Tolong nyalakan lampu untuk hatiku yang gelap.
Hari ini aku sedih sekali..
.
.
.
.
.Hari ini sungguh merupakan hari yang berat bagiku. Berat dan melelahkan, baik bagi tubuh, maupun bagi hatiku. Terlalu berat bahkan untuk sekedar dikhayalkan, dipikirkan, diimajinasikan. Aku tak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang. Setidaknya, datang secepat ini.
Titan. Titan Laren, abangku yang paling sempurna, hari ini sudah pergi, dan pasti tak akan kembali lagi. Titan pergi dari dunia ini tanpa pamit, tanpa peringatan, tanpa tanda dan gejala. Dia pergi begitu saja, menyisakan aku dan Yosel hanya berdua di dunia ini.
Mereka bilang, Titan overdosis. Entah obat apa yang dia minum. Kami bertiga tinggal bersama dari sejak masa kanak-kanak kami, dan tak sekalipun aku maupun Yosel melihat ia sakit atau meminum obat. Berapa lama Titan menyembunyikan kebiasaannya itu dari kami? Bagaimana bisa ia menyembunyikan itu dari kami?
Yang lebih menyedihkan, aku yang seorang dokterpun bahkan luput melihat tanda-tanda ketergantungan obat pada dirinya. Dia terlalu lihai menyembunyikannya. Atau aku yang terlalu dungu.
Time for the Moon Night
Aku, Yosel dan Titan sudah bersama sejak kecil. Kami bertiga menghuni panti asuhan yang sama bertahun-tahun. Aku dan Yosel sudah di panti sejak bayi, tak pernah tahu siapa orangtua kami. Dan bukannya kami peduli juga. Bagi kami, kami di panti karena orangtua kami meninggalkan kami. Peduli amat pergi kemana. Kalaupun mereka meninggal, setidaknya aku dan Yosel tidak perlu bersedih karena kami tak pernah mengenal mereka.
Asalkan ada Yosel, hidupku sudah sempurna.
Titan datang belakangan, saat usianya sepuluh tahun. Orangtuanya,yang merupakan pengusaha penyewa gudang, mati terbakar dalam kebakaran besar di dalam gudang milik mereka sendiri. Betapa ironinya. Jika aku jadi Titan, aku akan berdoa sepanjang malam agar Tuhan membiarkanku ikut terbakar daripada hidup seorang diri.
Tapi, Titan anak yang kuat. Saat dia pertama kali diantar ke panti oleh polisi setempat, aku melihatnya berdiri tegak, tersenyum sehangat yang bisa ia usahakan kepada seluruh anak panti. Kepada Yosel. Kepadaku. Seolah kesedihan yang ia tanggung tidaklah besar.
Aku satu-satunya anak lelaki yang usianya paling dekat dengan Titan. Hanya terpaut dua tahun darinya. Jadilah kami berdua akrab secara alamiah. Dan siapapun yang dekat denganku, maka otomatis akan dekat dengan Yosel.
Begitulah. Lima belas tahun sudah kami hidup bertiga, dengan aku dan Yosel yang senantiasa membuntuti Titan seperti anak bebek. Titan dewasa sebelum waktunya, dan dia lebih tua 2 tahun dariku dan 4 tahun dari Yosel. Dimataku dan Yosel, Titan bagaikan tempat bernaung yang selama ini tak pernah benar-benar kami miliki.
Rumah yang kini kami tempati pun Titan yang beli. Suatu hari ia tergopoh-gopoh berlari ke arah aku dan Yosel yang sedang belajar, wajahnya lelah tapi senyumnya amat lebar. Dengan bangga, ia berkata.
"aku sudah membeli rumah untuk kita bertiga tempati. Rumahnya kecil, tapi kuharap kalian suka. Setidaknya, kalian tidak perlu tinggal disini lagi. "
Betapa baiknya Titan. Gajinya setelah berbulan-bulan begadang demi menyelesaikan pekerjaan kantor justru diberikan untuk kami, yang bahkan bukan saudaranya.
Aku dan Yosel tentu saja bahagia. Akhirnya kami punya tempat yang kami sebut rumah. Malam itu indah sekali. Kami berpelukan bertiga. Yosel yang mengotot ingin mendekorasi rumah sesuka hatinya, dan kami para lelaki tidak boleh protes. Kami tertawa, mengiyakan saja. Dari dulu juga aturan mainnya begitu : perintah Yosel selalu absolut. Aku dan Titan tak pernah keberatan.
Time for the Moon Night
Sambil berjalan, aku memandangi tiap inci rumah ini dengan saksama, menggali kembali kenangan bahagia yang pernah terukir. Titan sangat ahli melukis, jadi di beberapa sisi rumah ini terpajang karya-karyanya. Betapa beruntungnya kami, tak perlu beli untuk punya pajangan indah.
Rumah ini didominasi laki-laki, tapi cat temboknya adalah warna ungu. Yang memilihkan cat tentu saja si ratu rumah ini, yang menggilai warna ungu dan merah muda. Aku hampir terkekeh saat mengingat betapa Yosel dan aku berdebat soal cat rumah.
"katamu dekorasinya diserahkan padaku?!"
"tapi di rumah ini ada aku dan Titan juga! Jangan pakai warna yang terlalu perempuan! "
"tapi kau bilang terserah aku! Pegang kata-katamu Jovian! "
Saat itu Titan terbahak mendengar pertengkaran konyol kami. Kalau sudah begitu, sejak dulu, Titan yang akan menengahi kami. Ia memeluk Yosel lalu menasihatiku untuk mengalah. Dan bilang pada Yosel untuk mengecat warna ungu saja. Warna merah muda biar di dalam kamarnya saja. Kami berdua menurut meski bersungut-sungut.
Sekarang, si penengah sudah pergi.
Pelan, aku membuka pintu di sebelah kiriku. Ruangan di dalamnya bercat merah muda cerah, tapi terasa gelap sekali. Aku harus berhati-hati supaya tidak tersandung, atau nampan berisi susu hangat di tanganku akan tumpah dan pecah.
Hari sudah malam, dan Yosel membiarkan kamarnya gelap. Sejak pemakaman Titan tadi siang ia belum kudengar suaranya. Sekarang sudah malam dan ia belum makan. Aku menyalakan lampu, dan pemandangan yang tersaji mencubit-cubit hatiku.
Yosel disana, duduk di dalam kamar, di atas lantai, bersandar pada kasur di belakangnya yang sudah tak berbentuk. Bau pengap menguar dari kamar ini. Boneka-bonekanya tersebar di setiap sudut, belum lagi buku-buku koleksinya yang terurai.
Tapi bukan itu yang membuat hatiku sakit.
Matanya. Ya Tuhan, matanya. Mata Yosel kosong seolah tak pernah ada kehidupan di dalam sana. Dia sama sekali tak bereaksi atas kedatanganku maupun lampu yang mendadak menyala terang. Jiwanya tidak disana untuk merasakan semua itu.
Perlahan, aku berlutut di hadapannya. Nampan berisi susu hangat kesukaannya kuletakkan di sisinya.
"Yosel... " panggilku lembut. Tentu saja tak ada reaksi. Aku bahkan sanksi Yosel mendengar suaraku.
Menatapnya seperti ini sejujurnya aku tak kuat. Tapi, aku harus bisa. Titan sudah tidak ada. Yosel hanya memiliki aku.
Aku menariknya ke dalam pelukanku. Mengecup pelipisnya. Memberitahunya bahwa aku masih bersamanya,terluka bersamanya, kehilangan bersamanya. Dia tidak sendirian.
Dia tidak memberontak. Kuduga dia bahkan tak sadar aku peluk.
Tapi ternyata dia sadar. Aku menatap genggaman tangannya yang mengerat walau sedikit. Genggaman tangan pada sepucuk surat indah berpita merah. Melihatnya hatiku kembali menjerit pilu.
Surat undangan.
Bagi Yosel, Titan bukan hanya sekedar si abang sempurna tempat menumpu hidup. Titan juga adalah seorang lelaki tempat hatinya tertambat. Titan adalah orang yang seharusnya berdiri bersamanya di pelaminan tiga hari lagi.
Tentu saja, semua itu tak akan pernah terjadi.
Aku menenggelamkannya semakin erat ke dalam pelukanku.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Time for the Moon Night
Fiksi PenggemarCahaya bintang-bintang bersinar amat terangnya. Tapi, ada apa denganmu? Ke arah mana pandanganmu mengarah? Mengapa kau terlihat seperti ingin pergi? . . Songfic of GFriend - Time for the Moon Night