Pertemuan tidak Terduga

24 3 3
                                    

Aku memutuskan untuk pulang tanpa memakan sedikitpun mie ayam yang sudah Raka pesan untukku.

Masih dengan dayang-dayang yang setia, Clarissa di balik kemudi dan Raka duduk pesis di bangku belakangku. Mereka berdua mulai membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti biasanya, sedangan aku hanya diam dengan pikiranku sendiri tanpa mendengarkan apapun yang keluar dari mulut mereka berdua.

Aku pikir masalah semacam ini tidak akan mampir di hidupku, karena jujur aku adalah orang yang tidak mau memikirkan banyak hal yang tidak aku anggap penting sama sekali. Sekalipun terpikirkan olehku, maka tidak akan aku biarkan banyak orang mengetahui apa yang aku rasakan. Clarissa selalu bilang kalau aku pandai sekali menyembunyikan perasaan. Senang, sedih, kecewa, marah, aku lebih senang jika tidak aku bagi kepada siapapun.

Sangat berbeda dengan diriku sekarang yang seperti menjelma menjadi orang lain. Lebih mellow dan mudah menangis, lebih banyak diam, lebih sering kabur-kaburan, sulit dihubungin dan aku merasa aneh dengan semua ini.

Namun aku masih tidak menyangka dapat meluapkan kegelisahanku selama ini pada Hangga dan sedikit untuk Nina. Mungkin kalau sampai saat ini tidak tersampaikan, keadaanku akan lebih mengkhawatirkan daripada ini.

Ternyata jauh dari dugaanku, Hangga punya efek yang luar biasa untuk hidupku walaupun kita hanya dua tahun.

"Heh cengeng," tiba-tiba suara Raka menggema di sebelah telinga kananku, begitu dekat. Belum lagi tangan kirinya yang mengacak rambutku. Membuatku menarik kepalaku ke arah kiri.

"Pak, tangannya tolong singkirin," Clarissa protes sambil mendorong wajah Raka menjauh dari telingaku dengan tangan kirinya. Tidak terima kalau aku sampai dimodusin lagi seperti dulu.

Raka ganteng? Iya. Baik? Iya, Tajir? Iya, melintir pula karena orang tuanya punya usaha kuliner yang sudah beranak pinak di beberapa Kota di Indonesia. Tapi ya itu, siap-siap batin karena sifat centilnya yang gak pernah ilang, belum lagi kebiasaan selingkuhnya yang sudah mendarah daging.

"Gue cuma mau hibur si cengeng aja kok," katanya sambil cengar-cengir. Aku menyernyitkan dahiku. Sejak kapan anak ini bisa seenaknya memanggilku "cengeng," seperti tadi?

"Gue gak butuh dihibur sama lo, hihhhh!" kataku sambil bergidik dan semakin mencodongkan tubuhku ke depan, menghindar dari tangannya yang ingin merangkul bahuku.

"Lo sama gue aja lah Ta, dijamin gak akan galau," katanya merajuk. Belum lagi nada suaranya yang dibuat manja. Rasanya aku ingin membawakannya cermin full body yang ada di kamarku ke hadapannya, supaya dia sadar apa yang dia katakan beberapa detik yang lalu.

Aku dan Clarissa refleks terbahak mendengarnya. Playboy emang suka gitu, terlalu sadar pesona sampai lupa siapa yang lagi dia modusin. Kalau saja aku adalah maba di jurusannya, pasti pipinya sudah seperti kepiting rebus.

Raka juga ikutan ketawa, tapi tidak sampai terbahak sepertiku dan Clarissa.

"Akhirna ketawa juga nih anak," lanjutnya setelah menyelesaikan tawanya. Aku sampai terdiam dan menoleh ke arahnya.

Iya karena aku sudah berubah, sampai terakhir kali ketawa selepas ini saja aku lupa.

Lagi. Suasananya kembali menjadi sangat menyebalkan.

Aku benci ada di posisi seperti ini.

***

Kapan ya?

Aku jadi terus memikirkannya begitu sampai di rumah.

Sampai jungkir balikpun aku tetap tidak menemukan jawabannya. Sepertinya begitu sulit mengingat hal menyenangkan akhir-akhir ini, karena terus menerus mengurung diri di kamar dan tidak menjalankan aktivitas seperti biasanya.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang