1.Daftar sekolah

133 15 0
                                    

                    "Ada saat dimana kita perlu waktu sendiri, tanpa siapa pun tahu bahwa kita sedang hancur."


Hari ini adalah hari penentunya masuk ke sekolah yang orang tuanya inginkan. Walau awalnya sempat menolak, namun dia berpikir apa salahnya menuruti permintaan orang tuanya, ini kan juga demi kebaikannya.

"Nanti jangan lupa baca bismillah dulu.", kata ayahnya menyemangati dengan penuh harap dan bangga. Bangga? Jelas, Mirissa masuk ke sekolah dengan nilai yang memuaskan, tapi ingat hanya ayahnya yang bangga! Hanya ayahnya!

"Iya.", jawab Mirissa dengan senyum yang tak pernah luntur.
Senyum? Yah dia selalu tersenyum, fake smile sudah biasa baginya.

Pendaftaran dilakukan dari pukul 07.00 - 10.00 pagi, dan hasilnya memuaskan, dia masuk urutan ke tiga dalam pendaftaran dan besok, seluruh siswa yang keterima wajib turun untuk mengetahui apa saja yang perlu di siapkan untuk Masa Orientasi Siswa (MOS).
  

     

                 ***********

Keesokannya....
"Besok kalian jangan lupa buat papan nama ukuran 8cm x 15cm, bagi yang tidak membawa siap-siap untuk mendapat hukuman dari kakak, jelas?", seru ketua OSIS yang dari tadi menjelaskan  semua agenda dalam masa MOS.

"Jelas!", ucap seluruh siswa.

"Sekarang kalian boleh pulang, selamat siang! Dan hati - hati di jalan.", ucap ketua OSIS ramah.

"Huh", keluh Mirissa, hari pertama saja sudah capek kek gini, bayangkan saja dia dan seluruh siswa berada di lapangan upacara dalam waktu 3 jam, terik matahari yang sangat tidak bersahabat baginya, untung saja dia tidak mimisan, biasanya dulu dia selalu mimisan kalau berada dibawah terik matahari terlalu lama, bahkan sampai pingsan.

Di depan gerbang sudah sang ayah yang menunggunya.
"Bagaimana hari ini? Suka sama sekolahnya?", tanya sang ayah perhatian.

"Suka, asik banget tapi dijemur kek ikan asin tadi, hehehe:v", jawab Mirissa tak kalah bersemangat.

"Terus kamu gak papa? Gk mimisan kan?", tanya sang ayah khawatir.

"nggak kok yah, aman. ", ucap Mirissa santai.

"Syukurlah kalau gitu, sekarang mau pulang atau makan dulu sekalian ayah mau belanja buat keperluan jualan.", tanya sang ayah yang sudah memberikan helm pada Mirissa.

"Sekalian belanja aja yah kalau gitu, sayang uang bensinnya, hehehe:v", jawab Mirissa semangat yang kini sudah berada di atas motor.

"Ok, oh yah besok ayah gak bisa jemput kamu lagi, kamu pulang di jemput Rama aja yah?", tanya sang ayah sambil menjalankan sepeda motor, Rama? Yah itu kakak Mirissa yang duduk di bangku 3 SMK.

"Memang kak Rama mau, yah?", tanya Mirissa khawatir, dia tau betul kakaknya yang licik itu, semua apa yang dia inginkan harus terpenuhi, dan anehnya semua anggota keluarga sayang sekali kepadanya.

"Mau tadi ayah sudah bilang, kalau sampai dia gak jemput kamu kasih tau ayah aja biar ayah marahin dia.", ucap sang ayah tegas.

Memarahi Kak Rama? Yah kakaknya itu sering dimarahi oleh ayahnya, dan setiap ayahnya marahi, dia selalu menyiapkan bajunya untuk pergi dari rumah, hal itu yang membuat ibu dan ayahnya sering bertengkar, ibunya selalu membela kakaknya dan memarahi ayahnya, kejadian itu sudah sering terjadi. Bahkan ayah dan ibunya hampir bercerai karena masalah itu.

"Iya yah.", jawab Mirissa ragu, "aku harus menyiapkan uang lebih buat esok pulang.", pikirnya.

Perjalanan sudah dekat pasar yang dia tuju pun sudah kelihatan di depan mata. Mirissa melihat sekelilingnya banyak anak belia yang harusnya masih bermain ini malah bekerja membantu orang tuanya di pasar, padahal ini hari sekolah, mereka semua tidak bersekolah karena tidak ada biaya. Hal itu yang membuat Mirissa  bahagia dan bersyukur, masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari pada dirinya.

"Kita makan dulu yok.",tegur ayahnya menghamburkan lamunan Mirissa.

"Eeeh iya yah.", jawab Mirissa.

Mereka pergi ke warung makan dekat situ, kalau ketahuan ibunya makan di luar bisa habis dia dimarahi ibunya.
     

                    ***************

Selesai makan mereka masuk ke dalam pasar, hal ini sudah biasa bagi Mirissa. Dia sudah tidak asing dengan bau pasar, tawar menawar, dan pengemis dalam pasar.

"Sedekahnya nak.", kata nenek tua renta.

"Bentar yah nek. ", Mirissa mengeluarkan uang 10.000 untuk di kasih ke nenek tua itu.

"Adanya cuma segini nek.", kata Mirissa sedih.

"Gak papa nak ini sudah cukup, Makasih banyak. ", nenek itu pergi dan tersenyum ke arah Mirissa.

"Risa tolong bantu ayah bawa belanjaannya nak!", pinta sang ayah yang terlihat kerepotan membawa sayur-sayuran.

"Iya yah, sini.", jawab Mirissa yang sudah siap membawa pergi belanjaan.

Setelah selesai belanja di pasar mereka memutuskan untuke langsung pulang ke rumah karena sudah tidak ada yang diperlukan lagi.

            

                ******

Sesampainya di rumah iya langsung mengganti baju dan membantu pekerjaan rumah yang dikerjakan ibunya.

Yah selalu seperti ini dari kelas 3 sd dia sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah, waktu bermainnya dia gunakan untuk belajar, dan malam hari dia mengajar anak-anak sekitaran rumahnya untuk mengaji.

"Risa nyapunya yang betul", sang ibu memerintah.

"iya bu", jawabnya

"Habis nyapu bantuin masukin dagangan ayah kamu, habis tuh belajar, kejar beasiswa kamu, biar gak ngerepotin aja jadi anak, jangan nyusahin doang bisanya", jelas sang ibu dengan sedikit berteriak.

"Sudah lah bu, kasian dia kamu itu", bela sang ayah untuk mirissa.

"Belain aja terus anak kesayangan mu itu mas", sang ibu berkata dan meninggalkan ayah serta mirissa.

"Yang sabar yah sayang, ibumu memang gitu", ucap sang ayah yang menenangkan mirissa yang dari tadi hanya diam.

"Iya yah gakpapa", ucap mirissa tulus walau hatinya sudah sangat menangis.

"Sudah selesai yah", ujar sang mirissa.

"Oke sudah sayang, makasih yah anak ayah yang baik, ini uang buat kamu", ujar sang ayah sambil memberikan uang 50.000.

"Banyak betul yah", ucap mirissa kepada ayahnya.

"Nggak papa, kamu belikan kuota buat belajar selebihnya kamu tabung", jelas sang ayah menasihati.

"Oke makasih yah, hati-hati yah", ucap mirissa mengantar ayahnya. 

Selesai mirissa menyiapkan seluruh keperluan dagangan ayahnya, serta menunggu ayahnya berangkat, dia bersegera masuk ke dalam kamar dan bersegera belajar, karena hari ini tidak ada jadwal dia mengajar ngaji dia bisa tidur lebih cepat.

 

Saat-saat sendiri seperti ini lah dia bisa menangis dalam diam, dalam keadaan sendirian, tenang, dan diikuti malam yang sunyi, bahkan menangis dalam keadaan yang sedang belajar sampai dia tertidur di meja belajarnya. Menangis dalam diam adalah senjatanya untuk tetap terlihat bahagia.

Sudah biasa dia menangis seperti ini sampai tertidur, paling keesokan harinya dia terbangun dengan mata yang sedikit bengkak.

Bahkan orang-orang rumah sudah tidak peduli mengapa dia terbangun dengan mata yang membengkak, bertanya saja tidak, sudah dianggapnya itu adalah hal yang biasa, ntah sejak kapan dia seperti ini.
          

Dia bingung apa yang membuat dia dibenci seluruh anggota keluarganya, kecuali ayahnya mungkin sudah nasibnya begini, miris.

Bersambung....

Bppn
18-1-19

Senjanya RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang