Terserah

10 1 0
                                    

Aku berjalan tergesa melewati lorong lantai dua gedung B. Masih cukup pagi, pukul sembilan dan seperti biasa di Fakultas Teknik tidak akan seramai Fakultas Komunikasi di gedung A.

Tapi orang yang aku cari sudah ada di perpustakaan lantai dua.

Hangga Prawira.

Orang itu duduk dikursi paling pojok, membelakangiku. Punggungnya yang bidang langsung tertangkap penglihatanku.

Aku memang sengaja berangkat lebih awal dari rumah khusus untuk bertemu orang yang kini terlihat begitu sibuk dengan laptopnya. Mejanya dipenuhi kertas yang tidak tertata, semuanya tersebar tidak keruan.

Tadi Clarissa sudah menahanku untuk ke sini, tapi demi kelancaran acaraku. Aku harus bicara hari ini juga.

Perlahan tapi pasti, aku mendekatinya dan dengan satu tepukan dibahu kanannya. Dia menoleh dan terkejut menemukan wajah datarku di sebelahnya.

Sedetik kemudian dia berdiri, berhadapan denganku. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma mint dari tubuhnya, wangi yang tidak pernah berubah sejak pertama kita bertemu.

Dan aku masih terus mengingatnya sampai detik ini.

"Hai, Ta" sapanya, wajahnya sudah tidak seterkejut tadi.

Suaranya.

Kenapa setelah lama tidak bertemu dan tiba-tiba mendengar usuaranya, aku jadi ingin terus mengajaknya bicara.

Iya, suaranya seperti candu di telingaku.

"Kenapa, Ta?" tanyanya. Mungkin sebenarnya dia masih bingung dengan kedatanganku yang tiba-tiba, ditambah aku tahu keberadaannya tanpa bertanya kepadanya.

Mungkin dia tidak sadar kalau nomornya sudah tidak bisa aku hubungi.

"Kita harus bicara, tapi gak di sini." Jawabkku akhirnya sambil berpikir lokasi yang pas untuk kami bicara.

"Kantin belakang aja gimana?" Lanjutku. Dia menaikan sebelah alisnya seperti biasa, dia pasti tolak.

"Kedai kopi biasa aja," katanya cepat. Tanpa menunggu persetujuan lagi, dia sudah berjalan mendahuluiku tanpa menoleh lagi ke belakang.

Masih ingat kan dia tipe orang seperti apa? Jadi prediksiku gak salah kalau dia akan langsung mengiyakan untuk bicara padaku tanpa repot-repot bersikap sok manis.

"Laptop lo," aku masih bergeming di tempatku berdiri, menatap punggungnya yang bergerak menjauh, bergantian dengan laptop dan kertas yang masih berserakan di meja.

"Nanti ada temen gue yang rapihin," jawabnya santai. Sebelum pergi tadi, dia hanya membawa handphone dan dompetnya yang memang dia simpan di saku celananya.

Aku berdecih sambil mengikuti langkahnya yang sudah lebih dulu sampai di pintu perpustakaan.

"Kebiasaan banget sih lo! kalau laptop lo ilang gimana ih?" Gemes banget sama sikap acuhnya Hangga, dikira laptop seharga helm motornya kali ya.

Dia menoleh begitu aku sudah duduk di boncengan motornya. Tanpa diduga, dia menarik bibirnya ke atas.

Demi apapun, aku gak mungkin salah lihat.

Hangga tersenyum di balik helmnya.

Rasanya canggung.

Ini senyuman jahil yang biasa dia tunjukkan kalau meledekku. Benar saja, karena dua detik setelahnya dia berkata, "Sebegitu pedulinya, masih sayang lo ya?"

Kalau aja dia belum menjalankan motornya, mungkin aku akan lebih milih loncat dan menelan semua pertanyaanku.

Duakkk

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang