30/31 Setelah Makan Malam ☆

5 1 0
                                    

"Kau tau Bryan? Aku tidak sabar melihat kakak menikah." Ucap Sasya setelah membereskan sisa makan malam tadi.

"Lian akan segera menikah, dan hari itu pasti akan terjadi." Bryan menyesap kopinya pelan. "Kita tinggal menunggu hari baiknya saja."

Sasya menekuk wajahnya. "Ya aku tau, aku hanya ingin hadir di hari bahagia mereka."

Bryan melirik kearah Sasya, lalu tersenyum. "Lian pasti tidak akan melupakan adiknya, kau pasti diundang ke acara pernikahannya sayang."

Sasya terkekeh. "Benar juga, awas saja kalau kakak melupakan aku." Ujar Sasya berapi-api. Mendadak Sasya teringat dengan Sharon. "Bagaimana dengan kabarnya yah?" Tanyanya pada diri sendiri.

Bryan terdiam, siapa yang dimaksud istrinya ini? Batinnya bertanya-tanya.

Sasya memeluk Bryan dari belakang, "Bryan, aku mau ketemu dengan Sharon." Buru-buru Sasya mengatakan. "Kamu gak perlu khawatir lagi Bry, aku cuma mau berterimakasih padanya. Itu saja."

"Tapi jika kamu gak mengijinkan... aku gak akan pergi." Gumam Sasya lirih.

Hening.

Baik Sasya atau pun Bryan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Bukannya Bryan ingin melarang, namun terakhir kali Sasya bertemu dengan Sharon keadaan gadis itu tidak bisa membuatnya bernafas lega.
Mengingat banyaknya luka lebam pada tubuh istrinya membuat nafas Bryan terasa sesak. Lehernya terasa tercekik, meski tak ada seorang pun yang menyakitinya.
Bryan tau, pria itu masih mengingatnya. Sharon, gadis itu sudah berubah. Bahkan dia mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Sasya.

Bryan menghela nafasnya berat. Mengusap lengan istrinya yang masih memeluknya erat. Bryan memalingkan wajahnya.

"Baiklah, kamu boleh bertemu dengannya. Tapi dengan satu syarat." Bryan menatap Sasya dengan tatapan teduh. "Kamu harus membawa ponsel dan dompet, agar aku bisa menghubungimu."
"Dan jika aku tidak bisa menjemputmu, kamu bisa naik taxi atau menghubungi pelayan dirumah untuk menjemputmu." Jelas Bryan.

"Oke, terimakasih sayang!" Ucap Sasya tak lupa memberi ciuman dipipi suaminya. Bryan sempat ingin protes, lantaran Sasya menciumnya didepan paman Zhang. Kepala pelayan yang baru, paman Zhang bekerja dimansion ini menggantikan posisi Mia. Sebelumnya, ia mengurus mansion Bryan yang berada di China.

Yasudahlah.. toh mereka sudah halal. Bryan mendekap erat istrinya. Sebelum membawanya masuk ke kamar.

**
Apartemen Farrel.

Sharon baru saja membersihkan meja makan, saat ingin mencuci piring Farrel menghentikannya. "Biar aku saja." Katanya.
Namun Sharon menggelengkan kepala, menolak perintah dari Farrel. "Ngga, biar aku aja." Sharon dengan cepat memakai apronnya. Dan mulai mencuci piring. Sedari tadi Farrel memperhatikan Sharon, dan mendadak perasaannya menghangat.

"Hm, biarkan aku membantumu. Kali ini kau tidak boleh mencegahku nona." Pinta Farrel.

Sharon tersenyum tipis, kemudian mengangguk. "Baiklah jika kau memaksa tuan."

Hening.

Entah kenapa Sharon tidak menyukainya, ia tidak suka perasaan canggung tiba-tiba menyelimuti mereka. Dan Sharon teringat ingin membicarakan soal ia akan kembali bekerja. Sharon melirik Farrel ragu. Bingung dari mana.
Setelah selesai mencuci piring, Sharon melepas apronnya. Melihat sosok Farrel beranjak pergi, Sharon memutuskan mengikutinya dari belakang. Sampai ketika langkah mereka terhenti didepan pintu ruang kerja Farrel.

Farrel membuka pintunya, memasuki ruang kerja. Tiba-tiba Farrel menghela nafas berat ketika melihat beberapa berkas sudah menunggunya di meja. Farrel pun duduk, tangannya bergerak mengambil berkas.
Farrel sadar, Sharon mengikutinya sedari tadi. Namun pria itu masih tetap diam. Menunggu Sharon.

Sharon menggaruk kepalanya tak gatal, ia tahu Farrel sadar akan kehadirannya disini. Dan Sharon memutuskan untuk duduk diseberang Farrel, tangannya saling meremas satu sama lain. Ia benar-benar gugup.
"Farrel, aku ingin bicara." Katanya setelah lama terdiam. Suaranya sangat pelan, namun Sharon berharap ia mendapat atensi dari Farrel.

Sharon tau, pria didepannya ini pasti mendengar kata-katanya. Karena itu Sharon bersabar menunggu Farrel.

Farrel melirik Sharon sekilas, lalu kembali membaca berkas yang ada ditangannya.
"Katakan saja, aku mendengarkanmu." Katanya. Setelah itu Fatrel menndatangani berkas tersebut.

Sharon sedikit takjub, konsentrasi pria didepannya ini sangat bagus. Sehingga tidak terpecah walau ia mengganggunya.. err sedikit mengganggu Farrel. Tak heran juga, kenapa pria ini bisa menjadi asisten pribadi Bryan Handoko. Mengingat mereka sama-sama gila kerja.
"Besok aku mulai bekerja, dan setelah aku mendapat gaji aku akan pindah dari sini." Jelasnya perlahan.

Farrel terdiam, bahkan pria itu menutup berkas yang baru dibuka tadi. Fokusnya agak terpecah saat mendengar Sharon akan meninggalkannya. Pergi dari apartemen ini.
"Kapan kamu melamar pekerjaan? Kenapa kamu tidak memberitahu ku dulu tentang hal ini? Dimana kamu akan bekerja?" Tanya Farrel dengan beruntun. Nadanya terdengar sangat menuntut.
Ketenangannya saat terusik sekarang, ia tidak suka Sharon pergi dari hidupnya.

Sharon menelan ludah gugup melihat tatapan dingin dan menusuk itu, ia tidak menyangka reaksi Farrel akan seperti ini.

"Aku melamar pekerjaan dua minggu yang lalu. Maaf aku tidak sempat memberi tahumu. Saat itu kau tengah sibuk mengurus perusahaan tuan Bryan." Sharon menundukkan kepala, tidak kuat melihat tatapan dingin Farrel padanya. Mengapa? Kemana kepercayaan dirinya dulu? Bahkan ia sangat bangga dengan dirinya.
Namun, sejak ia hidup dengan Farrel. Ia perlahan merubah pola hidupnya. Tapi.. mengapa Farrel menatapnya sedingin itu?

Sebegitunya kah, ia membenciku? Pikirnya.

Farrel mengusap wajahnya. Bukan ia bermasud menakuti Sharon. "Kenapa kau ingin sekali pergi dari rumahku?" Ujarnya lirih.

"A-apa?" Sharon terkejut. Ia pikir Farrel membencinya.
Namun setelah mendengar kalimat Farrel. Kenapa malah justru nada menyakitkan keluar dari mulutnya.

"Apa kau tidak betah tinggal disini? Bukankah sudah ku katakan. Aku tidak mau kamu pergi dariku. Kenapa kamu tidak mengerti."

Farrel bangun, ia memilih berdiri dipinggir jendela. Menatap ke luar.

Sharon mengerti, ia bukan gadis yang tidak peka. Ia sangat bersyukur Farrel membantunya. Bahkan Farrel sempat menentang bosnya sendiri demi menyelamatkan dirinya. Tidak sebentar pula ia tinggal diapartemen ini. Ia mengerti perasaan Farrel.

Sharon beranjak mengikuti jejak Farrel, gadis itu berinisiatif memeluk pria berkacamata itu.
Farrel terkejut dengan tindakan Sharon, terbukti dari tubuh pria itu membeku beberapa saat.

"Bukan itu maksudku.. aku merasa nyaman tinggal disini. Hanya saja.." Sharon menggigit bibir bawahnya. Hatinya sedikit tercubit untuk mengatakan alasannya.

Farrel membalikkan tubuhnya, mengusap pipi gadis pujaannya. "Hanya saja?" Ulang Farrel.

Sharon mendongak, menatap pria didepannya ragu. "Aku canggung, kita... kita bahkan tidak memiliki hubungan yang jelas. Bagaimana.. bagaimana aku bisa bertahan disini. Dengan mu?"

Farrel terkejut, Sharon ternyata memikirkannya sejauh ini.

"Kalau itu yang kamu pikirkan, apakah kamu mau.. menikah denganku? Apakah kamu bersedia menjadi pendamping hidupku kelak?" Tanya Farrel beruntun.

Farrel mengumpat dalam hati, mengingat lamarannya tidaklah romantis sama sekali.

Menara Cinta [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang