Part 28

2.5K 211 8
                                    

Part ini mengandung adegan kekerasan. Bagi anda yang tidak suka. Silahkan kembali dengan menekan tombol back!

.

Sasya menipiskan bibir, mencoba berusaha bersikap tenang meski sekarang ia dalam bahaya.
Sasya merasakan pisau itu menyentuh lehernya. Rasa perih juga ia rasakan.

"Seharusnya saya lebih awal menyingkirkan nona. Tapi siapa yang menyangka nona bisa selamat saat Sharon membawa nona kedalam hutan." Ujar Mia sinis.

Ah.. jadi itu ulah mereka berdua. Tatapan Sasya berubah dingin sedingin es. Ia mengepalkan tangan, dengan gerakan cepat Sasya menghindar dari Mia dan mengunci balik tubuh wanita itu. Sasya menatap tajam kearah Mia yang kini berada dibawahnya.
"Aku nggak habis pikir, padahal aku sama sekali gak punya salah sama kalian. Tapi kenapa kelian mau nyingkirin aku hah?"

Mia memutar bola matanya malas, "Tentu saja keberadaan nona itu menjadi penghalang buat kami!"

Dahi Sasya mengerut tak mengerti.

"Kehadiran nona membuat kami susah! Kami jadi tidak bisa mendekati tuan Bryan! Padahal saya sudah sangat lama menginginkan tuan bersama Sharon." Sambung Mia kemudian.

"Ah.. ahahahahaha." Tawa Sasya meledak saat itu juga,  menggema disana.
"Aduh Mia.. kamu kok lucu banget sih? Hahaha... pfft.. lagian yah. Bryan mana mau sama Sharon!" Ujar Sasya dengan nada mengejek.

Mia sendiri kesal karena ditertawakan oleh Sasya. "Mungkin saja tuan mau! Kalau nona tidak ada dikehidupannya!" Balas Mia ketus.

Sasya terkekeh pelan, berani sekali pelayan Bryan ini. Tangan Sasya menjambak rambut Mia kasar. "Beraninya kau berkata seperti itu padaku! Aku ini nona mu! Nyonya Handoko!" Teriak Sasya tepat ditelinga Mia.
Kaki Sasya menginjak tangan Mia yang memegang pisau.

Sasya ingat dengan jelas adegan saat Bryan membunuh Bagas. Mungkin tak ada salahnya jika Sasya meniru kelakuan sang suami.
Matanya berkilat tajam, seringai mengerikan terbit dibibirnya. "Teruslah bermimpi menjadi nyonya dari keluarga Handoko. Karena sampai kapanpun, aku gak akan ngebiarin kalian mewujudkan mimpi itu! Bryan hanya milikku. Gak ada seorang pun yang boleh memilikinya selain aku!"

Seketika Mia bergidik ngeri saat mendengar penuturan Sasya.
"Kau gila! Cepat lepaskan aku jalang!" Teriak Mia dengan suara serak.

"Cih! Lihatlah siapa yang bicara!" Ketus Sasya, setelahnya Sasya mengambil segenggam pasir lalu menyumpalkannya ke mulut Mia.
"Telan ini! Mulut busukmu hanya pantas memakan ini sialan!"

Tidak ada lagi sosok Sasya yang manis dan manja. Matanya berkilat tajam penuh ambisi untuk membunuh.

"Akan ku buat kau menyesal karena mencoba membunuh nyonya mu!" Sasya menarik rambut Mia kasar, setelahnya ia menjedukkan kepala Mia ke pasir. Dengan penuh emosi, Sasya terus menekan kepala itu.

Mia mencoba memberontak dari Sasya, hidungnya terasa sakit ketika bertemu dengan pasir.
Sasya benar-benar tidak waras! Batinnya berteriak agar ia cepat lari dari Sasya.

Sasya tersenyum puas saat melihat darah yang mengucur dari hidung Mia. "Andai aja kamu gak bersikap kasar sama aku. Aku gak bakalan bikin kamu kayak gini." Gumam Sasya lirih.
Ia menatap penuh prihatin pada wajah Mia.

Tapi tidak dengan hatinya yang sekarang meminta untuk membunuh Mia.

"Aku tau.. kamu pelayan kepercayaan Bryan. Aku nggak habis pikir, kenapa Bryan gak memecat kamu dari dulu." Kepala Sasya menggeleng dramatis.
"Perlu kamu tau Mia, membunuhku itu sangat sulit. Apalagi jika Bryan tau rencana jahatmu ini."
Sasya terdiam sejenak, ia kembali mengingat Bagas yang kehilangan nyawanya dengan cara yang tragis, juga sadis.
"Pasti kau akan mati dengan mengenaskan."

Mata Mia membelalak terkejut, ia masih meronta dari kuncian Sasya.

Sasya mendengus sebal, ia mengambil pisau Mia dan menyimpannya di saku baju.
"Lain kali, Mia gak boleh main benda tajam ya? Bahaya tau." Ucapnya mengingatkan.
Tangan Sasya dengan cekatan mengikat tangan Mia dibelakang tubuh. Setelah memastikan ikatan itu kuat, Sasya mengikat kedua kaki Mia meski dengan susah payah.

"Lepaskan saya nona!" Teriak Mia memohon.

Sasya mendongak, menatap Mia dengan lekat. Kenapa pelayan ini baru memohon setelah ia menyiksanya dari tadi?
Sungguh sangat masokis sekali.
Kepala Sasya menggeleng dengan imutnya.
"Nggak, aku belum puas mainnya."

Mia menggeleng lemah, kini wanita paruh baya itu terisak pelan. Menyesali perbuatannya tadi, ia tak menyangka jika Sasya bisa melawannya.

"Ayo Mia! Kita galih pasirnya! Aku mau buat istana disini!" Teriak Sasya riang, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru.

Dengan cepat Sasya menggali pasir dengan kedua tangannya, meski agak sulit tapi Sasya tidak menyerah.

Selama Sasya menggali pasir, Mia mencoba untuk kabur dari nonanya. Ia beringsut mundur menjauhi Sasya, sebenarnya Sasya tahu. Sangat tahu bahwa Mia mencoba kabur darinya. Tapi Sasya masih fokus dengan menggali pasir didepannya.

Srak srak!

Yup, selesai. Sasya tersenyum puas kala melihat hasil karyanya yang seperti liang lubur. Atau kolam surga? Ah.. Sasya lebih suka kata yang terakhir.
Ia berbalik dengan wajah sumringah, berbanding terbalik dengan wajah Mia yang semakin pias saat Sasya mendekatinya.

"Ayo Mia! Kita main! Kolamnya sudah jadi." Teriak Sasya senang, kedua tangannya menyeret paksa Mia.

"Jangan nona! Tolong lepaskan saya!" Teriak Mia lagi.

Sasya berhenti menyeret, ia menatap Mia sendu. "Mia gak suka main sama Sasya?" Tanyanya dengan nada sedih. Kepalanya tertunduk menyembunyikan ekspresinya.
Sasya kembali mengambil pasir dan menyumpalkan ke mulut Mia. Setelah itu Sasya merobek bajunya dan menutup mulut Mia yang dipenuhi pasir pantai.
"Sekarang Mia gak bisa protes lagi. Kalau emang Mia gak suka main sama Sasya. Mending dari awal Mia jangan ngajak main."

Mia menggeleng dengan lemah ketika Sasya membaringkannya di liang pasir. Atau liang lahat? Kan sama saja tuh.
Sasya menutup tubuh Mia dengan pasir yang sengaja digalihnya tadi.

"Selesai." Gumam Sasya saat tubuh Mia benar-benar tak terlihat.
"Selamat tinggal Mia!" Ujarnya dengan nada ceria.

Ia melirik ke sekelilingnya, disini benar-benar sepi. Sasya menyukainya. Dengan santai, Sasya berjalan meninggalkan pantai lalu masuk kedalam mobil.
Ah.. untung saja ia melihat cara menghidupkan mobil saat bersama dengan Bryan. Seingat Sasya, di sepanjang jalan menuju pantai pun sepi. Jadi ia akan berdoa dalam hati, semoga saat ia menyetir pun tetap sepi. Ya..

Setelah berhasil menghidupkan mesin mobil, Sasya menginjak gas dan pulang menuju rumah Bryan.
"Wow.. hebat juga, padahal baru belajar. Tapi aku seperti pembalap yang handal." Pujinya pada diri sendiri.

Tak berapa lama, Sasya sampai dirumah. Banyak pelayan yang menatapnya bingung karena pakaian yang dipakai Sasya sangat kotor.
Ia hanya membalas sapa dengan senyum manis juga lembutnya.
Sasya berlari kecil menuju kamarnya, ia segera bergegas masuk ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya yang sangat kotor.

Bryan yang baru datang mengernyit ketika mendapati jejak kaki dikamarnya. Suara percikan air dikamar mandi membuatnya lega, itu pasti istrinya.
"Lalu siapa lagi huh?"

Sasya keluar dari kamar mandi dengan memakai piyama milik Bryan. Ia mengusap rambutnya yang masih basah.

"Tumben jam segini kamu udah mandi sayang." Ujar Bryan mengejutkan Sasya.

Tubuh Sasya menegang sesaat sebelum ia kembali rileks. Ia berlari kecil menuju Bryan dan memeluk erat tubuh suaminya.
"Kenapa memangnya? Ngga boleh gitu?"

Bryan terkekeh pelan, ia mengusap gemas pipi gembil istrinya. "Boleh kok, tapi kenapa kamu make baju aku hm?"

Sasya tersenyum manis, "Aku mau nyoba aja! Hehe.."

"Huh.. dasar." Bryan memeluk Sasya tak kalah erat.

"Bryan.. sekarang gak ada lagi yang mau merusak hubungan kita. Aku janji, siapapun yang mau misahin kamu dari aku. Aku gak bakal tinggal diam." Sasya membatin.

Next...

19 Jan 2019

Menara Cinta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang