Berakhir

13 4 4
                                    

Zeno lagi.

Ada apa sih sebenarnya sama dia? Tiba-tiba ajak aku pergi, tiba-tiba menanyakan tentang dirinya dan Gisela lalu mengajakku bertemu lagi setelah dia selesai penelitian.

Aku menyimpan kembali handphoneku di tas dan tersenyum seperti biasanya ke kak Renji, seolah tidak ada apa-apa denganku hari ini. Tentang ajakannya tadi, aku hanya mengangguk ringan dan segera berlalu dari hadapannya sebelum ada satu suara yang sangat familiar.

"Andhita Reinaaaaaaaa," dia menghambur memelukku sambil meminta maaf karena kejadian kemarin waktu dia menuduhku.

"Lepas ih, gue gak bisa nafas nih, mati deh," perlahan, aku melepas pelukannya, aku benar-benar tidak bisa nafas beberapa detik karena pelukannya sangat erat. "Kode lo ya peluk-peluk, mancing kak Renji ya," kataku sambil mengerlingkan mata. Lihat dia sekarang, wajahnya blushing.

"Ya biasalah, Ta, caper doi sama gue," kata kak Renji dengan nada bangga. Aku ketawa.

"Apaan sih lo berdua?" jari-jari lentiknya menarik ujung rambutku gemas sampai aku mengaduh sambil cekikikan. Sekali-kali jadi dia yang agak ceplas-ceplos kan gak apa-apa toh? "Ta, gue minta maaf ya sekali lagi, sepi hidup gue loh gak ada lo di sisi gue," rajuknya.

"Iya bawel, gue juga minta maaf ya, kemarin emosi gitu ih gak banget deh," kataku sambil memeluknya lagi. Meluapkan segala amarahku, kesal, bingung  yang tidak bisa aku ungkapkan sekarang ini. Aku yakin Clarissa pasti tahu kalau aku abis menangis, tapi untuk yang satu itu, dia akan sangat menjaga mulutnya itu.

***

Kami memasuki lorong rumah sakit, bau obat-obatan dan karbol langsung menyapa indra penciumanku. Bau yang akrab denganku dua hari yang lalu, saat pertama kali menjenguk Hangga. Lagi, aku melihat Nina di depan pintu ruangan Hangga. Rasanya kok seperti de javu ya.

"Hai, Nin," Clarissa menyapa Nina, membuat gadis di hadapannya tersenyum. Tapi senyumnya pias waktu menatapku yang berada tidak jauh dari Clarissa.

"Aku mau bicara, Ta," katanya. Dia menoleh lagi ke arah Clarissa dan kak Renji, "Kalian masuk duluan aja, Hangga udah nunggu kalian," lanjutnya.

"Kenapa?" tanyaku, aku mengatur nada suaraku sedatar mungkin, mencoba sedikit mengacuhkan seseorang yang secara terang-terangan menatapku tajam. Pipinya agak memerah, kata Hangga, kalau sedang marah pipinya akan merah seperti saat ini.

"Kamu kok tega sih bikin Hangga harus samperin kamu ke kampus dan akhirnya ke rumah. Padahal dari siang dia udah coba hubungin kamu dan minta tolong supaya kamu datang ke rumah sakit. Bahkan chat dan telepon Hangga gak ada yang kamu gubris. Kamu malah pergi sama orang lain," katanya panjang lebar. Untuk kali pertama aku mendengar suaranya sesinis itu, padahal biasanya dia akan berbicara selembut mungkin.

Aku diam, tapi tatapanku tidak lepas darinya bahkan sedetik pun.

Menarik.

Dia tidak sadar, bahwa orang yang selama ini membuatku dan Hangga selalu meributkan hal-hal yang tidak penting sekalipun itu karena dia. Iya orang yang saat ini memakai kaus putih dipadukan dengan cardigan biru muda, rambutnya dikuncir kuda, rapih.

Handphone di tasku bergetar, aku beralih untuk merogoh handphone dan melihat satu nama di layar.  Tante Reina calling.......

"Assalamualaikum, Andhita dimana? Tante ganggu gak?"

"Walaikumsalam tante, gak ganggu kok tan. Ada apa?"

Aku  menjawab pertanyaan tante Reina sambil terus menatap Nina. Rasa kesalnya berubah, tapi aku tidak bisa mengatikannya.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang