21 - Tear

2.2K 280 91
                                    

Usai terlibat dalam perdebatan yang paling menyakitkan, Vivi memutuskan untuk mengunci diri di kamar kemudian menjadikan bantal dan boneka Stitch kesayangannya sebagai pelampiasan. Ia benar-benar kehilangan kendali penuh atas dirinya sendiri, bahkan kehilangan sosok Jungkook yang selama ini selalu berlaku baik.

Dadanya seperti dihujami berbagai benda tajamㅡnyeri sekali sampai sesak. Ritme napasnya juga menjadi tidak teratur, meraung seperti bocah perempuan yang minta dibelikan Barbie. Gadis itu menyangka bahwa inilah akhir kisahnya dengan Jungkook.

Sedangkan dibalik pintu kayu berwarna coklat itu berdiri seorang pria yang sedari tadi menunggu tangis gadisnya reda. Hatinya juga ikut berdenyut nyeri saat mendengar isak gadisnya yang begitu pedih. Tidak, ia tidak bisa diam begitu saja saat ini. Setidaknya ia harus berusaha menghibur. Jadi setelah mengumpulkan keberanian, Brian memberanikan diri untuk mengetuk pelan pintu kamar itu.

"Viㅡ"

Sedang di dalam, Vivi sedang berusaha mengatur napas dan mengusap habis air mata yang tersisa sebelum merefleksikan diri kembali untuk membenahi penampilannya yang begitu berantakan. "Tunggu sebentar, Bri."

Pemuda itu mengambil dua langkah mundur agar gadis yang didalam mendapatkan akses untuk keluar. Satu pintu terbuka, betapa terkejutnya ia saat mendapati presensi Vivi yang sudah kembali rapih, bahkan matanya yang sembab sudah tersamarkan.

"Kau akan pergi?" tanyanya ragu.

Gadis itu mengangguk, "Tentu saja. Aku tidak mau ingkar janji padamu. Oh, omong-omong, apa kau tidak terlambat? Ini sudah jam berapaㅡya ampun, maafkan aku, Bri. Ayo, berangkat."

Vivi bergegas menuruni tangga dengan terburu sedangkan Brian menyusulnya sembari terkekeh kecil. Melihat gadisnya panik justru membuat ia gemas, lucu sekali baginya.

"Hey, pelan-pelan, Vi." intruksinya.

Yang dipanggil berhenti sejenak untuk menoleh, "Aku akan merasa sangat bersalah jika kau terlambat dan mendapat skorsing."

"Dan aku akan merasa lebih bersalah lagi jika membiarkanmu seperti ini." Brian mengayunkan tungkai dengan santai agar dapat berlama-lama menatap gadis rapuh itu.

"Tapi itu akan menjadi masalah besar, kau baru saja dipindah tugas. Kakakku saja rajin sekali." Vivi mendongak menatap yang lebih besar, mata sembabnya malah terlihat menggemaskan.

Brian terkekeh mendengar pernyataan Vivi. "Kau hanya belum tahu. Kakakmu itu sudah berpacaran dengan  seorang gadis yang bekerja di kantor seberang. Jadi ia harus menjemput setiap pagi."

Netra gadis itu membulat kemudian berkedip tak percaya. "Kakakku sudah memiliki kekasih? Antariksa itu sudah berpacaran? Wah, beraninya. Bahkan dia tidak bercerita sama sekali. Menyebalkan!"

Ia bersedekap, wajahnya ditekuk sempurna. Bibir yang mengerucut serta pipi yang menggembung lucu menjadi pertanda bahwa ia benar-benar sedang kesal. Sedangkan sang lawan bicara hanya bisa terkekeh pelan, ingin rasanya menangkup pipi yang menggembung itu. Terlalu menggemaskan.

"Memangnya kenapa kalau Riksa memiliki kekasih? Bukankah itu bagus?" kini Brian ikut bersedekap.

Tapi gadis itu menggeleng cepat. "Tidak. Jika memiliki kekasih, keahliannya itu hanya menyakiti. Maka dari itu aku juga disakiti oleh seorang pria. Aku yang menjadi korban doa para gadis yang telah disakitinya."

Pemuda dihadapannya kembali terkekeh, namun hanya sesaat sebelum suasana berubah menjadi serius. "Kau sih, memilih berhubungan dengan seorang idola. Coba berhubungan denganku, pasti akan kujaga sungguh-sungguh."

♡♡♡

Jungkook memilih untuk melupakan masalah pribadinya sejenak. Terbukti kali ini ia melakukan latihan dengan sangat serius. Bahkan tidak peduli lagi dengan kaus yang sudah basah seluruhnya dengan peluh, membuat dada bidang dan perut yang membentuk delapan bagian kotak itu tercetak sempurna. Jika para penggemar wanita melihat pemandangan ini, mungkin mereka bisa berteriak histeris dan segera mengganti julukan Baby Jungkook menjadi Daddy Jungkook.

Love, JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang