Roller Coaster

11 2 7
                                    

"Selamat Andhita," aku menoleh dan menemukan wajah Ardan yang cenderung serius itu tersenyum super lebar. Iya super lebar, sampai aku terkejut.

"Pakkkkk ketuuuuuuuum terima kasih untuk supportnya selama ini ya," kataku. Berbeda dengan yang lain, dia gak bawa rangkaian bunga tapi satu frame ukuran 5R tanpa dibungkus kertas kado.

Aku gak tahu sama sekali foto apa yang ada di frame berwarna merah muda itu, karena dia memberikannya dengan posisi terbalik.

"Apaan sih nih?" tanyaku bingung. Wajah Ardan kembali ke mode serius seperti biasanya. Aku masih bergeming, takut zonk.

"Liat aja sendiri," jawabnya singkat.

"Sok misterius lo ah, kesel gue liatnya," Clarissa ikut komentar.

"Yauda deh gue liat nih ya, awas lo aneh-aneh. Gue marah!" aku membalikan frame yang sebenarnya sudah aku pegang sejak tadi.

5 detik,

10 detik,

15 detik,

"Foto apa Cil? kok lo skip gitu sih?" jiwa keponya Clarissa udah muncul dan aku paham kalau dia tidak akan berhenti bertanya kalau satu pertanyaannya barusan gak dijawab.

Aku mau ketawa tapi sedih juga lihat foto yang dikasih Ardan.

Foto tiga tahun lalu waktu awal-awal aku bergabung di teater senja. Dari 15 orang di foto ini hanya tersisa lima orang termasuk aku. Menghabiskan waktu lebih lama di sekretariat untuk rapat dan latihan, menguras tenaga, pikiran dan uang yang tidak sedikit. Tapi aku sangat menikmati hari-hariku, aku nyaman dan jauh lebih jujur.

Untuk kesekian kalinya aku berhasil meyakinkan diri kalau aku bisa, kalau aku mau berusaha maka semuanya bisa diwujudkan.

"Hebat lu," kata Ardan lagi, dia adalah salah satu orang yang tahu bagaimana perjalananku dari awal sampai seperti ini, berdiri kokoh tanpa gemetar ketika di hadapan banyak orang, atau artikulasiku yang dulu tidak keruan.

"Makasih ya, paling bisa emang lo bikin gue mewek," aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak keluar. "Capek tahu nangis mulu," lanjutku. Kali ini air mata sudah sukses mengalir, aku masih saja ngedumel sambil mengusap mata dengan punggung tanganku. Hingga suara tawa orang-orang itu menyelusup ke gendang telingaku.

"Anak kecil!" kata bang Sakti sambil mengacak rambutku.

From : Hangga Prawira
Andhita, gue nanti ke rumah jam 7.

Agak menyesal ketika gak sengaja lihat handphone dan menemukan namanya di layar notifikasi. Tapi mataku otomatis mengedarkan pandangan dan menemukan dia di kursi awal dia duduki, bedanya hanya tidak ada Nina di sana.

Kenapa dia tidak langsung menghampiri dan memberiku selamat malah sok misterius?

Heemmm mau diprotes seperti apapun Hangga tetap saja Hangga, dia tidak akan berubah.

Aku membalas pesannya sambil sesekali meliriknya.

To : Hangga Prawira
Ya udah boleh.

Mau marah tapi susah.

***

From : Hangga Prawira
Jangan lama-lama mandinya, gue gak bisa lama.

Handphoneku menyala di atas tempat tidur, dari Hangga lagi. Manusia paling misterius tapi paling keren versi aku.

Belum sempat membalas pesannya, suara bunda sudah terdengar nyaring di balik pintu, belum lagi ketukan pintu yang terkesan tergesa-gesa.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang