26. Luruh

213 12 2
                                    

Hujan mengguyur kota Bandung dengan deras. Membuat banyak orang berlarian menghindar dari tetesan hujan. Bagi sebagian orang hujan memiliki kenangan yang indah, begitu juga bagi Devita.

Ia mengingat masa kecilnya dulu saat berlarian ke sana kemari menghindari hujan. Waktu itu ketika ia masih SMP hujan turun begitu saja. Ia sangat menyukai hujan sehingga ia membiarkan tubuhnya diguyur oleh hujan begitu saja.

Andreas yang disuruh menjemput adiknya merasa terkejut saat melihat Devita malah asik di bawah hujan. Bukannya mencari tempat teduh Devita malah bermain dengan hujan.

Andreas yang melihat kelakuan adiknya langsung menghampirinya dengan payung. "De, kamu ngapain malah main hujan-hujanan? Nanti dimarahin mama, ayo cepet pulang!"

Devita tak mempedulikan ucapan kakaknya itu. Ia malah merebut payung milik kakaknya dan membuat baju kakaknya mulai basah tersiram air hujan.

Waktu itu Devita sangat bahagia karena bisa mengusili kakaknya. Kakaknya yang selalu hangat padanya dan tidak pernah memarahinya. Entah mengapa ia bisa memiliki kakak sebaik itu.

Kenangan itu tiba-tiba saja terputar di memorinya. Devita yang sedang menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong mulai meneteskan air mata. Ia sudah berusaha untuk kuat, tapi terlalu sulit untuknya.

"Nggak, aku nggak boleh lemah gini. Kak Andreas pasti sedih lihat aku kayak gini." Devita menyeka air matanya.

Seberapa pun ia bersedih, ia tetap harus kuat. Ia tidak ingin membuat kakaknya sedih melihatnya seperti ini. Keputusannya sudah bulat. Ia tetap akan menjalani perawatan di Jakarta bersama dokternya yang kemarin.

Ia akan menagih ucapan dokternya yang akan memberikan perawatan dengan baik. Ia percaya pada dokternya. Ia juga percaya pada dirinya sendiri. Dan ia juga percaya Allah akan membantunya dalam setiap kesulitan yang ia lewati.

Devita harus sanggup menghadapinya. Pertama ia harus ke Jakarta dulu dan memberitahu semuanya pada sahabatnya, Aira dan Leiva. Mereka mungkin akan sangat terkejut dan sedih. Namun, Devita sudah siap dengan segala kemungkinannya.

Sebelum ke Jakarta ia menghubungi dokternya. Sebelum ia pulang dokternya sempat memberikan nomor ponselnya apabila ada kepentingan terkait pengobatannya. Setidaknya Devita memberitahukan dokternya bahwa ia siap dengan segala pengobatan yang dijanjikan dokternya itu.

Di sisi lain Angga tersenyum kala mendapati pesan dari nomor yang tidak dikenal. Dari tulisannya ia paham siapa orang yang mengirim pesan itu. Angga bersyukur pasiennya itu kini memiliki semangat bertahan hidup dan sepertinya ia lebih bisa menerima kenyataan dibanding sebelumnya.

"Dok, saya sudah siap dengan pengobatan yang dokter janjikan ke saya. Saya akan segera ke Jakarta untuk menagih janji dokter. Saya harap dokter memegang omongan dokter tempo hari pada saya—Devita."

"Kenapa senyum-senyum gitu? Kayaknya senang banget?" tanya Aira yang mendapati Angga tersenyum lebar saat menerima pesan padahal sebelumnya ia sedang sangat kepedasan.

Iya, hari ini Angga berhasil mengajak Aira menuju tempat makan yang kemarin dijanjikannya. Aira pikir sebelumnya Angga hanya bercanda, tapi hari ini ternyata Angga benar-benar mengajaknya makan berdua.

Untunglah di sana menyajikan banyak menu. Jadi, Aira bisa memilih makanan yang ia suka dan Angga dengan makanan pedasnya. Meski selera mereka berbeda, tapi keduanya tetap mengobrol dengan asik.

Bahkan Aira sering tertawa melihat ekspresi Angga yang kepedasan karena salah memilih makanan. Meski begitu Angga tetap memakannya dan malah menambah porsinya. Angga juga menceritakan banyak hal yang membuat keduanya terlarut dalam waktu yang lama.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang