05. Pengganti Rasa Sakit

1.2K 69 2
                                    

“Baiklah kelas saya tutup terlebih dahulu. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan lusa melalui email sebelum jam 8, lebih dari itu saya tolak. Sekian, terima kasih. Selamat siang.” Kelas diakhiri oleh pak Budi.

Aira dan kedua sahabatnya memasukkan alat tulis ke dalam tasnya. Setelah itu mereka pergi meninggalkan kelas. Untuk mata kuliah kedua masih satu jam lagi, jadi banyak mahasiswa yang memilih meninggalkan kelas.

“Eh, kita ke gazebo dulu, yuk!” kata Devita saat sudah keluar kelas.

“Ya udah, ayo!” balas Leiva.

Ketiganya lalu berjalan menuju gazebo depan fakultas. Gazebo memang selalu ramai di jam-jam seperti ini, ada yang mencari wifi, sekedar nongkrong, ngerjain tugas, atau hanya sekedar menumpang tidur.

“Aku bawa bekel nih, ada yang mau gak?” kata Aira saat sudah duduk di gazebo.

“Wah, mau dong Ra. Bawa apaan?”

“Kamu kapan masaknya, Ra? Kok aku gak tau kamu bawa bekel,” ucap Devita.

“Tadi pagi, kamu mah masih sibuk di kamar,” kata Aira, “ini aku bawa nasi goreng spesial.”

“Si Devi mah kagak pernah bantuin kamu masak, iya kan, Ra?” timpal Leiva.

“Yee ... sok tau lo Lelei. Inces mah kalo masak emang agak siangan, tapi kalo udah jadi, ugh, restoran bintang lima kalah deh!” balas Devita tak mau kalah.

Saat ketiganya sedang asik mengobrol, tiba-tiba ada laki-laki yang datang menghampiri ketiganya.

“Assalamu’alaikum inces Devita, dicariin dimana-mana taunya ada di sini. Ini abang Eno bawain inces makanan.”

Seorang laki-laki berkacamata dengan penampilan yang sangat rapih, bahkan saking rapihnya sampai kerah bajunya dikancing sampai bagian atas. Orang lain menyebutnya dengan cowok kampus yang agak ‘culun’.

Memang sih tampangnya masih sedikit tertolong, hanya saja penampilannya itu yang membuat kebanyakan perempuan merasa enggan untuk didekatinya.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ketiganya bersamaan.

“Ih ... Veno ngapain sih lo pake nyamperin gue segala? Gak usah bawa-bawain makanan lagi deh!” teriak Devita dengan suara cemprengnya.

“Haha ... rasain tuh inces Devita disamperin sama babang prince-nya. Haha.” Leiva tertawa puas melihat kejadian itu.

Sedangkan Aira hanya bisa menahan tawa, takut dimarahi sahabatnya itu jika ketahuan menertawakannya.

“Kan, Eno gak pengin liat Devita kelaparan, jadi Eno bawain makanan.”

“Wah, sweet banget lo No. Beruntung banget Devi ini dideketin lo!” ejek Leiva secara terang-terangan.

“Apaan sih, emangnya gue gak dikasih makan apa? Sampe kelaparan segala, ya gak mungkin lah. Gue bisa cari makan sendiri, No!”

“Gak papa deh, ini Eno bawain roti buat Devita. Siapa tau Devita luluh gitu sama makanan buatan Eno, itu Eno buat sendiri, loh. Khusus buat Devita.”

“No, makasih gak usah repot-repot. Mending lo kasih ke orang lain atau lo makan aja sendiri, dan stop buat deketin gue! Ngerti?”

Devita lalu menyodorkan kembali kotak makan kepada Veno. Perasaan Veno sedikit hancur, namun Devita tidak mempedulikan itu. Setelah berkali-kali mengusir Veno, akhirnya Veno pergi dari hadapannya.

“Ya ampun, gak ada kapok-kapoknya ya tuh anak,” kata Aira.

“Eh, Cincilla bukannya lo pengin nikah muda? Sono lo nikah sama babang Eno, haha.”

Devita sangat kesal mendengar ejekan dari sahabatnya itu. Hampir saja ia mengamuk jika Aira tidak mencegahnya.

“Udah, gak usah berantem. Tahan emosi Dev,” kata Aira yang masih menahan tawanya.

“Apa Ra? Awas aja kalo ketawa!” ancam Devita dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Udah, udah, jangan ngambek. Nih, dimakan nasgor spesial buatan aku!” kata Aira. Leiva masih berusaha mengontrol tawa lepasnya.

“Heran gue, kenapa gak lo terima aja sih Veno?” kata Leiva sok serius.

“Lo ngejek gue, hah? Gue milih jodoh itu pilih-pilih kali.”

“Ya, siapa tau aja kan dia jodoh lo? Haha.”

“Ish, ogah gue. Am─”

“Dev, gak boleh gitu, ih,” potong Aira.

“Hehe, iya Ra. Maaf,” jawab Devita nyengir.

Aira tau Devita akan berbicara apa setelah itu. Jadi, sebelum Devita melanjutkan kalimatnya, buru-buru Aira memotongnya. Sebelum Devita benar-benar menjelekkan orang lain, walaupun secara tidak langsung.

Perkara jodoh tiada yang tahu. Siapa tahu suatu saat nanti Veno berubah menjadi lelaki idaman Devita. Tidak ada yang tahu bukan? Makanya kita tidak boleh menjelek-jelekkan orang, takutnya malah jadi menjilat ludah sendiri.

Lagian menjelekkan orang itu tidak baik. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Biar bagaimanapun rupa dan kepribadian orang itu, bukannya mereka tetap hamba Allah, ciptaan Allah? Dan Allah tak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia.

Nasi goreng Aira habis dalam waktu kurang dari lima menit. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan kedua sahabatnya itu. Apalagi Devita yang sedang kesal, ia bisa menghabiskan banyak makanan untuk meluapkan kekesalannya itu.

“Buset dah, laper apa doyan lo?” kata Leiva.

“Kesel gue! Eits, suapan terakhir buat gue. Awas lo makan!” ancam Devita saat melihat porsi nasi goreng yang tinggal satu sendok.

Sayangnya, Leiva justru tak mempedulikan ancaman Devita. Ia malah menyuapkan nasi goreng terakhir itu dengan slow motion, seolah mengejek Devita. Dan, ia sangat senang karena bisa membuat Devita kesal.

“Ih, kok lo makan sih? Ngeselin banget tau gak? Balikin lagi gak!”

Leiva hanya mengunyah makanannya dengan santai, tentunya dengan gayanya yang sok cantik.

“Awas ya lo nanti!”

“Apa lo, mau gue muntahin ini nasgor, hah?”

“Ish, ngeselin banget sih Lelei!”

“Udah ah, nanti aku buatin lagi di rumah.”

“Gak bisa, Ra. Ini melanggar hukum, Leiva itu udah nantang aku secara terang-terangan.”

Dan, terjadilah perdebatan diantara keduanya. Aira sudah tidak bisa lagi mencegahnya.

Biarlah itu menjadi hiburan bagi Aira. Setidaknya itu bisa mengalihkan pikiran Aira yang sedang tak terkontrol.

Aira sangat bersyukur karena memiliki kedua sahabat yang selalu bisa membuatnya tertawa. Ia tidak bisa membayangkan jika hubungannya dengan kedua sahabatnya itu hancur karena sebuah perasaan.

Aira takkan pernah membiarkan itu terjadi. Jika memang ia harus mengalah, maka akan ia lakukan.

Terutama jika hal itu bisa membuat hubungannya dengan kedua sahabatnya baik-baik saja.

“Leiva ...,” panggil seseorang yang membuat Aira berhenti tersenyum.

Orang itu adalah Valdi. Valdi tiba-tiba datang ke gazebo menghampiri ketiganya. Ah tidak tepatnya menghampiri Leiva, karena yang dipanggilnya hanya Leiva.

Aira sudah menyiapkan seribu senyum palsunya untuk menghadapi Valdi. Ia tahu keadaan ini akan sering dihadapinya.

Ini adalah awal baru bagi hidup Aira. Awal baru untuknya melatih kesabaran. Kesabaran yang akan memancing rasa sakitnya. Iya, Aira harus sabar menghadapi keadaan yang mungkin kedepannya akan sangat menyakitkan.

Bismillah, kata Aira dalam hati.

***

Jangan lupa berikan saran & kritik yang membangun. Vote dan komen juga, jika kalian suka sama cerita ini.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang