19. Rasa Yang Pernah Ada

614 28 4
                                    

Sebuah alunan lagu pop menggema di setiap sudut kafe. Irama gitar dengan suara manis sang pemilik suara itu seolah mampu menyihir setiap wanita yang mendengarnya.

Setelah alunan lagu itu selesai seluruh pengunjung menyambut meriah dengan tepukan tangan. Pemilik suara itu berjalan pada ujung bangku di kafe tersebut.

"Gila auro lo keren banget, bro."

"Bisa aja lo, Val."

"Eh, lo lihat deh cewek di ujung sana, dari tadi dia ngeliatin lo terus, Han."

"Hmm, cantik."

"Gimana? Samperin nggak nih?"

"Gak lah."

"Waduh tumben banget seorang Johan gak mau nyamperin cewek, tobat lo!"

"Ya, seperti yang lo tahu. Sekarang Leiva mencoba buat nguasain hati gue."

Dua orang lelaki pada ujung bangku kafe itu adalah Johan dan Valdi. Malam minggu memang menjadi rutinitas Johan untuk merefresh harinya.

Johan biasa manggung di kafe tersebut. Kafe yang sebenarnya juga milik salah satu keluarganya. Valdi sudah bersahabat dengan Johan sejak lama. Valdi hapal dengan kehidupan Johan dahulu.

Johan yang sering putus nyambung dengan banyak wanita. Jika sudah putus bisa dalam kurun waktu kurang dari seminggu, ia telah mendapatkan gantinya.

Katanya cowok tampan bebas memilih wanita mana saja yang ia mau. Valdi hanya bisa memaklumi hidup sahabatnya itu.

Namun, saat ini sepertinya Johan sedang enggan untuk berkenalan dengan banyak wanita. Jika dahulu setiap manggung ia selalu mendapat kontak baru dari wanita, sekarang ia tidak mendapatkan satu kenalan pun.

Sepertinya Johan benar-benar menaruh harap pada Leiva. Valdi yang mengetahui itu awalnya mengira bahwa sahabatnya hanya akan main-main saja seperti yang sudah-sudah. Tapi, kenyataannya sahabatnya itu banyak berubah tidak seperti dulu.

"Lo seriusan nih mau sama Leiva? Leiva tuh orang baik, bro, jangan lo buat mainan," ucap Valdi sedikit serius sambil menepuk bahu Johan.

"Gue gak tau kenapa Leiva bikin banyak perubahan dalam hidup gue. Gue ngerasa berubah jadi Johan yang lebih baik."

"Kalau emang itu yang lo mau, lo siap-siap deh."

"Maksud lo?"

"Ya, gue pikir dia gak mau sama orang yang beda agama. Ini pasti berat banget buat dia, apalagi dia temannya Aira sama Devita, yang mana lo tahu sendirilah mereka gimana."

"Nah, itu dia yang bikin gue berpikir keras, Val."

"Gak papa, Han, selama belum lo perjuangin selama itu pula lo gak bakal tahu gimana hasilnya."

Jika belum dicoba siapa yang tahu bukan? Manusia memang memiliki banyak perbedaan, tapi manusia juga dikaruniai otak yang cerdas untuk berpikir.

Dengan orak cerdasnya manusia bisa memiliki 1001 cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan bisa lebih.

Barangkali Tuhan merencanakan sesuatu yang indah untuk mereka. Skenario Tuhan siapa yang bisa menebak? Entah itu bahagia atau justru sebuah kepedihan.

Segala sesuatu telah diatur oleh-Nya. Jika bukan untuk bersatu barangkali dipisahkan dalam suatu makna yang dalam, yang mana memberikan sebuah pelajaran yang berharga bagi siapa saja yang menyadarinya.

Hidup itu bukan hanya perihal meraih kesuksesan, tapi juga kegagalan. Kegagalan yang mampu membuat setiap manusia lebih kuat, lebih hebat tentunya dibanding manusia yang lain.

Oleh karena itu, tidak ada yang sia-sia dalam berusaha. Perihal hasil manusia hanya bisa berserah pada Yang Maha Kuasa.

"Lo gak suka kan sama Leiva?" tanya Johan mendadak.

"Enggak lah. Gue cuma teman sama dia."

"Tapi dia kayak deket gitu sama lo."

"Gue masih ngarepin seseorang, Han."

"Waduh, siapa tuh? Kenapa lo gak pernah cerita ke gue."

"Haha ada lah."

"Wah main rahasia-rahasiaan yah lo. Oke, gak papa, Johan yang kece ini suatu saat juga bakal tau. Haha. Ya udah deh lo mau pesen apa? Biar gue pesenin."

"Rasa yang pernah ada, ada gak?"

"Wah bucin yah lo."

"Haha, itu yang gue butuhin sekarang soalnya, bro."

***

Leiva membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan bernuansa putih. Ia lalu merasakan sedikit nyeri pada kepalanya. Saat memegang kepalanya, sebuah perban telah melilit kepalanya.

Ia berpikir sejenak apa yang telah terjadi padanya. Setelah berpikir cukup lama akhirnya ia sadar akan suatu hal.

Terakhir yang ia ingat adalah ia hampir menabrak seorang pejalan kaki. Ia berusaha menghindar, namun malah menabrak pembatas jalan. Setelah itu ia tak mengingat apa pun.

Perasaannya masih sakit. Yang diperban kepalanya, tapi nyeri di hatinya justru lebih terasa menyakitkan.

Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan jika Valdi menyukai Aira begitu pun sebaliknya. Ia tak pernah mencintai seseorang sedalam ini.

Hal ini cukup menyulitkan bagi Leiva. Terkadang cinta memang membuat seseorang egois, bahkan bisa membuat sang pemilik cinta itu hilang kendali. Seperti yang dirasakan Leiva saat ini.

Ia benar-benar tak bisa berpikir jernih. Laju mobilnya yang di atas rata-rata membuatnya terbaring di rumah sakit.

Tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam ruangannya. "Assalamualaikum, Leiva kamu gimana keadaannya?"

Sakit. Leiva malah merasakan hal aneh dalam dadanya. Sebuah rasa yang menyakitkan hadir kian nyata saat melihat orang itu.

Aira dan Devita kini diliputi perasaan cemas saat mendengar sahabatnya itu mengalami kecelakaan. Satu jam yang lalu seorang suster menghubungi Devita dan mengabarkan kondisi Leiva.

Leiva yang terbaring di ranjang serba putih itu hanya diam saja. Entah masih pusing atau memang enggan untuk banyak bicara.

"Syukurlah keadaan lo gak parah-parah banget." Kini giliran Devita yang bernapas lega melihat kondisi Leiva.

Devita bisa menduga apa yang terjadi pada sahabatnya yang keras kepala itu. Pertemuan terakhir mereka seolah menjadi jawaban atas segala pertanyaannya. Wajar saja bila Leiva begitu kecewa. Ia amat mengerti perasaan sahabatnya itu.

"Kamu kok bisa sih kecelakaan gini, Va?" Aira masih tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya. Ia benar-benar takut terjadi apa-apa dengan Leiva.

Apalagi terakhir Leiva bersikap aneh padanya. Ia takut ini terjadi atas kesalahannya. Ia takut tidak bisa menjadi sahabat yang baik untuk Leiva maupun Devita.

"Dipikir gue mau kecelakaan kayak gini." Leiva menjawab tanpa menatap Aira. Perkataannya benar-benar ketus. Hal demikian membuat Aira sakit hati, tapi ia kesampingan perasaannya itu.

Sementara Devita hanya bisa menghela napas lelah. Sepertinya dugaannya benar, Leiva akan bersikap ketus pada Aira. Devita sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.

Bukan lantaran ia tak bisa menjadi sahabat yang baik. Melainkan ia sendiri kini sedang pusing dengan masalah yang menghadangnya.

Ia belum memiliki banyak waktu untuk memikirkan orang lain karena akhir-akhir ini pikirannya disibukkan oleh masalahnya sendiri.

Besok saja aku memikirkan kalian. Sepertinya masing-masing kita butuh rehat agar bisa berpikir tenang dan melanjutkan hari, ucap Devita dalam hati.

***

Sedikit ya gak apa-apa? Hehe.
Authornya juga pusing, sepertinya author juga butuh rehat untuk hari esok.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang