Mencoba Lupakan

16 4 4
                                    

Setelah seharian kemarin berada di dalam kamar, pagi ini aku coba keluar untuk menghirup udara segar. Menghilangkan pikiran negatif yang bersemayam di kepalaku.

Mentari masih enggan menampakkan dirinya ketika aku melangkah gontai ke arah taman belakang rumah. Lampu-lampu taman juga masih menyala, iya pukul lima pagi bahkan embun masih setia menempel pada rerumputan yang menyentuh kedua telapak kakiku. Belum lagi hawa dingin langsung menyapa kulitku yang memang hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaus oblong berwarna putih.

Kepalaku rasanya seperti berputar bahkan ketika aku sudah duduk di tepi kolam renang. Perlahan tapi pasti, aku menurunkan kedua kaki hingga betis ke dalam air aku merasakan kakiku seperti berendam dalam air es. Membuatku lebih bergidik dari sebelumnya, tapi ada perasaan tenang di sana, sambil sesekali membaui yang ada di sekitar.

Tanah, rumput, dan berbagai macam bunga yang tidak aku kenali sama sekali karena sangking banyaknya bunga yang bunda tanam.

Berharap cara ini dapat mendinginkan otakku pula, terutama menjernihkan kepalaku yang sudah keruh tidak keruan.

Aku menurunkan pandanganku ke arah pakaian yang aku kenakan, ini baju dan celana dua hari lalu, karena kemarin aku sama sekali tidak keluar kamar bahkan untuk sekadar cuci muka,  sikat gigi dan mengganti pakaian.

Tadi ketika membuka knop pintu dan berjalan ke sini, aku tahu kalau bunda sedang memandangku intens, tapi tidak ada pergerakan dan suara yang dikeluarkan bunda. Asalkan bunda dapat melihatku keluar kamar, itu sudah membuatnya lega.

Jauh sebelum cerita ke Clarissa, bunda adalah orang pertama yang aku ceritakan sedetail-detailnya, tentu saja dengan berlinang air mata. Tidak berbeda jauh dengan Clarissa, bunda hanya mendengarkan semua ceritaku sambil sesekali menghapus air mataku dengan jari jempol dan telunjuknya lalu mengusap lembut wajah dan puncak kepalaku.

Sepanjang diamnya bunda, ia hanya bersuara di ujung ceritaku, katanya, "bunda sudah anggap Hangga sebagai anak sendiri, terlebih karena dia baik, sopan dan bertanggungjawab. Walaupun dalam keadaan hubungan kalian yang tidak baik-baik saja, dia pasti selalu sempatkan diri untuk antar atau jemput kamu, masih hubungin kamu dan bersikap biasa aja di depan abang dan bunda, tidak pernah tunjukkan kalau kalian tidak dalam keadaan baik. Bunda gak suruh kamu untuk balik lagi sama dia, itu hak kamu. Bunda tahu kamu pasti sakit hati, tapi kalian harus bersikap dewasa dengan tidak merusak silaturahmi.

Hangga memang anak kesayangan bunda yang gak pernah bosan ditemani ngobrol setiap datang kerumah, dibuatkan teh manis kesukaannya, masak makanan kesukaan Hangga, bahkan beberapa kali menyuruhnya menginap di rumah. Aku sangat menikmati kebersamaan mereka dan bersyukur dalam hati karena bunda menyukai orang yang telah aku pilih untuk mengisi relung hatiku. Namun sayangnya, aku bukan sepenuhnya orang yang ada dihatinya sampai detik ini.

Apa kabar Mr to the point? rasanya baru kemarin aku mencoba tegar di hadapanmu, berbicara tegas dan jelas padahal perasaanku sudah carut marut dan berharap semua jawabanmu atas pertanyaanku adalah mimpi buruk semata. Sehingga membuatku ingin buru-buru terbangun tapi ketika bangunpun aku masih merasakan sakit yang mendera ke seluruh tubuh, terutama hati. Sampai sweater yang dibelikan abangpun belum aku kasih.

Aku masih tenggelam di dalam pikiranku sendiri, ternyata aku serapuh ini setelah aku pikir bahwa aku cukup kuat untuk menjalani hal semacam ini. Aku pikir dapat melewati semua ini dengan mudah tanpa harus menguras air mataku, yang bahkan kini sudah mengering. Nyatanya hati yang keras sekalipun akan merasakan patah juga.

Begitupun denganku.

Sekarang percayaku sudah hilang sepenuhnya terhadapnya, biarlah, aku pikir akan lebih baik seperti ini.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang