Tangis

138 24 4
                                    

Music : Im Sun Hae - Will Be Back (Scarlet Heart Ryeo OST)












Waktu berlalu sejak aku terus menangis

Kemanakah engkau pergi?













Kau berharap aku menceritakan apa?

Tidak ada yang bisa kuceritakan, karena akupun tak peduli lagi dengan apapun di sekitarku. Sekalipun aku mencoba peduli, nyatanya aku memang tak bisa lagi melihat. Waktu di sekitarku tak lebih dari cuplikan film lama yang buram, monoton, dan hitam putih.

Hambar. Tanpa warna.

Tubuh kaku yang kutemukan di pagi itu sukses membawa pergi seluruh dayaku. Rasa-rasanya aku ikut terbujur kaku, lupa dengan segala fungsiku. Bagaimana caranya berdiri tegak, bagaimana caranya bicara, bagaimana caranya menangis, berteriak, dan meluapkan emosiku, aku sudah lupa semuanya. Aliran darah di otakku seperti berhenti bekerja. Dunia hanya dipenuhi kesunyian tiada akhir, sebising apapun tempat aku berdiri.

Aku tidak melakukan apa-apa saat menemukannya sudah tak bernyawa. Aku hanya menatap kosong, melorot jatuh ke lantai karena lupa cara berdiri. Aku sadar airmata mengalir di wajahku, tapi aku lupa bagaimana cara menghapusnya. Rasanya semua bahasa dan pengetahuan di kepalaku menguap begitu saja, terbawa pergi bersama dengannya.

Sal lah yang histeris begitu datang dan melihat Yosel yang berbusa dan aku yang duduk diam tanpa tenaga. Ia menangisi Yosel, menutup kelopak matanya, lalu memelukku erat, mengusap kepalaku, sambil meratap keras, menangisi nasibku dan nasib Yosel. Berbisik berulang kali ditelingaku tentang apa saja yang menurutnya menenangkanku.

Sal yang mengambil alih semua pekerjaan. Mengabari suaminya, mengabari Hermie, mengabari rumah ibadah, dan apalah lainnya. Hermie datang secepat kilat, meraung kencang di samping jasad Yosel. Suami Sal datang dan langsung membantu istrinya mengambil alih semua tanggung jawab.













Aku? Bagai patung lilin di pojok kamar. Tidak menangis, tidak bersuara, tidak berekspresi, tidak bergerak. Apakah aku bahkan masih hidup?












Otakku masih belum bisa mencerna semuanya, bahkan saat Yosel sudah tertidur di peti.

Ibu panti kami yang kini sudah tua datang menyalamiku. Terisak lirih, mengelus wajah porselen Yosel.

Bukankah baru hari kemarin ia mengajakku berjalan di jembatan? Bukankah baru satu hari berselang ia menyatakan cinta? Mengapa sekarang dia terbujur kaku di peti mati?

Bukankah hidup ini terlalu lucu?

Yang aku mimpikan adalah Yosel yang mengenakan gaun putih dan berdiri di altar, bukannya tertidur dengan gaun putih untuk selamanya.

Aku menatap wajah Yosel. Masih cantik meski binar itu telah tertutup selamanya.

Aku harus apa tanpamu,Yosel?










Peti Yosel sudah baru saja mendarat di dasar tanah.

Kedua lenganku dipegang erat oleh Hermie dan suami Sal. Mereka kira aku akan ikut melompat masuk ke liang lahat, jadi mereka memegangiku.

Perkiraan mereka benar, aku memang berniat melompat.

Toh, untuk apa lagi aku di atas bumi? Aku sendirian sekarang. Semua orang hidup dengan tujuan, sedangkan tujuanku akan tertutup tanah dalam beberapa menit ke depan.

Lagi, aku memakukan pandangan pada sisi peti yang merupakan tempat kepala Yosel berada.


Jadi, apakah sekarang kau bahagia, Yosel?

Apakah kau sudah bertemu dengan Titan?

Apa kalian berdua tidak merasa bersalah sudah meninggalkanku sendirian disini?

Bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini? Apakah kau bahkan tidak memikirkannya?

Kenapa kau tidak mengajakku,Yosel?

Bukankah aku sudah pernah bilang, aku akan ikut kemanapun kau pergi?













Begitu peti Yosel mulai tertutup tanah, pandanganku gelap seketika. Sayup-sayup kudengar Hermie dan suami Sal meneriakkan namaku.













Izinkan aku untuk mengikutimu.


To Be Continued

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang