Part 24

2.9K 229 1
                                    

Bryan menatap Sasya sendu, sudah satu minggu sejak insiden penculikan itu istrinya belum terbangun juga.
Tangannya mengusap pipi Sasya lembut, semakin hari Sasya semakin kurus saja. Membuatnya semakin khawatir dengan keadaan Sasya.

"Kapan kau bangun sayang." Bisik Bryan lirih. Ia menggenggam tangan Sasya, menciumnya lembut.

"Maaf tuan, asistan Farrel meminta untuk bertemu." Ujar Mia memberi tahu.

Bryan menoleh, kemudian melirik Sasya lagi. "Katakan padanya, saya akan menemuinya sebentar lagi."

Mia tersenyum masam saat Bryan belum beranjak juga dari tempatnya.
"Baik, saya permisi." Pamitnya undur diri.

Bryan mencium dahi Sasya, ia menatap wajah Sasya sekali lagi sebelum memutuskan untuk menemui Farrel.
Bryan menuruni tangga dan menuju ruang tamu.

Melihat Boss nya datang, Farrel segera berdiri dan mengangguk hormat.

"Bagaimana?" Tanya Bryan setelah duduk di hadapan Farrel.

"Seperti yang anda mau Boss, perusahaan Eryudha mengalami krisis. Saham mereka mendadak turun drastis dalam tiga hari belakangan. Dan.. para perusahaan yang memiliki saham di Eryudha menarik diri. Karena tak mau ikut rugi." Jelas Farrel panjang lebar.

Bryan tersenyum miring, ia mengambil berkas yang Farrel bawa tadi. Membacanya dengan cepat, "Yah, semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi.." Bryan menggantungkan kalimatnya. Matanya menatap Farrel, "Saya menginginkan tanah keluarga Eryudha, yang berada di Wonosobo."

Farrel mengeryitkan dahi, "Tapi Boss, tempat itu tidak strategis untuk pembangunan bisnis perusahaan anda."

"Kata siapa saya mau membangun bisnis disana?" Bryan mengendikan bahu. "Saya mau membangun rumah, sebagai hadiah pernikahan untuk Sasya."

Farrel mengangguk saja, toh disini yang berkuasa adalah Bossnya.

"Dapatkan tanah itu dengan harga murah." Gumam Bryan.

"Maaf?" Farrel berharap tak salah dengar mengenai perintah dari Boss nya tadi.

"Saya tidak akan mengulangnya dua kali." Ada jeda sebentar. Rahang Bryan mengeras, bibirnya melukis senyum dingin.
"Karena tanah itu seharusnya milik saya. Bisa saja saya mengambilnya tanpa membayar sepeserpun. Tapi saya kasihan, jika saya tidak membayar tanah itu. Mereka akan lebih jatuh miskin lebih dari ini."

Farrel bergidik ngeri saat mendengarnya, kata kasihan hanya kamuflase. Dibalik kata itu tersimpan hal yang lebih mengerikan.
Farrel menunduk, "Baik, saya akan mendapatkan tanahnya segera."

Bryan tersenyum puas mendengar jawaban Farrel. Bawahan yang selalu setia padanya. "Kau akan naik gaji, dan setelah mendapatkan tanah itu. Kau boleh ambil cuti beberapa hari, maaf sudah merepotkan."

Farrel mendongakkan kepala, setelahnya ia menggeleng. "Tidak perlu meminta maaf Boss, bagaimana pun ini resiko yang ditanggung saya sebagai asistan anda. Dan.. terimakasih atas kemurahan hati anda."

"Hm.. Saya hanya percaya sama kamu Farrel, tolong jangan berani mengkhianati saya." Ujar Bryan sebelum berlalu.

Farrel tertegun, sedikitpun ia tidak pernah memikirkan untuk mengkhianati Bryan. Tapi sejak ia menyelamatkan Sharon, Bryan menilainya berbeda. "Boss, maaf. Aku mencintainya, kau pun mendukungku waktu itu tapi.. kenapa kau berkata seperti itu?" Batin Farrel bertanya-tanya.

Mungkinkah Bryan masih marah atas tindakan Sharon waktu itu? Tapi.. bukankah Bryan.. ah. Mungkin saja Bryan masih marah. Farrel menjedukkan kepalanya di sofa. Bertahun-tahun bekerja untuk Bryan ia masih saja belum mengerti dengan jelas perasaan pria itu.

Menara Cinta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang