Cinta

170 44 10
                                    

Haruskah aku mengungkapkan rasa cintaku?
Aku terus memanggil namamu di jendelaku.


.
.
.






Hari ini hari Minggu. Waktuku untuk sepenuhnya berada di rumah bersama Yosel.

Hari Minggu aku sengaja menutup klinikku agar semua perhatianku bisa kucurahkan pada rumah dan Yosel. Aku sejak dulu memang suka bangun pagi-pagi, jadi tidak ada istilah "balas dendam" dengan tidur seharian dalam kamusku. Aku lebih suka bangun pagi,menghirup udara dingin, dan melakukan aktivitas apapun dengan udara dingin pagi hari yang menemani.

Hari ini kumulai dengan membersihkan dan membereskan seluruh sudut rumah. Berbeda dengan lelaki kebanyakan, aku memang suka bersih-bersih. Titan yang menularkannya padaku. Saat di panti dulu, Titan mengubah cara pandangku terhadap kegiatan bersih-bersih, yang tadinya merepotkan menjadi menyenangkan. Ada rasa lega tersendiri begitu melihat benda yang tadinya kotor jadi bersih, yang tadinya berantakan jadi rapi.

Sayangnya, kegemaran positif itu tak menular pada Yosel. Ekspektasi pria tentang wanita adalah mereka merupakan makhluk yang rajin. Itu yang selalu dikatakan teman-teman kampusku. Aku selalu tertawa mendengarnya. Mereka bisa bilang begitu karena mereka belum mengenal seorang Yoselin Kadena, gadis paling malas yang pernah kukenal. Yosel bukan satu-satunya anak gadis di panti, tapi Yosel jelas merupakan satu-satunya gadis yang paling malas bersih-bersih. Jika bukan karena teriakan ibu panti, aku percaya meja belajarnya suatu saat akan menjadi sarang kecoak.

Bicara soal Yosel, aku menyadari sesuatu saat mendatangi kamarnya untuk beres-beres dan melihatnya yang memunggungiku.

Rambutnya sudah terlalu panjang.

Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali ia menggeretku untuk mengantarnya pergi ke salon untuk memotong rambutnya. Yang jelas, itu jauh sebelum tragedi Titan.

Aku sebenarnya tak masalah dengan dia yang berambut panjang. Sejak dulu dia sering memanjangkan rambut. Hanya saja, tidak pernah seperti ini yang bahkan sampai menyentuh tulang ekor. Menurutku itu terlalu panjang. Apalagi dengan kondisinya saat ini yang kurang bisa mengurus dirinya sendiri.

Aku mendekatinya yang sedang duduk menghadap jendela. "Yosel, rambutmu sudah panjang sekali. Kau tak merasa risih? Mau kupotongkan? "

Yosel menoleh sedikit. Dia merespon tanpa kata-kata.

Aku tertawa kecil. "ya, potong. Seperti saat kita kecil dulu. " aku mengelus rambutnya perlahan, mengira-ngira sepanjang apa aku akan memotong rambutnya. "kupotong pendek saja, ya? Supaya kau tidak risih merawat rambut. "

Yosel hanya menatapku, tak menolak. Aku bergegas keluar kamar,mencari-cari letak gunting dan sisir.

Saat kecil dulu, Yosel pernah menangis karena ibu panti memotong rambutnya kurang rapi dan terlalu pendek. Ia merengek padaku untuk membetulkannya. Meskipun sejujurnya aku tak pernah memotong rambut siapapun, Aku berkata padanya bahwa aku bisa membuatnya menjadi rapi tapi tak bisa menumbuhkannya agar panjang lagi. Meskipun ia tampak kurang rela, ia menyetujui untuk kurapikan rambutnya. Ajaibnya, ternyata hasil potonganku berakhir rapi dan Yosel sangat menyukai rambut pendeknya. Sejak itu, Yosel selalu mempercayakan rambutnya kepadaku - sampai ketika kami sudah dewasa dan Yosel sudah punya cukup uang untuk ke salon.

Ia diam saja saat rambutnya mulai kupotong, hanya kembali menatap kosong ke jendela. Aku bersenandung pelan,menikmati pemandangan jatuhnya helai-helai yang kupangkas sambil berharap semoga nasib buruk yang dialami Yosel gugur bersama rambut-rambut itu.

Aku memutuskan untuk memotong rambutnya sampai hanya mencapai lehernya. Setelah selesai, aku merapikannya dengan sisir lalu membalik tubuh Yosel, ingin melihat hasilnya. Untuk sedetik kemudian aku sesali.

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang