Part 12

737 68 7
                                    

Hari ke lima di Jepang. Vando dan Layla sedang sibuk mengemasi barang-barang mereka. Mereka harus kembali karena baru saja Layla mendapat kabar bahwa ibunya tengah dirawat dirumah sakit sejak tadi malam. Dan tanpa pikir panjang lagi, ia memutuskan untuk pulang sekarang juga. Beruntunglah Vando menyetujui ide tersebut. Pria itu turut khawatir dengan kondisi kesehatan Ibu mertuanya.

Bukan kali ini saja, Lily, Ibu Layla memang sudah sering dirawat karena kelelahan. Wanita paruh baya itu memang aktif di kegiatan sosial seperti membuka yayasan untuk anak-anak terlantar, mendirikan sekolah untuk anak-anak jalanan dan membantu warga yang kurang mampu agar bisa mendapatkan kehidupan yang layak.

Layla sudah sering mengingatkan Ibunya untuk mengurangi aktifitas tersebut. Bukan karena ia tidak suka, melainkan karena ia sedih setiap kali melihat Ibunya terbaring lemah di rumah sakit. Namun bukan Lily namanya jika tidak keras kepala. Dia tetap saja menjalani semua kegiatan tersebut, bahkan menambahnya jika ada yang membutuhkan bantuan.

"Van, aku minta maaf karena liburan kita harus berakhir lebih cepat." Ucap Layla, dengan nada menyesal. Harusnya ia dan Vando pulang 3 hari lagi.

Vando menatap Layla. Wanita itu memasukan barang-barangnya ke dalam koper. Meski tidak diucapkan, Vando tau bahwa wanita itu tidak tenang sekarang. Fikirannya pasti tertuju kepada Ibunya. "Tidak apa-apa La. Kita bisa berlibur lagi lain kali. Sekarang, kesehatan Mommy lebih penting."

Layla menoleh, menatap Vando. "Terimakasih Van." Ucapnya sambil tersenyum tipis.

***

Begitu sampai di bandara, Layla langsung meminta untuk diantarkan ke rumah sakit. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Ibunya. Vando meraih tangan Layla, mencoba menenangkan wanita yang tampak gelisah sedari tadi.

"Don't worry, Mommy baik-baik saja." Ucap Vando, menenangkan.

Layla tersenyum tipis. "Entahlah, aku hanya merasa mommy sudah tidak sekuat dulu lagi."

"Mommy adalah wanita yang paling kuat yang pernah aku temui. Mommy hanya butuh istirahat sekarang." Vando mengelus dahi Layla yang berkerut. "Jangan terlalu banyak berfikir, okay?"

Layla mengangguk.

Satu jam kemudian, mobil yang ditumpangi oleh Vando dan Layla berhenti di lobi rumah sakit. Layla turun duluan, disusul oleh Vando. Ia berjalan dibelakang Layla yang berjalan tergesa-gesa. Beberapa Dokter dan perawat menyapa Layla yang dibalas senyum tipis oleh wanita itu. Ya, Lily dirawat di rumah sakit dimana Layla bekerja. Tentu saja, bukankah rumah sakit tersebut milik Danis, suaminya ?

"Mommy!" Layla sedikit berteriak begitu memasuki ruangan yang bertuliskan VVIP dipintunya. Ia memeluk Lily, erat. Sementara Lily terkekeh pelan, lalu mengelus kepala Layla dengan tangannya yang tidak terpasang selang inpus.

"Sudah mommy bilang untuk lanjutkan liburanmu saja. Kenapa masih memaksa pulang."

Layla melepaskan pelukannya, lalu berdiri, kedua tangannya ia letakkan dipinggang. "Mommy mau melihatku marah ya ? Bukankah sudah kubilang untuk kurangi aktifitas mommy yang segudang itu ?"

"Layla..."Vando menegur Layla. Ia berdiri disamping wanita itu. Lalu memeluk Lily. "Cepat sembuh, mommy." Ucapnya.

"Terimakasih, sayang." Lily balas memeluk Vando.

"Mommy senang ? Dapat bala bantuan untuk membantahku ?" Layla memberengut.

"Tentu saja mommy senang. Akhirnya ada yang akan mendukung mommy selain Daddy."

"Pantas saja telinga Daddy berdengung sejak tadi. Ternyata kalian sedang membicarakan Daddy." Danis menyela, ia melangkah masuk.

"Daddy!" Layla berseru lalu memeluk Danis. Menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada pria itu. Ia memang selalu manja jika bersama Danis.

"Kau baru saja sampai ?"

Layla mengangguk dipelukan Danis.

Vando mendekati Danis, lalu memeluk pria itu, sekilas.

"Kalian sudah makan ?" Tanya Danis kepada Vando dan Layla.

"Layla tidak mau makan sejak tau mommy dirawat." Ucap Vando yang dihadiahi tatapan memberengut oleh Layla.

"Anak ini selalu begitu. Ia mengomeli mommy soal kesehatan sementara dirinya sendiri sering lupa menjaga kesehatan." Kali ini, giliran Lily yang mengomeli Layla.

"Mom, aku begini karena mengkhawatirkan mommy."

"Jangan banyak alasan sayang. Mommy tau kau sering melewatkan jam makanmu saat bekerja. Mommy sering mendapat laporan tentang itu."

Layla kalah telak. Dia tidak membantah lagi karena apa yang dikatakan Lily benar.

"Sekarang kalian makanlah. Mommy baik-baik aja disini. Lagipula ada Daddy yang menemani mommy."

Vando mengangguk. "Baiklah, kami akan keluar sebentar. Ada yang mommy inginkan ? Aku akan belikan nanti."

Lily menggeleng.

Vando dan Layla keluar dari ruangan Lily. Mereka berjalan beriringan. "Kau ingin makan apa ?" Tanya Vando.

"Kita makan dikantin sini saja ya ?" Pintanya yang langsung disetujui oleh Vando.

***

"Hai La." Layla menoleh ke sisi kanannya. Ada Beni dengan setelan lengkapnya. Pertanda bahwa pria itu yang bertugas hari ini. "Aku mendengar bahwa Ibumu dirawat, semoga Tante Lily cepat sembuh ya." Ucap pria itu.

Layla tersenyum. "Terimakasih Ben. Kau bekerja hari ini ?" Tanya Layla.

Beni mengangguk. "Aku berharap cutimu segera habis. Sungguh, aku tidak tahan lagi bekerja lama-lama bersama..." pria itu menggantung kata-katanya. "Kau pasti tau siapa yang kumaksud." Ucapnya sambil meringis.

Layla tergelak. Tentu saja ia tau siapa yang dimaksud oleh Beni. Salah satu rekan kerja mereka yang menyebalkan menurut mereka. "Kuharap kesabaranmu masih tersisa hingga aku masuk nanti."

"Kuharap juga begitu." ucap Beni, lalu tertawa pelan. pria itu berdeham pelan lalu menganggukkan kepalanya kepada Vando, menyapa pria yang mulai menatapnya tidak suka. "Baiklah, aku ke ruangan dulu ya." Dia pamit kepada Layla dan Vando.

"Semangat Ben!" Layla menyemangati Beni yang dibalas anggukan oleh pria itu.

"Kau sering bekerja bersamanya ?" Tanya Vando begitu Beni meninggalkan mereka berdua.

"Ha ?"

Vando memberi kode lewat mata. Bahwa pertanyaannya barusan berhubungan dengan Beni.

Layla mengangguk pelan. "Iya."

"Dan kau nyaman bekerja dengannya ?"

"Tentu saja. Dia rekan kerja yang menyenangkan."

Vando berdecak. "Kau sama sekali tidak berubah sejak dulu."

Layla mengernyitkan dahinya. "Apa maksudmu ?"

"Sejak dulu, hingga sekarang kau masih tidak bisa melihat bahwa pria-pria yang kau anggap teman itu menaruh perasaan terhadapmu."

Layla tertawa. "Kau salah paham Van. Beni tidak memiliki perasaan apa-apa kepadaku. Kami hanya berteman."

"Kau ingat Marsel ? Dulu kau juga bilang hal yang sama tentangnya. Lantas apa ? kau kebingungan sendiri saat ia menyatakan perasaaannya kepadamu."

Layla termenung sesaat. Marsel. Ia ingat pria itu. Seorang pria yang ia anggap teman paling dekat sewaktu kuliah dulu. Padahal Vando sudah mengingatkan untuk memberi batasan atas hubungan mereka. Namun Layla tidak percaya dengan ucapan Vando yang mengatakan bahwa Marsel menyukainya.

Layla menghela napas pelan. "Kuharap kau salah kali ini. Aku tidak ingin Beni memiliki perasaan kepadaku. Karena itu akan membuat hubungan kami menjadi canggung."

"Kuharap juga begitu."

***

Bersambung

Vando & LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang