Selesai

14 4 2
                                    

Susah payah mencoba tidur di tengah perasaan yang karut marut. Kurang dari sembilan jam aku harus tampil di atas panggung sebagai Sukarsih, tapi pukul tiga pagi aku masih terjaga sambil menengadah ke langit-langit kamar.

Temaram, sunyi dan rasanya kosong. Tiba-tiba ada rasa takut yang menyelimutiku pagi ini.

Apa yang sebenarnya membuatku takut?

Takut kalau penampilanku buruk?

Atau takut kalau aku tidak bisa membuat Sukarsih hidup di hadapan penonton?

Ah tidak.

Aku tidak pernah seragu ini ketika akan tampil.

Ada hal lain yang membuatku takut dann khawatir.

Dia

Hangga Prawira.

Aku takut kalau dia sampai ada di antara penonton sore nanti, tapi aku juga merasa kecewa jika dia tidak datang.

Jujur, Hangga adalah salah satu orang yang sangat aku tunggu kehadirannya, karena dia selalu bisa jadi penyemangat dan energi positif untukku. Sejak dulu, sejak kita bertemu pertama kali di kantin kampus karena sama-sama melarikan diri dari rapat itu.

Pertama kali mendengar suaranya dan sampai terakhir kemarin tidak pernah berubah.

Aku selalu suka.

Dulu selalu senang kalau akan tampil di atas panggung dan dilihat puluhan bahkan ratusan pasang mata. Kerja keras selama tiga sampai empat bulan terbayar lunas dalam beberapa jam ke depan.

Tapi saat ini rasanya seperti hambar, padahal sisa beberapa jam lagi dan pukul dua pagi aku masih terjaga.

Aku masih menatap langit-langit kamar dengan keadaan kamar yang temaram tanpa memikirkan apapun. Kosong.

Orang terakhir yang mengirimkan ku chat adalah Zeno, Katanya dia gak sabar liat aku besok. Dia akan datang dan duduk di baris paling depan.

Tetap saja Hangga menjadi orang yang saat ini aku harapkan bicara begini, bukan Zeno. Tapi orang yang aku harapkan masih tidak bisa dihubungi.

Hangga Prawira

Layar handphoneku berkedip beberapa kali, lalu redup. Dan beberapa detik setelahnya berkedip lagi.

Aku hanya melihat handphoneku di atas nakas tanpa berniat beranjak dari tempat tidur.

Udah, Ta tidur.

Hanya sederet kalimat itu yang terus berulang di kepalaku, sengaja aku jadikan mantra agar lebih cepat aku memejamkan mata dan beristirahat sejenak dari pikiranku yang sudah melayang jauh..

Tokk... tokk.

Ada suara ketukan beberapa kali dari luar.

"Adek belum tidur ya?" suara ketukan itu berubah menjadi suara lembut bunda. "Bunda masuk ya?" lanjut bunda sambil menurunkan knop pintu.

Sinar lampu yang tadinya hanya masuk lewat ventilasi, kini sudah menerangi kamarku yang temaram. Aku sampai menyipitkan mata, beradaptasi lagi dengan sinar lampu.

Dari jauh, silhuet bunda langsung menyapaku dan mulai berjalan menghampiriku, mengikis jarak di antara kami.

Perlahan aku bangun dari posisi tidurku. Bunda duduk di hadapanku tanpa menyalakan satu lampu pun di kamar ini. Membuat ruangan ini kembali temaram.

"Bunda kok bangun?" tanyaku. Bunda tersenyum sambil menyerahkan segelas susu coklat hangat yang bisa aku lihat sekilas kepulan asapnya.

"Kamu gak tidur-tidur sih, ya udah deh jadi bunda yang bangun. Nih minum dulu," jawab bunda. Aku mengambil gelas yang bunda kasih dan meminumnya perlahan.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang