Berharap Lagi

16 4 4
                                    

Baru saja aku selesai mengunci pintu sekret dan hendak berbalik, ketika menemukan seseorang berdiri tepat di bawah lampu yang masih menyala. Aku sampai menyipitkan mata untuk mengetahui siapa yang berdiri di sana.

Hening.

Aku tetap bergeming, merasakan angin yang berhembus pelan, menyapu wajah dan rambutku lembut.

Sesekali, di dalam keheningan. Tanganku tergerak hanya untuk menyelipkan rambutku yang terurai ke belakang telinga.

Dia masih tidak bergerak sedikitpun, hanya berdiri di hadapanku dengan jarak yang cukup jauh. Namun, aku masih bisa melihat apa yang dia pakai. Celana jeans hitam andalannya, kemeja kotak-kotak hitam- biru dongker, baju yang pernah dia pinjamkan padaku sampai berbulan-bulan ketika aku lupa membawa jaket.

Tidak hanya pakaiannya, aku juga bisa melihat rambutnya yang mencuat kemana-mana dan muka bantal ciri khasnya. Pasti dia habis numpang tidur di sekretariat orang.

Mahasiswa yang tidak punya kegiatan apa-apa di kampus tapi bisa seenak jidatnya masuk ke sekretariat orang-orang yang dia kenal, bahkan tidak dia kenal sekalipun.

Perlahan tapi pasti, dia berjalan maju. Mengikis jarak di antara kita.

Sial!

Aku tidak yakin dengan apa yang aku rasakan selama beberapa detik ketika Hangga sudah tidak lagi membuat jarak, sampai aku bisa mencium dengan jelas aroma mint yang menguar dari tubuhnya.

Nyaman,

Hangat,

Tenang,

Dan apalah itu namanya. Aku tidak bisa menjelaskannya, kalian juga pasti pernah merasakan perasaan semacam ini. 

Nafasku berhenti begitu sadar bahwa aku hanya diam dan memejamkan mata, sesekali dia mengusap dan menepuk punggungku pelan, seakan menenangkan. Kedua tanganku tetap berada di kedua sisi tubuhku, tidak ada niatan untuk bergerak membalas pelukannya.

Perlahan tapi pasti, aku bergerak mundur dan mendorong tubuh tingginya dari hadapanku. Menatap kedua matanya lewat tatapan mataku yang super datar untuk menyembunyikan semua perasaan yang aku sebutkan tadi.

Hangga gak boleh tahu.

Aku hanya diam ketika dia sudah melepaskan pelukannya yang tidak erat tapi tetap menuntut.

Hening lagi.

"Apa kabar Ta? lama gak ketemu," Akhirnya setelah hening beberapa lama, dia bertanya. Tanpa berbasa-basi tentang apa yang dia lakukan barusan. Peluk orang sembarangan.

Dan sekali lagi yang membuatku ingin lompat saat itu juga. Aku tidak mungkin salah dengar, ketika di keheningan dia bilang,

"Sekarang gue paham kenapa jarak bisa menumbuhkan rindu, bahkan dijarak sedekat ini tanpa bisa benar-benar peluk lo,"

Saat itu juga, ketika aku belum sepenuhnya paham sama kalimatnya. Dia peluk aku lagi, erat, sampai nafasku tercekat dan rasanya oksigen tidak lagi masuk ke paru-paru.

Dia, Hangga Prawira yang bahkan sebulan lebih gak ada kabar sama sekali, tiba-tiba muncul tanpa aba-aba.

Dia juga tahu kapan waktu yang tepat menemuiku, disaat aku benar-benar lelah dengan kegiatan beberapa hari ini. Dia datang.

Hangga selalu tahu.

Hangga tahu kalau kalimat "lama tidak bertemu," adalah hal yang paling aku benci, karena aku harus kembali mengingat masa-masa dulu bersama orang yang sudah lama tidak aku temui.

Hangga paham betul, bahwa perkara kabarku yang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia sudah tahu jawabannya, sekalipun aku jawab, "gue baik-baik aja kok,"

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang