Part 6

3.7K 270 4
                                    

Memasang dasi dengan tenang, Bryan mengingat kembali kejadian semalam. Tentang Sasya yang mengigau menyebut nama Bagas berulang-ulang.
Dahinya mengerut, jujur saja Bryan tidak suka mendengarnya.

"Tsk!"

Menolehkan kepala saat pintu kamarnya diketuk, Bryan beranjak untuk membukanya.

"Bryan?" Tanya Sasya sedikit ragu.

"Iya, ini saya." Jawab Bryan, ia menuntun Sasya masuk kedalam kamarnya.
"Ada apa?"

"Apa kau mau menemaniku sarapan?"

"Tentu saja saya mau, tapi sebentar lagi ya? Saya lagi siap-siap." Ucapnya sambil membereskan berkas-berkas untuk rapat hari ini.

Sasya mendengarkan dengan jelas, bagaimana pria itu membalik buku, memasukannya kedalam tas. Juga bagaimana pria itu membuka lemari dan menutupnya.
Sejak dirinya buta, Sasya sering mendengarkan hal sekecil apapun. Seperti nyanyian burung dan suara lainnya.

Bryan melirik Sasya, tersenyum tipis saat melihat gadis itu memiringkan kepala. Ah.. andai saja gadis itu tidak buta.
Ngomong-ngomong soal itu.. apa Lian sudah mendapatkan matanya?

"Sya, nanti siang saya jemput kam-"

"Memangnya mau kemana?" Potong Sasya cepat, gadis itu menggigit bibir. Merasa tidak sopan karena memotong pembicaraan.

"Kita ke rumah sakit, chek up." Sasya mengangguk patuh, ia mencoba berdiri. "Hati-hati." Ucap Bryan sedikit panik.
Pasalnya, gadis itu hampir saja menabrak meja kerjanya.

Mereka pun keluar dari kamar, Bryan menuntun Sasya saat menuruni tangga. Dan hampir saja Sasya terjatuh, jika Bryan tidak ada di sampingnya.
Saat mereka sudah sampai di ruang makan, Bryan menarik kursi untuk Sasya. "Duduk disini." Ia memberi intruksi.

Mia, kepala pelayan disana berdiri disamping Bryan. Memperhatikan Sasya sedari tadi, bahkan dari kemarin. Wanita separuh baya ini selalu memperhatikan Sasya.
"Kenapa tuan muda mau sama gadis buta ini?" Batin Mia heran. Ia akui, Sasya memang cantik. Tapi kecantikannya percuma jika Sasya buta. Pikirnya.

Bryan memotong roti lalu menyuapi Sasya.  Matanya tak sengaja melihat Farrel datang sambil membawa amplop coklat. "Cepat seperti biasa." Batinnya.

"B-Bryan.. biar aku sendiri saja. Kamu makanlah sarapanmu." Tolak Sasya halus saat Bryan akan menyuapinya lagi.
Sasya menolehkan kepala ketika mendengar suara langkah kaki mendekat kearahnya, atau lebih tepatnya kearah Bryan.

"Tenanglah, dia Farrel." Ujar Bryan tenang, seolah tau kegelisahan Sasya.

"Semuanya sudah lengkap." Bryan menatap Farrel dan asistennya itu mengangguk pelan, kemudian Farrel melakukan beberapa kode untuk memberitahu atasannya itu. Tampaknya mereka lebih nyaman berbicara lewat bahasa isyarat, karena hanya mereka saja yang tau.

"Oh ya, kemarin kamu telpon saya. Dari mana kamu tau letak telpon rumah serta nomor ponsel saya?" Tanya Bryan bingung. Seingatnya, dia tak pernah memberi tahu nomor ponselnya pada gadis itu.

Mia berdehem, "Nona yang meminta saya untuk menghubungi tuan."

Ah.. pantas saja.

"Saya berangkat kerja dulu, kalau kamu butuh apa-apa. Bilang sama Mia ya?"

Sasya mengangguk, wajahnya terlihat murung. Tapi sebisa mungkin Sasya tersenyum. "Hati-hati dijalan!"

Deg...

Bryan menatap Sasya lama, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan kata seperti itu padanya. "Hm.. terimakasih." Sebelum pergi, Bryan mengecup puncak kepala Sasya.

Menara Cinta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang