Song : Zayn Malik ft. Sia - Dusk 'Till Dawn
---------------------------------------------------------Apakah kehadiranku tak pernah sampai di hatimu?
Aku takut kau menganggapku tak ada.
.
.
.
.
."Praktik dr. Jovian Justus" terpampang dengan gagah di depan halaman rumah kami. Setelah memprosesnya selama sebulan penuh, akhirnya aku berhasil berhenti dari rumah sakit swasta tempatku bekerja dulu dan mendirikan praktikku sendiri di rumah. Praktik ini akan dibuka besok. Kesedihan masih melanda kami, tapi dunia tak pernah mau menunggu. Aku harus terus bekerja.
Yosel butuh aku untuk terus bekerja.
Tapi, Yosel juga butuh aku untuk berada disampingnya. Jadi aku tak bisa lagi pergi pagi pulang malam bolak-balik ke rumah sakit tempat dulu aku bekerja. Sampai Yosel pulih, aku harus berada di sampingnya dua puluh empat jam. Jadilah aku memutuskan untuk membuka praktik di rumah. Aku bisa bekerja sekaligus menjaga Yosel. Aku bisa membuka dan menutup klinik kapanpun aku mau. Suatu keuntungan dari profesiku.
Aku menatap papan bertuliskan nama dan gelarku sambil tersenyum bangga. Sedikit banyak,di tengah kesedihan ini, aku menyempatkan diri untuk berbangga diri. Cita-citaku sejak lama sudah berhasil kucapai. Selalu ada kesenangan sendiri tiap kali namaku tertulis dengan gelar di depannya. Gelar yang kukejar dengan darah, tenaga dan keringatku.
Satu dari sekian perkataan Yosel yang kuwujudkan jadi nyata.
.
Saat kami masih kanak-kanak dulu, saat Titan belum muncul dalam hidup kami, kami sering bermain peran berdua. Semua peran di dunia ini yang berpasang-pasangan, rasa-rasanya pernah kami perankan. Yang paling sering adalah cerita Disney. Yosel sangat menyukai dongeng indah semacam itu. Dia selalu memaksaku untuk menemaninya menonton Disney, yang dengan terpaksa kuikuti. Yosel sering merengek untuk menjadi putri kartun Disney, dan aku dipaksa menjadi pangerannya. Ariel si mermaid, Cinderella si anak tiri, Aurora si putri tidur, semua pernah dia perankan, kecuali Pocahontas si putri kepala suku Indian.
Yosel benci perpisahan. Dia menangis saat melihat akhir kisah Pocahontas, memprotes jalan cerita yang tak sesuai keinginannya. Membuatku mati-matian membujuknya,menerima tatapan menghakimi dari penghuni panti lain karena dianggap sebagai penyebab Yosel menangis.
"sudahlah, kau bukan Pocahontas,jangan menangis begini, dong! "kataku dulu saat kepayahan membujuk tangisnya yang tak kunjung mereda.
Bujukanku sama sekali tak meredakannya. Aku menghela napas. Lelah sekali menerima tatapan menghakimi dari semua orang.
"aku berjanji aku tak akan menjadi seperti John Smith. Sudah, berhenti menangis." janjiku sambil mengelus rambutnya. Akhirnya tangisnya mereda, memandangku dengan mata berharap.
Meskipun usiaku saat itu baru 8 tahun, aku selalu menepati janjiku. Aku tak akan menjadi John Smith baginya. Aku tak akan meninggalkannya.
Kadang-kadang, kami juga bermain peran yang lain. Apapun yang penting berpasangan. Jika dia pramugari, maka aku pilotnya. Jika dia artis,maka aku bodyguardnya. Jika dia siswa sekolah, aku adalah gurunya. Jika ia seorang ibu, aku ayahnya.
Khusus peran terakhir, Titanlah yang nyaris ditakdirkan untuk menjadi pemeran sesungguhnya.
Suatu hari,peranku adalah dokter dan dia adalah perawatnya. Aku mengenakan baju kemeja berwarna putih sebagai ganti jas dokter. Dia memandangiku lama dan tersenyum senang.
"kenapa? " kataku, risih diperhatikan.
Dia menyengir, menunjukkan giginya yang dulu masih ompong. "kau cocok sekali jadi dokter! "
Aku mendengus geli. "dokter?" Sungguh cita-cita yang terlalu tinggi bagi anak panti seperti kami.
Tapi Yosel tidak setuju pada reaksiku. "iya, dokter! Kau bisa mengobati banyak orang, menolong orang, pekerjaan yang keren! Orang pasti akan menyukai dokter tampan sepertimu. Dan aku akan pamer ke semua orang kalau kau dokter. Dokter Jovian Justus, bukankah itu terdengar keren? "
"lalu, apakah kau akan menjadi Perawat Yoselin Kadena? "
Dia menggeleng lucu. "tidak! Aku takut jarum suntik! Aku mau jadi putri Jasmine saja! "
Bagi orang lain, Itu hanyalah perkataan seorang anak kecil berumur 6 tahun asal ceplos bernama Yoselin Kadena. Seharusnya aku hanya menganggapnya angin lalu. Seharusnya aku menemukan cita-citaku sendiri dan mengejarnya.
Tapi, dalam hidupku,selalu saja aku menemukan diriku yang menuruti perkataanya, seremeh apapun itu, seberapa besar aku mencoba untuk tidak menurutinya. Terus seperti itu. Aku beberapa kali mencoba mencari tahu kemana passionku mengarah, sampai aku menyadari bahwa cita-cita terbesarku justru adalah mengabulkan semua kata-katanya.
Dia tak pernah memaksaku. Aku sangsi dia bahkan lupa pernah mengucapkan kata-kata itu. Namun aku menjadi dokter untuknya. Aku menguras semua energiku demi mengejar gelar dokter, untuk mewujudkan keinginannya.
Semua tentangku, sejak dulu selalu untuknya.
.
Aku menyalakan lampu kamar Yosel untuk mengusir gulita. Seperti yang kuduga, Yosel tidak tidur. Dia meringkuk di pojok tempat tidurnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela di sampingnya. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku duduk perlahan di sampingnya. Membelai rambutnya yang kusut. "melamun itu tidak baik, Yosel. "
Tidak ada tanggapan, tentu saja. Selalu seperti itu sejak satu bulan yang lalu. Sejak kepergian Titan yang mendadak.
Aku mengambil sisir, mulai merapikan rambutnya. "klinikku sudah rapi. Mulai besok aku akan bekerja di rumah. Kalau kau butuh aku, langsung panggil saja. Aku akan ada di rumah 24 jam. Kau pasti bosan melihat wajahku."
Kalimatku barusan, jika keadaan masih sebaik dulu, biasanya akan bersambut. Yosel akan pura-pura jengah lalu berkata 'muak sekali aku melihat tampangmu dari lahir sampai sekarang'. Aku bisa membayangkannya. Aku akan membalas perkataannya.
Tapi sekarang tentu saja berbeda. Yosel setiap harinya bagai patung. Diam tak bergerak. Tidak bereaksi terhadap semua perlakuanku, seperti sekarang saat kusisiri dan kulap tubuhnya dengan air hangat.
Aku tahu berharap pada manusia itu menyakitkan, tapi aku berharap, setidaknya, melihat reaksi walau kecil dari dirinya. Sedikit saja. Reaksi atas aku yang keluar dari rumah sakit swasta terkenal di kota ini demi menjaganya. Aku yang mendirikan klinik di rumah demi bersamanya 24 jam. Aku yang akhirnya memutuskan untuk tidur beralaskan kasur lipat di kamarnya, agar ia tidak sendirian saat terbangun. Ada yang menemaninya saat ia membuka mata.
Kecewa mau tak mau menghampiri diriku. Semua pengorbanan itu, dan pengorbanan lain dariku untuknya,tak mampu membuatnya senang walau sedikit.
Semua yang pernah kulakukan, tak pernahkah menyentuh hatinya? Sekalipun?
Setiap detiknya dihabiskan untuk memikirkan Titan. Titan kami yang pergi. Titannya yang pergi. Titan yang pada akhirnya menjelma menjadi John Smith.
Tidak ada detik untukku yang selalu berharap kembalinya Yosel kepada dirinya yang dulu.
Sejak Titan muncul dalam hidup kami, seharusnya aku sadar kalau posisiku disisinya mulai bergeser. Saat Titan pergi, posisiku justru semakin jauh lagi.
Aku menghela napas lelah. Aku tak mau larut dalam semua harapanku. Aku meletakkan sisir dan air hangat ke atas meja, mengusap rambutnya pelan, lalu menggelar kasur lipatku. Bersiap tidur. Hari ini lelah sekali.
Tbc
Adakah yang pernah nonton Pocahontas?
KAMU SEDANG MEMBACA
Time for the Moon Night
FanfictionCahaya bintang-bintang bersinar amat terangnya. Tapi, ada apa denganmu? Ke arah mana pandanganmu mengarah? Mengapa kau terlihat seperti ingin pergi? . . Songfic of GFriend - Time for the Moon Night