10. Mimpi Aira

995 63 1
                                    

Suasana di perpustakaan benar-benar tenang, sangat cocok untuk seorang gadis yang kini sedang ingin menyendiri. Seperti Aira yang saat ini sedang bergelut dengan laptopnya.

Hawa dingin dari AC juga ketenangan di sana membuat Aira bisa fokus menyelesaikan tulisannya itu. Bagi Aira untuk menciptakan sebuah ide harus dalam kondisi yang tenang, bukan hanya lingkungan tapi juga pikiran yang tenang.

Setelah selesai membaca beberapa buku fiksi yang ada di perpustakaan, Aira kembali melanjutkan kegiatan menulisnya.

Selain dari kesibukannya di rumah singgah, Aira juga sangat menyukai dunia sastra. Terutama bloging, ia sudah banyak menghabiskan waktu untuk belajar menulis artikel yang mampu membuat pembacanya ikut serta dalam tulisan yang ingin ia sampaikan.

Meskipun berkali-kali gagal, namun ia tak pernah patah semangat untuk mewujudkan mimpinya itu. Baginya menulis harus menggunakan perasaan, karena ia ingin menyampaikan suatu perasaan yang berbeda kepada banyak orang.

Ia ingin orang lain merasakan apa yang dipikirkan atau dirasakan olehnya. Berbagi perasaan itu bisa membuat hidup kita berubah. Bagi Aira untuk mengenal kehidupan yang lebih baik, kita harus bisa merasakan apa yang orang lain rasakan.

Saat Aira sedang asik menulis, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya. Yang pastinya orang itu akan mengganggu konsentrasi Aira.

"Aira dicariin di mana-mana juga, taunya ada di sini." Devita duduk di bangku sebelah Aira yang memang masih kosong.

"Ada apa sih, Dev?" ucap Aira yang masih fokus menatap layar laptopnya.

"Kamu masih sibuk nulis yah, Ra?" tanya Devita.

"Iya, ini bisa kamu liat sendiri!"

"Ya udah lanjutin, Ra. Eh, tapi yah Ra masa tadi aku liat Leiva dianter sama Valdi."

Aira menghentikan acara mengetiknya sejenak, namun tanpa menoleh ke arah Devita. Ia mengambil napas sejenak, berusaha membuang duri yang terasa menancap di hatinya.

"Terus, kenapa kalo Valdi nganterin Leiva?" jawab Aira dengan tenang.

Devita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Emm, ya nggak papa sih. Cuman kamu gak cemburu, Ra?" tanyanya dengan hati-hati.

Aira kembali menghentikan acara mengetiknya, lalu beralih menatap Devita. "Dev, aku udah berusaha mengikhlaskan perasaanku, kok. Leiva suka sama Valdi, dan sepertinya Valdi juga memberikan perhatian lebih pada Leiva. Kalo seandainya mereka memang saling suka, aku bisa apa?"

Devita menggigit bibir bawahnya. Aira memang benar, dan lagi ia juga tahu bahwa Aira memang mudah mengalah.

Kemudian senyum di bibir Devita merekah, ia salut pada sahabatnya itu. Mungkin jika dirinya yang ada di posisi Aira, ia tak akan kuat. Namun, ini Aira seorang gadis yang baik hati dan lembut. Mudah mengalah, dan mendamaikan perasaan setiap orang yang mengobrol dengannya.

"Kamu benar, Ra. Di luar sana masih banyak kok lelaki yang lebih tampan dan sholeh dari Valdi. Kamu semangat yah, Ra!"

Iya, yang lebih tampan dan sholeh banyak, Dev. Tapi, hanya sedikit yang mampu menggetarkan hati.

Aira lalu tersenyum pada sahabatnya itu. "Iya, iya, Dev. Kamu kan yang lagi nungguin pangeran tampan, baik hati, dan sholeh itu datang buat meminangmu," goda Aira sambil terkekeh.

"Ish, Aira bisa aja deh, haha." Devita tertawa bersama dengan Aira, namun tawanya itu musnah ketika melihat seseorang memasuki perpustakaan.

"Aduh, Ra, ini kalo pangerannya yang kayak gitu, mending aku kabur aja deh." Devita menunjuk seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan sedikit panik.

Aira pun langsung melihat ke arah orang yang dimaksud Devita itu. Ternyata orang itu adalah Veno.

Baru juga dikhawatirkan oleh Devita, ternyata Veno melihat ke arahnya dan tersenyum bahagia dari jauh. Veno lalu melambaikan tangan pada Devita, bersiap untuk menghampirinya.

"Wah ... Aira dia mau ke sini nih. Aduh gimana ini? Gimana yah, Ra? Ngumpet di mana?" jawab Devita heboh. Ia juga mencoba menutupi wajahnya dengan buku, namun tetap tidak berhasil. Veno sudah terlanjur melihatnya.

Devita pun melakukan hal konyol, seperti mengumpat di kolong meja, tentu saja ia akan tetap ketahuan. Lantas ia bergerak panik bak cacing kepanasan.

Devita pun berlalu hendak pergi dari sana. Tepat sekali ia melihat Valdi yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya.

"Eh, Dev. Ngapain kamu panik gitu?" tanya Valdi.

"Aduh Val, ini gawat. Ada bahaya buat gue, gue harus segera menyelamatkan diri. Aduh ke mana yah? Ah, ke sana aja deh." Devita lalu pergi ke balik rak, ia berusaha menghindari Veno.

Beberapa detik setelahnya Veno menghampiri tempat Aira. "Loh Aira, inces Devita ke mana?"

Aira masih terkekeh geli, ia pun berusaha tenang dan menjawab Feno. "Gak tau, udah terbang kali ke kayangan."

"Yah, kan babang Eno mau nyamperin. Kejar aja deh." Veno lalu pergi ke arah Devita tadi pergi.

Valdi yang melihat kejadian itu hanya bisa tertawa. Ia lalu menghampiri Aira yang memang sedang duduk sendirian.

"Siapa, Ra?" tanya Valdi sambil duduk.

"Oh, itu Veno, dia selalu ngejar-ngejar Devita dari dulu. Tapi, Devita gak pernah mau sama dia," jelas Aira masih terkekeh.

"Haha, jelaslah gitu-gitu selera Devita kan tinggi."

Aira mengerutkan keningnya bingung. "Kok, kamu tau sih?" tanya Aira.

"Iya lah, Devita kan gitu dari SMA, Ra. Suka ngayalin cowok yang ganteng, alim, putih, tinggi. Dia juga suka gosipin most wanted sekolah dulu kalo kumpul osis."

"Oh, iya masa sih? Kok aku gak tau, yah?" tanya Aira.

"Kamu ketinggalan info deh, Ra. Devita kan emang alay dari SMA. Mau aku ceritain banyak tentang Devita?"

Aira terkekeh pelan mendengar jawaban Valdi. Sepertinya ia benar-benar ketinggalan informasi tentang kehidupan Aira di masa SMA.

Aira pun mulai tertarik dengan obrolan Valdi. "Wah, boleh banget tuh."

Valdi lalu menceritakan panjang lebar pada Aira. Mereka kembali mengulang masa SMA, seperti waktu di rumah singgah.

Keduanya lalu tertawa bersama. Valdi masih sama seperti dulu, selalu bisa membuat Aira nyaman dan tertawa.

Entahlah apakah Aira bisa mengikhlaskan Valdi atau tidak jika urusannya sudah begini.

"Eh, Ra, kamu lagi ngapain sih?" tanya Valdi setelah berhenti tertawa.

"Oh, ini lagi nyoba-nyoba buat nulis."

"Buat artikel atau novel?"

"Hee, ini masih berantakan. Gak tau deh nanti jadinya apa," jawab Aira sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Wah, masih suka nulis kayak dulu yah, Ra. Semangat kamu pasti bisa!"

Valdi kembali memberikan senyum manisnya. Senyum yang tak pernah bisa Aira lupakan. Mengapa Valdi harus melakukan ini pada Aira? Aira benar-benar bingung.

Ia takut hatinya akan goyah. Mengapa Valdi mudah sekali menerbangkan dirinya, setelah sebelumnya terjatuh.

***

TBC

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang