28. Rencana Aira

75 8 3
                                    

Aira memperhatikan Devita dari jauh. Meskipun Devita bilang ini bukan salahnya, ia tetap merasa bersalah. Hal yang tidak diketahui oleh banyak orang tentang Aira adalah sifat pemikirnya.

Aira selalu saja memikirkan sesuatu dengan dalam, seperti masa lalunya yang kini masih saja terus terpikirkan olehnya. Begitu juga tentang sakit Devita. Ia menyesal mengapa baru mengetahuinya sekarang. Bahkan ia berkali-kali berkata pada dirinya sendiri bahwa gagal menjaga sahabatnya itu.

Aira pikir selama ini ia terlalu egois. Seringkali ia mengabaikan perasaan Devita dan hanya memikirkan perasaannya sendiri. Padahal Devita selalu ada di saat Aira diam-diam menangis karena teringat ayahnya.

"Ra, ngapain sih ngalamun aja?" tanya Devita mengagetkannya.

"Gak papa kok, Dev."

"Jangan bohong, Ra."

Aira diam sejenak sampai akhirnya dia berucap. "Maafin aku yah udah egois selama ini."

Devita yang mendengar ucapan itu hanya menggeleng lembut membuat sahabatnya agar tidak usah merasa bersalah.

"Aku sampai gak tau kamu sakit, aku terlalu sibuk sama diri aku sendiri, padahal selama ini kamu selalu peka kalau ada apa-apa sama aku."

"Udah, Ra ini udah terjadi dan bukan salah kamu kok. Kita gak pernah tau apa yang bakal terjadi ke depannya. Menurut aku, kamu selama ini udah baik banget, Ra. Kamu selalu ada buat aku."

Aira lalu memeluk sahabatnya itu. Setelah itu Leiva datang dari arah depan dengan membawa makanan.

"Loh ngapain pada peluk-pelukan, baru juga ditinggal bentar udah aneh aja kalian. Astaghfirullah gue punya temen aneh banget."

"Yee sialan lo ngatain gue aneh, mana sini makanannya dari tadi kek gue udah laper nih."

Mereka pun menikmati makanan yang dibawa Leiva. Setelah selesai makan Devita mengeluarkan berbagai macam obat yang ia miliki.

Melihat Devita yang mulai meminum obatnya satu per satu membuat Aira dan Leiva tak tega melihatnya. Mereka masih tidak percaya bahwa sahabatnya akan menderita kanker otak.

"Ini biar aku aja yah yang bawa ke dapur," tunjuk Devita pada berbagai piring kotor. Sebelum mereka menjawab atau mencegah Devita, ia sudah terlebih dulu membawa piring-piring itu ke dapur.

Aira dan Leiva beberapa detik hanya saling menatap. Sampai akhirnya Aira mengeluarkan sebuah ide kecilnya. "Eh, gimana kalau kita buat senang Devita, kita turutin hal-hal yang selama ini dia penginin."

"Wah ide bagus tuh, kita bawa dia jalan-jalan sebelum dia sibuk rawat jalan."

"Iya kamu bener, aku pengin liat dia bahagia yang benar-benar bahagia. Aku gak tega liat dia nantinya kesakitan, Va."

Leiva mengerti apa yang dirasakan Aira. Ia memegang tangan sahabatnya itu mencoba menenangkan. "Devita orangnya kuat, Ra dan kamu juga harus kuat, biar dia gak makin sedih."

Ya, mereka tahu bahwa selama ini Devita hanya menutupi kesedihannya. Bahkan saat ia merasakan pusing atau sakit, ia pendam sendiri. Devita tidak ingin merepotkan orang lain.

Beberapa hari ini Leiva memilih menginap di rumah Devita. Katanya ia ingin menghabiskan banyak waktu untuk sahabatnya. Hal itu juga yang diinginkan Devita.

Keinginan kecil dari Devita pasti langsung diwujudkan oleh kedua sahabatnya itu. Mereka benar-benar memanjakan Devita selama sakit. Mereka pikir selagi mereka bisa melakukannya akan mereka lakukan sebelum terlambat dan menyesal nantinya.

"Dev, lo gak pengin liburan ke mana gitu?"

Devita terlihat berpikir ditanya seperti itu oleh Leiva.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang