5 - Tragedi Ruang BK

84 26 3
                                    

Masuk Lapak, wajib Vote :)


Suasana ruang BK sungguh mencekam, tak ada suara hingga menit ke-5 mereka masuk. Pak Cipto yang katanya sangat killer itu belum berucap sepatah katapun, ia bahkan duduk membelakangi ketiga pelaku. Echa, Gibran dan Gilang masih bungkam takut untuk membuka suara.

"Cha! Lo jangan ngomong ya! Pura-pura aja bisu" bisik Gilang pada Echa yang duduk disebelahnya dengan nada yang amat pelan, nyaris tak terdengar.

"Kenapa?" Tanya Echa bingung

"Biar Pak Cipto tambah ngamuk sama kita!" Celetuk Gilang sekali lagi, disambut tatapan tajam Echa.

"Shhhiiit diam Napa!" Timpal Gibran sangat pelan, melihat tingkah kedua temannya.

Setelah bosan menunggu, Akhirnya Pak Cipto memutar kursinya membuat ketiganya tersentak dan langsung memasang senyum penuh kepalsuan. Pak Cipto mulai menatap mereka tajam, Tanpa berkedip.

Terdakwa hanya bisa diam dan mulai meneguk air ludah mereka susah payah.

Keadaan kembali hening dan tambah mencekam, pak Cipto seperti patung yang tak bergerak sedikitpun, matanya melirik ke kanan, ke kiri, dan kembali lagi, begitu seterusnya.

"Kenapa kalian datang ke sekolah sampai telat 30 menit?" Tanya pak Cipto tiba-tiba tanpa aba-aba, membuat ketiganya sedikit tersentak.

Beberapa saat tak ada yang menjawab, mereka diam seribu bahasa.

"Dan kenapa juga kalian lewat belakang sekolah? Kalian buta? Atau katarak? Gak bisa lihat gerbang sekolah ada dimana?" Bentak Pak Cipto sekali lagi, membuat ketiganya terbungkam.

"Punya mulut dan Punya telinga, kan? Apa saya harus buka paksa mulut kalian itu biar bisa bicara??" Pak Cipto mulai mengeluarkan kata-kata mutiaranya dengan memajukan tubuhnya ke arah tersangka, menopang tubuhnya dengan kedua tangan menapak di meja, sedikit terbuka, dengan mata memerah dan hidung seakan keluar asap, sambil teriak pula, Benar-benar pemandangan yang mengerikan.

Melihat kondisi seperti itu, membuat Gibran mulai melirik Echa dan Gilang, bahasa isyarat mata pun mereka coba, ia berkedip berulang kali, menaik turunkan alis bergantian, melirik sana sini, entah apa yang mereka bicarakan.

Gibran akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri memberi pembelaan. Namun belum sampai berucap sehuruf dan baru membuka mulut, tiba-tiba suara Gilang menyambar bak petir.

"Jadi gini pak...." Pekik Gilang dengan suara lantang. Tak tampak tampang takut di wajah Gilang, namun berbeda dengan Gibran dan Echa yang mulai panik melihat siapa yang akan menjawab pertanyaan.

"Iya apa?" Sentak pak Cipto

Semua mata tertuju padanya. Gibran gelisah takut Gilang berkata yang aneh-aneh pada pak Cipto. Gibran sangat tau karakter Gilang seperti apa. Freak, Strange parah dan kadang tak tahu malu.

Gibran mengerutkan dahinya dan menaik-turunkan kedua alisnya memberi tanda isyarat agar tak bicara gila, namun Gilang yang melihatnya tak peduli malah tersenyum sinis.

"Jadi... Tadi kan kami sudah berangkat nih pak, kami pakai mobil saya tuh dari rumah Si Echa, mobilnya warna merah pak!" Jelas Gilang yang masih terdengar benar.

Pak Cipto masih mendengarkan dengan memainkan bolpoin di tangannya.

"Terus di perjalanan saya lihat jam tangan, 'waduhhh udah kurang 15 menit', ya sudah saya langsung cap cus gas pol"

"Terus saya ngebut tuh sampai kecepatannya lebih dari 100 km/jam, bayangin gih pak, cepatnya lebih dari Metromini."

Dahi Echa dan Gibran mulai mengkerut mendengar dongeng si Gilang, lebih parah lagi pak Cipto.

Aku, Kau & DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang