Part 10

1.6K 114 23
                                    

"Van, kau mau mendengar komentar dariku ?" tanya Frans setelah Vando selesai bercerita.

Vando mengangguk. Menunggu apa yang akan disampaikan oleh Frans.

"Kalian berdua butuh jujur. Jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada pasangan."

Vando mengernyitkan dahi.

"Begini, kau harus jujur kepada dirimu sendiri tentang perasaanmu. Jangan menyangkal apapun. Cukup rasakan dan nikmati apapun yang tengah kau rasakan. Entah itu tentang Layla atau tentang pernikahan kalian. Kau dan Layla juga harus lebih banyak waktu untuk berdua, maksudku bukan hanya sekadar duduk didalam satu ruangan dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi lebih kepada duduk bersama dan mengobrol tentang apapun yang ingin kalian katakan, tanpa ditutup-tutupi."

Vando tertegun. Fikirannya menerawang, mengingat bagaimana interaksi diantara dirinya dan Layla. Mereka memang tidur bersama, makan bersama, bahkan berada diruangan yang sama sebelum memutuskan untuk tidur. Hanya saja, tidak ada obrolan ringan diantara mereka. Baik dia maupun Layla hanya akan berbicara jika ada hal yang penting.

Dia baru sadar ternyata kehidupan pernikahan yang ia jalani semembosankan itu.

"Kau baru menyadarinya ?"

Vando menatap Frans, lalu mengangguk pelan. "Aku fikir kami baik-baik saja selama ini."

"Tidak pernah dibahas bukan berarti tidak mengganggu bukan ? mungkin Layla mencoba memahamimu selama ini. Namun seseorang punya titik jenuhnya masing-masing. Bisa jadi, ia mulai merasa frustasi memikirkan hubungan pernikahan kalian."

"Menurutmu, apa tidak terlambat jika aku berusaha untuk memperbaikinya sekarang ?"

Frans menggeleng sambil tersenyum. "Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik, Van."

***

"La, pasienmu sudah habis hari ini ?" tanya Beni.

Layla mengangguk. "Baru saja selesai. Bagaimana denganmu ?" Layla balik bertanya.

"Aku juga. Mau minum kopi bersama sebelum pulang ?" Ajak Beni.

Layla berfikir sebentar. Lalu mengangguk. Menerima tawaran Beni untuk minum kopi bersama pria itu. Lagipula, dia belum siap untuk pulang ke apartemen. lebih tepatnya, dia belum siap untuk bertemu Vando.

Sejak Vando meninggalkan rumah tadi pagi, belum ada komunikasi yang terjalin diantara mereka. Meski Layla bolak-balik mengecek ponselnya. Namun tidak ada notifikasi dari pria itu. Ia dibuat kecewa sekali lagi.

Beberapa saat kemudian, Layla dan Beni telah sampai di sebuah kedai kopi. Mereka memesan jenis kopi yang mereka sukai lalu memilih duduk disalah satu sudut kedai tersebut. Sembari menunggu, Layla menyempatkan melihat ponsel. Helaan napas berat keluar tanpa ia sadari saat mendapati tidak ada pesan apapun dari Vando.

"Kau ada masalah ? kau terlihat tidak baik-baik saja La." Beni yang sedari tadi memperhatikan Layla mulai bertanya. Namun ia juga tidak akan memaksa jika wanita itu tidak mau bercerita.

Layla kembali menghela napas. Dia butuh bercerita. Namun dia tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Ia menatap Beni, ada dorongan dihatinya untuk bercerita kepada pria itu. Namun dia ragu.

"Kau masih belum percaya padaku ?" Tanya Beni, lalu tersenyum tipis.

"Aku hanya tidak suka membagi masalahku kepada siapapun."

Layla memang tidak biasa bercerita perihal permasalahan hidupnya. Ia lebih suka memendamnya sendiri. Fikirnya, belum tentu orang itu benar-benar peduli dengan masalahnya.

Vando & LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang