hanya duduk mematung tanpa mencoba klarifikasi, tidak membiarkan aku mendengar hal-hal yang tidak seharusnya masuk ke memoriku sampai detik ini.
*******

Hari ini cuaca jauh lebih panas gara-gara Hangga nih😭😭

Terimakasih sudah baca dan selamat menjalankan ibadah puasa ya klean😊

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang