Part 5

962 98 12
                                    

Satu minggu pernikahan Vando dan Layla, mereka berdua memutuskan untuk tinggal di apartemen saja. Mereka berdua takut jika orangtua Layla mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan pernikahan mereka. Lagipula mereka berdua sama-sama lelah menutupi fakta yang sebenarnya.

Dan disinilah mereka sekarang. Disebuah apartemen mewah yang baru dibeli Vando beberapa hari yang lalu.

Layla menatap ke sekeliling apartemen. Lumayan besar untuk ditempati oleh mereka berdua. Namun wanita itu menyukainya. Ia bisa memiliki banyak waktu untuk berdua saja dengan Vando. Siapa tahu hubungan mereka akan mulai membaik setelah ini.

Layla melangkah menuju kamar utama, dimana Vando telah masuk duluan.

"Aku boleh masuk begitu saja kan ?" Tanya Layla, dengan nada ragu. Jika dirumahnya dia bisa bertindak sesuka hati. Namun sekarang mereka tidak lagi berada dirumahnya. Dia takut, akan ada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pria itu.

Vando menganguk. "Kita suami istri, jika kau lupa."

Layla melangkah masuk. Lemari pakaian adalah tujuan utamanya. Karena dia ingin menata baju-baju yang mereka bawa disana.

"Wah, aku tidak menyangka lemarinya akan sebesar ini." Ucapnya berdecak kagum. Ia menggeser-geser pintu lemari tersebut.

"Kau bisa meletakkan apapun yang kau suka disana. Aku juga membeli lemari untuk tas dan juga sepatu-sepatumu."

Layla menoleh, menatap Vando yang juga menatapnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya, mengikuti arah tunjuk Vando. Ia kembali berdecak kagum saat melihat lemari kaca besar. Lemari itu khusus didesain untuk meletakkan tas beserta sepatu.

Ia kembali menatap Vando. "Terima kasih, Van. Aku sangat menyukainya." Ucapnya dengan tulus.

Vando menatap Layla yang tersenyum ke arahnya. Diam sejenak, ia lalu menganggukkan kepala. Hanya seperti itu. Tidak ada kata-kata lainnya.

***

"Van, kulkas kita masih kosong. Kau mau ikut berbelanja di supermarket depan ?" Layla mengajak Vando yang terlihat sibuk dengan laptopnya. Pria itu menoleh sekilas lalu menggelengkan kepala.

Layla mengangguk paham. "Aku belanja dulu kalau gitu."

"La..."

"Ya ?"

Vando mengambil dompetnya lalu mengeluarkan kartu kredit dari dalam sana. "Pakai ini untuk berbelanja."

"Tapi..."

"Pakai ini La !" Perintah Vando, tegas.

Layla menurut, ia mendekati Vando lalu mengambil kartu kredit tersebut dari tangan pria itu. Setelah itu ia benar-benar pergi untuk berbelanja, tanpa Vando tentu saja.

Layla bersyukur, apartemen yang mereka tinggali berhadapan dengan supermarket. Jadi dia tidak perlu pergi jauh hanya untuk berbelanja bahan makanan ataupun cemilan untuk mengisi kulkas mereka yang masih kosong.

Layla berkeliling supermarket tersebut, membeli apapun yang dibutuhkan lalu melihat list belanjaan yang tadi sempat dicatatnya. Wanita itu melompat-lompat, mencoba mengambil cemilan yang berada di rak yang paling tinggi. Dengan tubuhnya yang bisa dibilang mungil, ia merasa kesulitan.

"Biar saya bantu." Ucap seorang pria disamping Layla.

Layla menyingkir, lalu membiarkan pria dengan tubuh tinggi itu mengambilkan cemilan yang ia inginkan. "Terima kasih." Ucapnya saat pria itu memberikan cemilan tersebut.

"Tidak masalah. Ada lagi yang kau inginkan ?" Tanya pria itu lagi.

Layla menggeleng.

"Baiklah. Saya permisi."

Layla mengangguk lalu membiarkan pria itu melangkah mendahuluinya. Sementara ia kembali sibuk dengan list belanjaan di tangannya.

Tiga puluh menita kemudian, Layla telah selesai dengan belanjaannya. Ia sedang berada didepan lift, menunggu lift tersebut terbuka.

"Kau tinggal di apartemen ini ?" Tanya seorang pria.

Layla menoleh, ia terkejut karena kembali bertemu dengan pria yang menolongnya mengambilkan cemilan saat di supermarket tadi. Layla mengangguk, menjawab pertanyaan pria itu. "Kau tinggal disini juga ?" Layla balik bertanya.

Pria itu mengangguk. "Lantai 10, kau sendiri ?"

Layla kembali terkejut. Pasalnya ia juga berada dilantai 10. "Aku juga dilantai 10."

"Wah ternyata kita tetanggaan. Aku Allan." Pria itu mengulurkan tangannya.

Layla menjabat tangan pria yang bernama Allan tersebut. "Layla." Ucapnya menyebutkan nama.

"Senang bertemu denganmu, Layla."

"Senang bertemu denganmu juga, Allan."

Lift terbuka, menghentikan basa-basi diantara Allan dan Layla. Mereka berdua lalu masuk kedalam lift. Allan menekan tombol dengan angka 10.

"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kau baru pindah kemari ?" Tanya Allan lagi.

"Aku baru pindah hari ini, Lan."

"Sendiri ?" Tanya Allan lagi.

Layla menggeleng. Ia mengangkat tangan. Menunjukkan jari manisnya yang telah dilingkari oleh sebuah cincin.

Allan mengangguk paham. "Pengantin baru rupanya." Ucapnya lalu terkekeh pelan.

Layla ikut tertawa. "Kau sendiri bagaimana ? Sudah menikah ?" Tanya Layla.

Allan menggeleng. Ia juga mengangkat tangannya. "Belum ada cincin disini." Ucapnya lalu kembali tertawa pelan. "Dimana suamimu ?"

"Ada diatas. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya." Jawab Layla. Wanita itu tidak sadar dengan jawaban yang ia ucapkan. Allan mengerutkan dahinya, bagaimana bisa suami Layla tidak menemani wanita itu berbelanja sementara mereka adalah sepasang pengantin baru. Allan melihat mata Layla. Entah kenapa ia merasa ada kesedihan didalam sana.

Setelah itu Allan tidak bertanya lagi. ia membiarkan Layla hanyut kedalam lamunannya. Entah apa yang wanita itu fikirkan. Allan tidak bisa bertanya sekarang karena mereka baru saja bertemu. Dan sepertinya bukan kapasitasnya untuk bertanya kepada wanita yang baru saja ditemuinya ini.

***

Bersambung ~


Jangan lupa vote dan komen ya

Terima kasih :)

Vando & LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang