Pergi

132 35 3
                                    

Song : 10cm - Lean on Me










"Ini, silahkan tebus resepnya. Cukup dirawat dengan baik di rumah, banyak makan dan minum, rutin minum obat, kemungkinan sembuhnya akan tinggi. Jika dalam tiga hari tidak ada perubahan, lekas bawa ke rumah sakit yang lebih besar supaya bisa rawat inap." Jelasku kepada seorang ibu di hadapanku yang tengah menggendong anaknya yang demam ringan. Terlihat ibu itu sedikit kerepotan karena anaknya yang terus-terusan menangis.

"Terima kasih, banyak, dokter." ucapnya kemudian beranjak dari kursi di hadapanku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya, berusaha menenangkan anaknya. Aku ikut berdiri untuk mengantarnya. Setelah ia sepenuhnya keluar dari pintu, Hermie masuk sambil melambaikan tangannya heboh pada pasien anak barusan.

Aku mendesah lelah sekaligus senang. "Masih banyak pasien?"

Hermie menjatuhkan tubuhnya ke kursi pasien di hadapanku. "Pasien sudah habis, tinggal beberapa lagi yang masih mengantre obat." Aku mengangguk, memijat pelan pelipisku lalu melepas jas putihku. Ruang praktikku tidak panas, tapi memakai jas selama berjam-jam membuat tidak nyaman.

Sal yang baru selesai merapikan menyadari raut lelahku. "Biar kuambilkan minum untuk kalian." ucapnya dengan baik hati, lalu menyambar gelasku yang sudah kosong dan bergegas keluar.

Aku bersandar di kursiku lalu menatap Hermie yang tengah asyik memainkan miniatur tiruan jantung di atsa mejaku. "Dia bagaimana?" tanyaku.

Hermie terkekeh, langsung mengerti siapa yang kumaksud. "Kewalahan. Tapi dia menikmatinya."

Aku mengangguk. "Dia belajar dengan cepat." pujiku.

"Yah, untung saja tulisanmu bagus, tidak seperti dokter pada umumnya yang hanya Tuhan yang tahu apa yang ditulis. Kalau tidak, aku kasihan pada para pasien yang salah dapat obat."

Aku tersenyum tipis.

Klinikku mengalami perkembangan pesat. Awal klinik ini dirintis, aku tidak menyediakan banyak obat, hanya obat-obat umum tertentu dalam jumlah kecil saja, karena selain khawatir mubazir, aku juga tidak memiliki dana untuk menyediakan banyak. Aku juga belum sanggup untuk menggaji seorang apoteker untuk menjaga obat-obatan, cukup mengandalkan diri sendiri dan semua ilmu yang kudapat selama kuliah.

Saat ini, Karena semakin banyaknya pasien, maka semakin banyak juga persediaan obat-obatan yang harus disiapkan. Kini aku membangun tempat kecil untuk menjadi depo obat di dekat pintu keluar klinik, dan karena itu aku tidak bisa lagi mengurus semua obat. Tidak mungkin aku bolak-balik dari tempat praktikku ke depo obat terus-menerus. Akupun mulai mencari apoteker.

Ketika tahu bahwa aku membutuhkan seorang pekerja di depo obat, Yosel mengajukan dirinya sendiri. Aku menolak, tentu saja, karena itu bukanlah kompetensinya. Tapi ia terus memohon dan mengatakan ia butuh kegiatan untuk menyibukkan diri, untuk memusatkan pikirannya pada sesuatu. Permintaannya mau tak mau mengusikku, membuatku teringat kembali dengan Yosel saat sakit, dan kengerian seketika menjalariku. Aku takut Yosel akan kembali kambuh jika ia kubiarkan tanpa kegiatan, sendirian dengan pikirannya.

Setelah berhari-hari, akhirnya aku mengiyakan permintaannya dengan syarat. Pertama, ia hanya boleh mengurus obat-obat yang mudah seperti tablet,kapsul,pil, atau benda-benda kesehatan yang mudah seperti plester dan kassa. Jika ada pasien yang butuh obat berbentuk diluar itu, maka harus aku yang menyediakan obatnya. Kedua, dia harus berlatih untuk membaca resep. Tulisan asliku jelek, tapi demi dia,kubuat serapi mungkin agar dia tidak salah menafsirkan. Malam hari selama seminggu penuh, aku melatihnya dengan memberikannya resep, menyuruhnya mengikuti isi resep itu. Ketika pada akhirnya ia melakukannya dengan sempurna, aku memberikan izinku dengan berat hati. Dan syarat ketiga, ketika apoteker yang asli sudah datang, ia harus berhenti atau setidaknya bersedia menjadi asisten si apoteker. Ia menyanggupi semua syaratku.

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang