Bersama

192 47 5
                                    

Waktu untuk menunggu telah habis.
Aku harus melepaskanmu.

.
.
.

Aku sedang merapikan berkas-berkas rekam medik pasien ketika Sal datang menghampiriku dengan raut wajah yang sulit dibaca.

"ada apa, Sal? " tanyaku sambil terus menatap rekam medis pasien.

Sal diam sebentar, menatapku ragu. Berkali-kali ia mengulum bibirnya dan menggosokkan telapak tangan, tampak ragu sendiri dengan apa yang akan disampaikannya.

Karena tidak ada sahutan, aku menghentikan kegiatanku dan mendongak menatap Sal. "Sal? "

Salina tersentak lalu kembali menatapku. Ia menelan ludah lalu menatapku hati-hati.

"Jovian, sudah berapa lama sejak Titan pergi? "

Aku mengangkat alisku bingung. "kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu? "

"sudahlah, jawab saja! " Sal memaksa.
Aku bersandar pada kursi putarku, menghitung.

Sudah berapa lama berlalu sejak Titan pergi? 1 bulan? 2 bulan?

"menjelang 6 bulan." jawabku, masih belum mengerti arah pertanyaan Sal.

Sal bergumam sendiri. "itu berarti sudah 6 bulan.. "

Aku mengangkat alisku. "apanya? "

Sal menatapku lamat-lamat. Wajahnya cemas. "sudah 6 bulan kondisi Yoselin seperti ini, Jovian. "

Ah, ternyata itu. "..ya, sudah 6 bulan. "

"dan tidak ada kemajuan. "

Aku mengangguk. "belum ada kemajuan. "

Dari sudut mataku, kulihat Sal meremas tangannya gemas. "tidakkah kau berpikir untuk melakukan sesuatu, Jovian? "

Aku menatap Sal bingung. "apa maksudmu? "

"kupikir... Kupikir ini saatnya Yoselin dirawat dengan semestinya. "

Aku menatap Sal, menerka apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Sal sama seperti wanita kebanyakan. Selalu berputar-putar dalam menyampaikan keinginan, berharap kami kaum pria memahaminya.

Dulu Yosel adalah pengecualian. Dia selalu mengutarakan keinginannya secara blak-blakan.

Aku berdeham. "menurutmu selama ini aku tak merawat Yosel dengan semestinya? "

Sal menggeleng. "bukan itu maksudku.. "

"lalu? "

Sal duduk di hadapanku dan menyambar lenganku. Menatapku sungguh-sungguh.

"Jovian, aku tahu kau merawat Yoselin dengan tulus. Namun menurutku, Yoselin butuh pertolongan secara medis. Dia depresi, Jovian. Aku tahu kau dokter yang cerdas, tapi penyakit Yoselin bukanlah kompetensimu. Kita harus bawa Yoselin ke psikiater! "

Aku reflek menepis tangan Sal.

"satu, kau bukan dokter. Kau tidak boleh main sembarang diagnosis. Dua, aku tidak mau Yosel dibawa ke psikiater. Tiga, kalau kau sudah tak mau membantu,bilang saja. Aku bisa menanganinya seorang diri. "

Bayangan Yosel dibawa psikiater bukannya tak pernah terlintas di benakku. Satu atau dua aku pernah memikirkannya. Namun aku tidak mau. Yosel tidak gila, ia hanya sedang sedih. Aku sanggup mengurusnya seorang diri.

Aku menatap Sal marah, dan Sal menatapku dengan raut terluka. Aku orang yang jarang marah,dan kuakui kata-kataku tadi kasar, apalagi bagi orang selembut Sal. Tapi, aku juga tak suka dengan sarannya.

Suara bedebam tumpukan rekam medik mengagetkan kami berdua. Aku menoleh ke samping, mendapati Hermie yang menatapku garang. Di sampingnya, tumpukan rekam medik berhamburan. Ia baru saja membantingnya dengan sengaja.

"sadarlah, Jovian! Yosel butuh pertolongan! Kau tidak bisa hanya mengurungnya di kamar dan berharap dia akan sembuh sendiri! Ini sudah 6 bulan! Dokter macam apa kau yang mengurung orang sakit terus-menerus! "

Hermie tersengal-sengal usai menyuarakan pikirannya. Hermie, seorang anak periang, bisa marah seperti itu.

Apakah aku sesalah itu?

Aku hanya ingin melindungi Yosel.

Aku hanya ingin bersama Yosel.

Aku menatap Sal dan Hermie bergantian. Pertahananku mulai rapuh. "aku... Aku hanya..."

Sal meraih tanganku lembut,seperti seorang kakak. "sembuhkan dia dengan semestinya, Jovian. Kau menyayanginya, kan? "

Sal dan Hermie menatapku penuh harap.

Aku tak tahu harus berbuat apa.

Time for the Moon Night

Aku merapatkan resleting terakhir koper Yosel, lalu beranjak menuju kasurnya. Ia duduk disana, dengan tatapan kosong seperti biasa. Aku berlutut di hadapannya.

"hey.. " sapaku. Dia tidak bergeming.

Aku menggenggam jemarinya. "bagaimana perasaanmu sekarang? "

Tidak ada jawaban, tentu saja.

Aku mengamati Yosel dari atas ke bawah. Yosel cantik sekali malam ini. Tadi sore Sal membantuku memandikan Yosel dan mendandaninya. Rambut panjangnya akhirnya tersisir dengan benar, dipermanis dengan jepit rambut berwarna ungu, warna kesukaannya. Sal memakaikannya dress selutut warna putih, dress yang jarang ia pakai karena Yosel kurang suka pakai dress. Terlalu anggun katanya. Namun Sal memakaikannya karena hanya pakaian itulah yang termudah.

Yosel memang selalu cantik.

"Yosel, untuk sementara kita akan berpisah. " ucapku.

Tidak ada reaksi dari Yosel.

"kau akan kubawa ke psikiater. Kau akan lebih baik disana. Bagaimana menurutmu? "

Yosel mengerjapkan matanya.

"maafkan aku yang belum bisa membuatmu pulih, Yosel. Tapi aku berjanji akan setiap hari berkunjung kesana. Aku berjanji.... "

"kau membuangku, Jovian? "

Aku tertegun mendengar suaranya.

Ya Tuhan? Yosel akhirnya berbicara?

Selama ini Yosel hanya mogok bicara, aku tahu. Jadi sekalinya ia mengeluarkan suaranya, aku tahu itu pasti hal yang sangat membebani hatinya, seperti waktu itu saat novel pertamanya terbit.

Aku mendongak untuk menatap matanya. Maniknya menatapku. Airmata menggenangi matanya. Sorotnya terluka.

Ya Tuhan.

"tidak, Yosel. Demi Tuhan aku tak bermaksud membuangmu... "

Airmatanya menetes bahkan sebelum kalimatku usai.

Aku bergegas duduk di kasurnya, mendekapnya erat-erat.

Yosel. Satu-satunya wanita dalam hidupku. Wanita yang sejak kecil kucegah airmatanya agar tidak tumpah. Sekarang ia menangis karenaku.

"maafkan aku." kukecup keningnya dalam, pelampiasan rasa bersalahku padanya.







Malam itu aku berakhir mendekap Yosel sampai pagi, sampai ia terlelap.







Aku berakhir membongkar kembali koper Yosel. Biar aku saja yang menjaganya. Aku bisa.

.
.
.

Tidak, belum. Aku tidak mau.
Aku masih ingin bersamamu malam ini.

Tbc

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang