12 - Hoping

1.6K 254 20
                                    

Jungkook seperti orang kesetanan. Ia mengemudi tanpa berfikir resiko terburuk yang akan menimpanya jika sampai terjadi kecelakaan. Terus menginjak pedal gas sampai jarum speedometer menunjukan angka 100 dan terus bertambah. Persetan dengan rentetan klakson yang ditujukan padanya, ia hanya ingin cepat sampai agensi.

Otaknya sudah tidak bisa diajak berkompromi untuk berfikir jernih lagi. Bahkan tidak ada pembicaraan apapun untuk hal ini sebelumnya. Jungkook benar-benar merasa dipermainkan. Ini soal perasaan. Tak apa jika agensi mengharuskannya berlatih 10 jam dalam sehari, jika fisiknya lelah bisa digantikan dengan tidur dan makanan yang cukup. Tapi ini masalah hati, tidak ada yang menjual obatnya.

Sampai di agensi, Jungkook mengambil langkah cepat dengan kedua tangan yang mengepal di sisi tubuh. Bahkan rahangnya sudah semakin mengeras karena ia menggertakan giginya. Ia tidak lagi memperdulikan sapaan ramah dari para staf yang melintas. Tujuannya hanya satu; menuju ruangan pentinggi agensi untuk meminta penjelasan.

Jungkook tidak lagi mengetuk sekedar meminta izin untuk memasuki ruangan, ia tidak lagi memikirkan tata krama kali ini. Toh, untuk apa juga ia melakukan itu semua? Lagi pula orang yang ada di dalam sana sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya.

Saat Jungkook berhasil menerobos pintu, ia malah disambut dengan sebuah senyuman menjijikan.

"Hey, Jung. Ada apa kemari?" sapanya seolah tidak terjadi apapun.

Jungkook tersenyum miring seraya memutar lidahnya, "Anda masih bisa tersenyum Tuan Bang yang terhormat?"

Pria paruh baya itu menggerutkan dahi, "Tunggu dulu, apa yang terjadi?"

Kini Jungkook terbahak seperti orang sinting, "Selain licik, ternyata kau pandai berakting juga, Tuan. Kenapa tidak menjadi idola saja?"

Yang dipanggil Tuan Bang itu hanya tersenyum tipis, "Duduklah dulu."

Jungkook menyemburkan nafas kasar dari bilah bibirnya sembari mengatur emosi diri. Ia mewanti dirinya sendiri untuk tidak kacau—walau sebenarnya sudah sangat kacau. Akhirnya ia memutuskan untuk menghempaskan dirinya dengan kasar pada sofa empuk berwarna hitam disana.

"Aku tahu maksud kedatanganmu kesini," pria paruh baya itu mengangguk beberapa kali seraya melepas kacamatanya.

"Maaf karena tidak berdiskusi terlebih dahulu denganmu, keputusan ini diambil secara mendesak karena adanya keterpaksaan," lanjutnya.

Kini kening Jungkook yang berkerut, "Keterpaksaan?"

Lawan bicaranya kembali mengangguk, "Kau melibatkan Hwang Rumi untuk ini?"

Netra Jungkook sukses melebar sempurna, bagaimana bisa bos nya ini mengetahui segalanya?

"Sudah kubilang, mereka sedang gencar-gencarnya. Bukan hanya kau, tapi gadismu juga."

Kini Jungkook terkulai lemas, ia menjatuhkan kepalanya pada punggung sofa sembari memejam dengan jemari yang menekan pangkal hidung.

"Mereka jadi tahu dimana tempatmu yang lain. Beruntung mereka tidak memiliki akses untuk masuk, jika bisa mungkin Jimin dan Rumi juga akan menjadi korban selanjutnya."

Lagi-lagi Jungkook hanya bisa menyemburkan nafas dari bibirnya. Kalau soal Jimin dan Rumi, ya, agensi sudah mengetahuinya. Meskipun awalnya sulit, tapi mereka bisa melewatinya. Tapi tentu saja berita itu tidak sampai terdengar keluar karena hubungan mereka hanya sebatas lingkup agensi saja.

"Tapi kenapa—"

"Kau melanggar janjimu, anak muda. Sudah lupa?" pria itu tersenyum layaknya malaikat tapi sesungguhnya terdapat iblis didalam dirinya.

Love, JungkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang