Part 9

1.2K 121 23
                                    

Layla mengikuti Vando yang berjalan didepannya, mereka baru saja menginjakkan kaki di lobi apartemen. Dan sejak meninggalkan rumah sakit hingga sampai di apartemen, Vando sama sekali belum mengeluarkan suaranya. Begitupun dengan Layla. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.

Begitu pintu lift terbuka, Vando semakin mempercepat langkahnya. Dapur adalah tujuan utama pria itu. Ia butuh segelas air minum, dan air minum dingin adalah pilihannya. Berharap emosi yang menguasainya meredam seketika.

Ia marah, tentu saja. Sejujurnya dia mendengar Layla berbicara ditelepon. Dan dia menunggu hingga wanita itu membangunkannya. Namun wanita itu tidak kunjung membangunkannya dan malah memilih untuk pergi di jam yang sudah tidak lagi aman bagi seorang wanita keluar sendiri.

Diam-diam Vando mengikuti Layla, dan dia kembali kesal saat melihat Layla justru menerima tawaran Allan untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Sebagai seorang suami, dia merasa gagal. Dan dia membenci itu.

"Van, are you okay ?" Layla bertanya, nadanya terdengar ragu. Cara Vando meminum air dengan tergesa-gesa membuatnya khawatir. Pria itu bisa tersedak nanti.

Vando berhenti minum, ia meletakkan botol minuman yang tadi ia ambil dari dalam kulkas. Lalu menatap Layla dengan tajam.

"Menurutmu, apa aku akan baik-baik saja saat melihat orang yang berstatuskan sebagai istriku keluar di tengah malam dengan diantar pria lain ? Yang benar saja ! Pertanyaan konyol macam apa itu. Apa kau kira pernikahan kita ini lelucon ? hingga kau memilih bantuan orang lain ketimbang meminta bantuan kepada suamimu sendiri ?" akhirnya kata-kata yang ingin diucapkan Vando sejak tadi keluar dari bibirnya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. Namun dia cukup sadar untuk tidak melempar apapun yang berada didekatnya.

"Aku minta maaf Van. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak ingin membangunkanmu karena kau baru istirahat sebentar. Aku tidak ingin kau terlalu lelah."

Vando mendengus. "Alasan konyol macam apa itu. Kau tidak ingin aku lelah atau memang hanya ingin diantar oleh Allan si brengsek itu ?"

"Bukan seperti itu Van. Aku tidak sengaja bertemu dengannya di lobi. Dan dia memaksa untuk mengantarkanku."

"Bilang saja bahwa kau memang tidak bisa menolak pria itu !"

Layla mengerutkan dahi. Sepertinya pertengkaran mereka sudah bukan lagi tentang dirinya yang tidak meminta Vando untuk mengantarkannya ke rumah sakit.

"Kau ini kenapa ? kau terdengar seperti membenci Allan."

"Tentu saja aku membencinya. Pria mana yang tidak akan marah jika ada pria lain yang mencoba untuk mendekati istrinya. Kau ini polos atau bagaimana ? pria itu punya maksud lain terhadap dirimu."

Layla menggeleng. "Kau berlebihan Van. Aku bahkan tidak dekat dengan Allan."

"Allan, Allan, Allan ! Sebut saja terus nama si brengsek itu !!!" Ucap Vando kesal, lalu melangkah melewati Layla.

"Kalau kau memang peduli denganku sebagai istri, setidaknya perlakukan aku sebagai seorang istri bukan sebagai orang asing yang terjebak hidup bersama denganmu !"

Vando sontak menghentikan langkahnya. Ia berbalik, menatap Layla yang terlihat seperti ingin menangis. Mata wanita itu berkaca-kaca. "Apa maksudmu ?" Tanyanya.

Layla balas menatap Vando meski matanya berkaca-kaca. "Itu kenyataannya Van. Kau tidak pernah memperlakukanku layaknya seorang istri. Kita lebih terlihat seperti dua orang asing yang terjebak hidup bersama. Bahkan hubungan kita sebelum ini jauh lebih baik. Jika aku tahu menikah denganku akan membuatmu seperti ini. Aku akan meminta kepada Daddy untuk membatalkan perjodohan kita."

Vando terdiam mendengar penuturan Layla. Alih-alih menjawab, ia justru pergi. Meninggalkan Layla yang mulai menangis terisak.

***

"Gila ya Van. Aku baru saja tidur satu jam yang lalu ! Tidak bisakah kau mencari jam lain yang lebih normal untuk bertamu ?" Frans memarahi Vando yang berdiri didepan pintu apartemennya. Meski begitu ia tetap menyingkir, membiarkan pria itu masuk.

Vando butuh teman cerita pasca pertengkarannya dengan Layla. Penuturan wanita itu membuatnya tersadar, mungkin ia salah. Meski dari awal Vando tidak menginginkan pernikahan ini, namun ia tahu bahwa pernikahan itu bukan sesuatu hal yang bisa dipermainkan. Dan dia tidak berniat untuk main-main dengan pernikahannya. Hanya saja, dia butuh waktu untuk bisa menerima semua ini.

Vando duduk di sofa yang ada di apartemen Frans. Ia bersandar seraya memejamkan mata. Wajahnya terlihat kusut.

"Kau ingin bercerita atau hanya butuh tempat untuk beristirahat ? karena aku butuh tidur sekarang juga." Ucap Frans, tanpa basa-basi.

Vando menghembuskan napas kesal. "Bisa-bisanya kau berfikiran untuk tidur saat melihat sahabatmu tengah kacau begini ?" Ucapnya dengan kesal.

Frans terkekeh pelan. "Baiklah-baiklah. Kau bisa bercerita. Tapi aku tidak yakin bisa memberikan solusi karena aku tidak bisa berfikiran jernih disaat tengah mengantuk seperti ini."

"Ucapanmu seolah kau sering memberikan solusi atas permasalahanku saja. Kau bukan ayahku, jadi buat apa aku meminta solusi kepadamu."

"Kalau begitu pergi saja temui ayahmu. Kenapa kau malah menemuiku !"

Kali ini Vando yang terkekeh pelan. Sedikit terhibur dengan kekesalan Frans. Setelah puas mengerjai sahabatnya, ia lalu mulai menceritakan keresahan yang ia rasakan kepada sahabatnya tersebut.

***

Bersambung ~

Jangan lupa vote dan komen ya.

Thank you :)

Vando & LaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang