16. Ada yang Mau Pindah Haluan?

1.3K 54 12
                                    

Aira berdiam sesaat, berbicara nikah muda. Aira selalu ingat perkataan Devita yang bertanya, apakah ia tidak menyebutkan nama Valdi dalam setiap doanya? Bahkan Aira tidak pernah memikirkan hal itu.

Baginya terlalu lancang untuk menyebutkan nama orang lain di depan Tuhannya. Aira jadi sedih, ketimbang memikirkan perkara jodoh ia lebih takut kepada maut.

Ia takut maut menjemputnya ketika ia belum siap. Perkara menikah juga sama halnya dengan maut. Keduanya sama-sama butuh persiapan yang matang. Keduanya sama-sama membutuhkan ilmu.

Bedanya maut amatlah dekat dan tidak ada yang tahu. Jodoh selalu saja kita pikirkan, padahal kita tidak pernah tahu siapa yang akan menjemput terlebih dahulu, jodoh atau maut?

Ketika memikirkan hal itu Aira selalu teringat pada mimpinya juga kepergian ayahnya yang belum sepenuhnya ia ikhlaskan. Sebenarnya Aira sudah mengikhlaskan ayahnya, tapi Aira tidak ikhlas jika kasus ayahnya ditutup begitu saja. Padahal kasus itu masih abu-abu.

Kejadian itu membuat luka tersendiri dalam hati Aira. Sebuah luka yang begitu dalam dan susah untuk disembuhkan. Hal itu juga mengakibatkan sebuah trauma.

Ketakutan yang datang sewaktu-waktu dan selalu mengganggu pikirannya. Oleh sebab itu Aira selalu mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang akan terjadi. Tetapi, ketimbang menyiapkan diri ia lebih merasa takut dan tertekan di waktu-waktu tertentu.

Yang bisa Aira lakukan saat ini adalah terus berusaha yang terbaik. Menyimpan segala kegelisahannya itu sendiri. Mungkin karena sebab itu Aira sampai lupa untuk menyebut nama seseorang dalam setiap doanya.

Ia mencoba tersadar dari lamunannya itu. Sebuah lamunan yang akan membangkitkan sakit yang tak berujung.

"Kalian ini ada-ada aja deh, perkara nikah muda aja pake didebatin. Sebenarnya apa sih yang bikin kalian berdebat kayak gini? Awal mulanya tuh gimana?" tanya Aira kepada kedua sahabatnya.

Ya, setelah melalui proses yang panjang akhirnya kedua sahabat Aira memutuskan untuk berdamai. Meskipun satu sama lain masih sedikit kesal. Biasalah mereka itu kan bagaikan kucing dan tikus yang tidak bisa akur.

Sejenak Leiva mengingat kejadian tadi yang membuat dirinya terjebak debat dengan Devita. Ia pun menceritakan itu pada Aira dengan antusias.

"Ah, iya Ra, aku ingat tadi pagi tuh Devita dikejar-kejar sama pangerannya, haha lucu banget tau, Ra." Akhirnya Leiva pun tertawa lepas mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.

Sedangkan Devita hanya bisa menekuk wajahnya kesal. Ia juga kesal karena kelakuan Veno pagi tadi. Niatnya untuk ceria di pagi hari benar-benar gagal.

"Oh, jadi kamu berangkat pagi buat ketemu sama Veno yah, Dev?" ledek Aira menahan tawa.

Meledak lah emosi Devita ketika disangkut pautkan dengan Veno. Entahlah, sepertinya ia sangat membenci lelaki itu.

"Ih, Aira ... ya enggak lah. Sumpah yah, kesel banget aku tuh sama itu makhluk. Pagi aku tuh hancur gara-gara dia, matahari di pagi hariku berganti mendung." Kini Devita menampakkan wajah lesunya, sepertinya mendung benar-benar menghampiri paginya kali ini.

Leiva tertawa puas, sepertinya meledek Devita sudah menjadi makanan favoritnya setiap hari. Sementara Aira hanya berusaha menahan tawa, ia juga tidak tega melihat nasib Devita yang seperti itu. Rasanya terlalu jahat jika dirinya ikut menertawakan sahabat satu atapnya itu.

"Eh, Ra, tapi ada berita yang lebih hots dari itu loh. Pagi tadi ada yang dianter sama gebetan barunya." Devita kembali memojokkan Leiva.

Raut wajah Leiva seketika berubah, seperti seseorang yang akan dipanggil sidang skripsi —panas dingin—. Sementara Aira menautkan kedua alisnya heran. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa yang dimaksud Devita itu.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang