Harus Bahagia

32 4 0
                                    

Tumben nih dianterinnya sampai sini, biasanya mencar di parkiran," sindiran halus yang dibalut dengan cengiran tanpa dosa. Aku sudah hafal. Tapi memang benar, Hangga jarang sekali mengantarku ke gedung Fakultas Komunikasi. Biasanya aku turun di parkiran dan dia langsung ke gedung B, Fakultas Teknik.

Lebih dari itu, sindiran halus itu pasti mengandung motif terselubung. "Eh ya ampun, sampai lupa. Nina gimana?" Nah kan sesuai dugaanku. Kini raut wajahnya jadi sedih, ingin rasanya memudarkan merah muda di pipinya. Pasalnya aku tahu 70% mengorek informasi dan 30%nya memang peduli sama Nina. Aku tertawa dalam hati, memang penuh drama anak ini.

"Alhamdullilah kemarin siang dia udah boleh pulang kok. Keadaannya juga udah membaik,"

Clarissa hanya membalas dengan anggukan beberapa kali. Songong emang, jawab 'Alhamdullilah' kek 'syukurlah' atau basa basi apa gitu. Hhemm.

Pasti dia mau kepoin kenapa aku sama Hangga bisa menginap di rumah Nina, padahal kondisi Nina sudah membaik. Jangan harap Nona. Hangga bukan tipe cowok mulut lemes yang tiba-tiba ngoceh karena pancingan remeh temeh begini dan kalau menurutnya hal itu bukan untuk dikonsumsi banyak orang, dia gak akan menjawabnya detail seperti yang biasa dia lakukan.

"Gue senang dengarnya, jadi Andhita gak ngebatin terus." Suaranya sangat pelan hampir berbisik ketika mengatakan 'jadi Andhita gak ngebatin terus', untung Hangga sibuk balas chat. Dia mengerlingkan mata ke arahku, aku menatapnya murka.

"Hangga, kamu udah ditungguin kak Renji kan? sana buru ke fakultas lo." Daripada makin ruwet, aku mengusir Hangga dari hadapan Clarissa.

"Eh jadi ingat, Ngga. Lo dari kemarinan dicariin kak Renji tuh. Kesel gue ditanya-tanyain dia terus." Aku menepuk jidat.

"Dia cariin gue ke fikom?" Clarissa mengangguk. "Dia mau ketemu lo kali. Gue udah chat dari awal gak masuk kok ke dia, kan mau tipsen." Si detail mulai menjabarkan, si bawel masuk perangkap. Bravo. Yang tadinya gondok sama Clarissa, aku jadi tertawa melihat wajah cengoknya.

Kak Renji itu soulmatenya Hangga di jurusan Arsitektur. Beda satu tingkatan sama kita. Waktu jadi maba, Clarissa  ngefans banget sama kak Renji dan tulis surat cinta waktu ospek, tapi tanpa nama, gengsi katanya. Terus sampai detik ini kak Renji tidak tahu menahu siapa pengirim surat misterius itu. Makannya aku sama Hangga suka ledekin dia kaya sekarang nih. Gengsinya lebih besar sih dari otaknya haha peace, Cha.

"Gak usah ngarang bebas lo," yang diajak bicara hanya mengangkat bahunya, aku tertawa.

"Cinta kepentok gengsi, bagus tuh buat judul ftv."

"Sialan lo," aku dan Hangga tertawa.

***

Sesaat setelah apa yang Nina bilang semalam, aku langsung memeluknya erat. Menebus kesalahan dan segala nyinyiran yang tidak pernah dia tahu. Walaupun awalnya dia agak bingung, tapi dia tetap memelukku juga. Sebelum akhirnya Hangga masuk ke kamar Nina.

"Malam ini, aku sama Andhita menginap di sini." Aku bengong. "Kamu serius Wir? Andhita nanti dicariin orang rumahnya loh."

"Aku udah hubungin bundanya tadi, boleh kok."

Aku? Duh jangan tanya deh. Bengong mulu tanpa ada sanggahan atau komentar apapun. Tapi di detik berikutnya Nina memelukku lagi. "Terimakasih ya,"

Tanpa adanya penolakan, aku dan Hangga akhirnya semalam menginap di rumah Nina. Dia sudah jauh lebih baik, tapi Hangga bilang, Nina harus tetap ada yang menemani agar dia tidak merasa sendirian. Hanya ada tante Resti semalam, karena om Reza, ayahnya Nina masih dinas di luar kota.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang