30. Dijodohkan

62 9 1
                                    

Setelah selesai kuliah Aira langsung menuju rumah singgah. Rasanya sudah kangen dengan anak-anak di sana. Padahal baru beberapa hari ia absen tidak hadir.

Devita memilih pulang sendiri saat Leiva dan Aira berusaha keras mengantarnya pulang, tapi ia bilang masih bisa pulang sendiri. Katanya mumpung dia masih sehat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sahabat-sahabatnya.

Beberapa hari terakhir memang sangat terlihat perhatian lebih yang diberikan Aira dan Leiva pada Devita. Mereka tidak ingin barang sedetik melupakan sahabatnya itu. Takut jika tiba-tiba Devita merasa pusing dan sakitnya kembali kambuh.

"Kak Aira..." teriak David senang melihat Aira yang datang ke ruangannya. David benar-benar merindukan Aira.

"Assalamualaikum, gimana kabar David, sehat?"

"Wa'alaikumussalam, David sekarang ngerasa sehat, Kak. Kemarin-kemarin David harus bolak-balik rumah sakit. Katanya mereka bilang mau nyembuhin David, tapi rasanya sakit banget, Kak."

Aira meringis melinat David mengatakan itu. Ia masih tidak bisa membayangkan betapa besarnya rasa sakit yang dialami David. Seketika ia juga memikirkan Devita, ia takut jika sahabatnya nanti juga merasakan sakit yang sama bahkan lebih.

"Masyaallah David kuat banget, yah, sekarang udah gak sakit, kan?"

"Udah gak terlalu, Kak."

"Alhamdulillah, syukur deh kalau begitu, yang penting David jangan lupa berdoa, yah."

"Iya, Kak. Oh iya beberapa hari terakhir David mimpi ketemu ayah, kayaknya David kangen deh sama mereka."

Aira sedikit khawatir dengan ucapan David, semoga itu bukan pertanda buruk. Kasihan David kini tinggal seorang diri, ia pasti sangan merindukan kedua orang tuanya. Aira sebisa mungkin menghibur David dan mengajaknya mendengarkan cerita dengan yang lain juga.

"Iya, kayaknya David kangen deh sama Ayah. David jangan lupa terus doain ayah, yah, biar ayah di sana senang."

"Iya, Kak," jawab David dengan suara lirih, mungkin karena ia merindukan ayahnya.

"Ya udah kalau gitu sekarang kita gabung sama anak-anak yang lain, yuk. Kak Aira mau cerita nih menarik banget, pasti kalian seneng."

"Yeyy, Kak Aira mau cerita, ayo Kak, cepetan."

Di ruangan Rahma ia sudah sibuk meladeni sepupunya itu yang sedari tadi curhat. Angga yang tampilannya terlihat elegan itu ternyata memiliki sifat kekanakan. Ia kalau sudah bercerita dengan Rahma pasti akan sangat panjang, tidak selesai-selesai. Mungkin karena Rahma teman bermainnya sejak kecil dan hanya mereka berdua yang memiliki usia sepantaran di antara keluarga besar yang lain.

"Terus gimana, Ngga, gue gak ngerti deh maksudnya, lo tuh ngomong dari tadi muter-muter."

"Ya gitu, Ma. Mami tuh terus-terusan ngomongin anaknya tante Dewi, tante Ira, dan tante-tante yang lain, yang gue juga gak terlalu kenal itu siapa."

"Ya, terus hubungannya sama kegalauan lo itu apa?"

"Ish, masa lo gak ngerti juga sih."

"Ya, gue kan gak ngerti tebak-tebakan gitu. Maksud lo tuh tante Riana pengin punya anak lagi gitu?"

"Astaghfirullah, Rahma, ya gak gitu. Mami udah tua kali."

"Ya siapa tau aja gitu kan, hehe."

"Mami pengin punya cucu, mesti gak ngomong secara langsung, tapi gue paham maksudnya. Mami sama Papi juga beberapa kali nyindir gue buat cepet-cepet nikah."

"Ohh, itu maksudnya, bilang dong dari tadi. Eh, tapi lo mau nikah sama siapa, udah ada emang jodohnya?"

Angga sepertinya kesal dengan tingkah sepupunya itu. Pasalnya dari dulu ketika diajak curhat, Rahma selalu saja lola dan terkadang sangat tidak peka, tapi Angga berusaha untuk sabar. Angga berusaha memahami sifat Rahma itu.

Untukmu Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang