Sakura terbangun ketika gerakan halus membuatnya sedikit terusik. Gadis itu mengerjapkan mata sekejap, menanti otaknya untuk merespon tentang jam berapa sekarang melihat ruangan yang mulai terang dan yang paling penting, semalam dia bobo dimana dan tidur sama—
Oh, demi kerajaan bikini bottom. Dia merasakan sandaran hangat dan keras, tapi empuk—astaga. Sepasang lengan berotot yang melingkar lengket di pinggangnya, Sakura menghirup aroma maskulin siapa lagi kalau bukan Uchiha Sasuke. Laki-laki itu masih jadi sleeping angel alias belum bangun. Sakura hanya bisa mengedipkan matanya, itupun kalau dia masih ingat berkedip ketika wajah senpai nya ini kelihatan ikemen.
Sakura masih belum sadar ketika kelopak mata Sasuke terbuka dan obsidian itu kini menatapnya, zamrudnya bertemu dengan obsidian milik Sasuke entah berapa menit telah terlewat. Tapi ketika Sakura melihat lengkungan di bibir Sasuke, gadis itu mengerjapkan matanya dan mulai lupa bernafas.
“Astaga—“ Sakura kalang kabut mencari jalan keluar, dan demi apa selimut Sasuke malah semakin membelitnya dan Sakura tenggelam. Alhasil gadis itu mulai kehabisan nafas disana.
Sasuke senang menontonnya, tapi mulai tidak tega ketika gadis itu tidak kunjung keluar dari jurus belitan selimutnya dan dia mulai mengkhawatirkan kesejahteraan Sakura disana. Maka Sasuke menariknya ke permukaan dan alhasil rambut gadis itu terlihat mencuat kemana-mana. Baju longgar karena memakai kaus seragam tenis kampusnya yang ukurannya terlalu besar di badan kecil Sakura dan celana pendek. Sasuke terdiam ketika kain di bahu kanan gadis itu melorot, Sasuke bisa melihat satu tali bertengger disana. Laki-laki itu berdehem,
“Kau mempelajari jurus belitan selimut dengan baik Sakura.”
Sakura menyipitkan mata mendengar penuturan Sasuke di hari minggu pagi yang seharusnya indah baginya, tapi mengingat ia menjadi tawanan seorang Uchiha gadis itu harus bersabar. Apalagi berurusan dengan Uchiha yang bungsu.
“Kau tahu senpai, tidak baik menghacurkan mood seorang gadis di pagi hari.” Sakura melipat tangannya dan menatap laki-laki itu dengan tatapan sinis. Sia-sia ketika mereka saling beradu pandang di atas kasur, yang ada membuat Sakura nafsu.
Nafsu makan, pemirsa. Dia lapar, oke? Bangun di pagi hari dia belum punya tenaga untuk berdebat dengan Sasuke.
Siapa sangka, pria itu ikut melipat tangannya dan menatap gadis itu setengah mengejek, “Oh, jadi kau masih gadis nona? Baguslah.”
A-Apa-apaan dia?!
“Tentu saja!” Sakura menjerit dan mulai untuk menyerang Sasuke. Gadis itu terguling sekali dan mulai untuk memukul Sasuke.
Ctak!
Sasuke mengerenyit dan Sakura terdiam, detik demi detik gadis itu kemudian terbelalak. Sasuke menyadari ada yang aneh dari Sakura dan lebih aneh lagi ketika tidak melihat tali di bahu Sakura.
“Hei, Aku tidak melihat tali yang tadi—“
Sakura ingin menangis, dan tentu saja dia menjerit “—Antar Aku pulang, TITIK!”
.
.
.
Sakura mendesah pasrah ketika Sasuke menginjakan kaki di apartemennya, memicingkan mata melihat setiap sudut ruangan yang menjadi tempat tinggalnya. Mungkin pria itu bisa menjadi phobia ruang sempit karena apartemen Sakura yang bahkan tidak sebesar ruangan kamar Sasuke, dia bisa melihat semuanya dari pintu masuk. Sebuah dapur ramping di lorong sebelum menuju kamarnya. Meja kecil di dekat kasur, terlihat sebagai meja makan dan meja untuk menjamu. Kamar mandi di seberang dapur. Sebuah ranjang berukuran single dan lemari.
Apalagi matanya yang semakin memicing, melihat warna kasur, seprai, bantal, guling, tirai, boneka dan alat memasaknya semua berwarna merah muda. Semuanya menyatu di ruangan sempit yang Sakura katakan sebuah tempat tinggal, dan untuk Sasuke mungkin sebuah kamar dengan tambahan dapur.
Melihat Sasuke yang melihat kondisi lingkungan apartemen dari balkon Sakura segera mengambil baju ganti dari lemari dan melesat pergi ke kamar mandi.
Sambil membuka pakaiannya Sakura menggerutu. Gadis itu melemparkan baju Sasuke ke keranjang cucian.
Gadis itu meringis melihat keadaan bra miliknya, “Oh. My. God.” Dan dengan polosnya Sasuke menanyakan keberadaan tali—seakan dia tidak tahu benda apa yang menempel di dada Sakura dan tali yang melintasi bahu dan punggung atasnya.
Sakura beruntung menemukan handuk miliknya menggantung di kamar mandi, meskipun itu adalah kebiasaan buruk. Sakura harus berterimakasih pada sifat pelupa nya untuk sekarang yang tidak menjemur handuk. Gadis itu memilih untuk membersihkan diri. Masa bodoh dengan Sasuke yang mungkin sedang melubangi dinding, berharap ukuran kamarnya berubah menjadi lebih luas. Pria itu tidak perlu mandi sepertinya, karena Sasuke hanya perlu mencuci wajah dan menggosok gigi saja dia sudah tampan. Bahkan kalau Sasuke tidak mandi selama tiga hari berturut-turut, perempuan disana bahkan akan kecanduan wangi ‘alami’ Sasuke.
Setelah menyelesaikan kegiatannya, Sakura keluar dari kamar mandi dengan kaus lengan panjang dan sebuah celana panjang berwarna biru laut. Gambar robot kucing abad 21 terpampang jelas disana. Dia menutup rambut basahnya dengan handuk. Gadis itu mendesah pasrah melihat tubuh tinggi Sasuke berbaring di atas ranjangnya sambil memainkan boneka. Dada Sakura berdesir aneh ketika Sasuke berada di wilayah teritorinya yang dominan berwarna pink.
Pria itu menatapnya cepat ketika Sakura melangkah keluar dari kamar mandi, Sasuke menatapnya datar. Mungkin merasa aneh dengan tema pakaian yang dipakai Sakura.
“Tidak ada televisi.” Ujarnya. Terlihat bosan dari wajahnya kentara sekali.
Sakura mendecih, dia menarik lacinya mencari hairdrayer tanpa berminat menjawab pertanyaan Sasuke. Kapan dia jadi maniak televisi? Jelas tidak mungkin ada televisi untuknya yang baru saja pindah ke Tokyo dan tidak pernah terpikirkan untuk Sakura membeli televisi. Dia bisa streaming lewat laptop atau ponsel, tidak ada benda yang berfungsi hanya satu saja.
Sakura menarik colokan listrik di bawah ranjang dan menghidupkan hairdrayer. Suaranya yang berdengung berisik mengisi keheningan di antara mereka.
Sakura mengibaskan rambut basahnya agar segera mengering, tidak lama kemudian hairdrayer di tangannya raib. Sakura mendelik melihat Sasuke yang mengambil haidrayer miliknya.
“Senpai. Hairdrayer bukan alat untuk mengisi kebosananmu. Kembalikan.” Sakura menengadahkan telapak tangan, menatap pada mata Sasuke yang lurus menatapnya. Alih-alih mengembalikannya, Sasuke mengarahkannya pada rambutnya.
“Aku ingin melakukan ini.” Oke. Sekarang Sakura memiliki seorang Direktur yang mengeringkan rambutnya. Tangan emas Madarame itu sedang mengeringkan rambutnya dengan sedikit kaku. Jelas ini kali pertama pria itu memegang benda bernama haidrayer. Sakura merasa rambutnya mahal sekali. Seharusnya dia menggunakan sampo yang lebih bagus.
“Kapan kau pulang, senpai?” tanya Sakura. Matanya hampir saja menutup ketika tangan Sasuke memijat kulit kepalanya pelan.
“Kau mengusirku?”
Sakura berdecih. Perempatan siku-siku muncul di dahinya. Hilang sudah topeng jelita miliknya selama ini. Wajah kyute nya sudah pegal dari hari jumat untuk mencoba berdamai dengan Sasuke. Apalagi dengan sikap menyebalkan pria itu.
Menggeleng pasrah, Sakura kembali berujar. “Kau membuang sepatu dan bajuku, kalau kau lupa atau setidaknya Aku bisa membantu memukul kepalamu agar amnesia mu menghilang.” Dia mengacungkan telunjuk di udara, memutarnya. “Seperti drama apa ya... Kurasa itu mantap sekali untukmu.”
Tidak ada jawaban dari pria itu, Sakura kembali menghela nafas. “Aku harus membeli sepatu baru, senpai. Kau tidak mungkin menemaniku ke mall dengan tampang mu yang bertebaran di setiap situs berita.”
Sasuke mematikan hairdaryer, Sakura baru sadar kalau rambutnya sudah kering dan disisir rapi. Dia mengambil kaca berukuran sedang di atas meja dan mengamati hasil karya Sasuke. Memuji pekerjaan pria jenius itu untuk skill salon menyalon, tidak buruk. Gadis itu melihat Sasuke dari pantulan cermin, pria itu kini memainkan ponselnya dan mungkin tidak berniat untuk beranjak sedikitpun darisana.
“Sudah sampai.” Ujar Sasuke yang membuat dahi Sakura berkerut tidak paham. Apa yang sudah sampai?
“Apa yang—“
Bel di apartemen sederhana Sakura berdering, masih dengan wajah yang kebingungan dengan sikap Sasuke. Gadis itu memutuskan untuk beranjak dan melihat siapa yang bertamu ke apartemennya.
Seorang pria, entah siapa namanya. Berpakaian rapih dengan jas hitam dan kemeja putih, di telinganya ada sebuah earphone dan masih terdengar berbincang dengan lawan bicaranya. Setelah menemukan Sakura yang membuka pintu, pemuda itu menatap Sakura dan tersenyum manis.
“Perkenalkan saya Mikazuki Tomoya, sekretaris Uchiha-sama.” Oh, Sakura hampir terkena ledakan sinar kelembutan pemuda cantik itu. Rambut cokelat halus nya sedikit terbang karena terlalu halus dan tipis. Berapa umurnya? Dan, apa tadi? Sakura melotot, sekretaris Uchiha? Uchiha yang mana?
Oh oke, Uchiha Sasuke.
Dimana Sasuke menemukan bishounen imut nan langka ini?! Arara, Tomoya-kun kenapa dia harus bernasib buruk di tangan Direktur menyebalkan itu?
“Ah, saya ditugaskan Sasuke-sama untuk memberikan ini pada Sakura-sama.” Suara halusnya terdengar dari bishounen bernama Tomoya itu sembari memberikan empat kantung belanja dengan motif berbeda pada Sakura. Masih dengan wajah Sakura yang melongo dan pemuda imut itu yang tersenyum tanpa dosa. “Kalau begitu saya pamit, Sakura-sama. Selamat siang.” Setelah mebungkukan badan dengan hormat pemuda itu kembali, Sakura masih menatapnya yang kini melaju dengan sebuah mobil hitam ramping mengilat yang sebelumnya diparkir disamping mobil putih milik Sasuke. Sakura bahkan tidak bisa mengatakan apapun bahkan untuk mengucapkan terimakasih pada pemuda itu.
Sekretaris? Kenapa Sakura tidak pernah melihatnya di rapat besar ya? Ah, Sakura menggelengkan kepalanya. Kenyataan yang ia terima secara bertubi-tubi ini membuatnya bingung. Gadis itu akhirnya melirik pada empat kantung kertas berukuran besar yang biasanya membungkus barang belanjaan. Ada beberapa nama perusahaan dagang bermerk disana. Tapi Sakura tidak ingat karena tidak pernah membeli satupun dari merk dagang itu. Gadis itu menutup pintu dan membawa empat kantong tadi kedalam untuk menemukan kembali Sasuke yang berbaring malas di kasurnya.
Penasaran, tanpa menghiraukan Sasuke gadis itu membuka satu persatu kantung yang dia bawa. Kedua matanya melotot begitu menemukan dua setel pakaian kerja, satu pasang sepatu berwarna merah muda pucat dan sepasang sepatu alas datar.
“Oh, sudah kukira pilihanku bagus.” Suara pria diatasnya membuat Sakura menyipitkan mata, pria menyebalkan itu kini sedang mengamati sepatu berwarna merah muda. “Tumit nya tiga sentimeter.” Sasuke turun dari kasur dan menarik Sakura untuk duduk di kasur menggantikannya. Pria itu kemudian memasan sepatu di kaki Sakura.
“Pas.”
Sakura masih mengamati pria itu yang menyimpan sepatu berwarna merah muda itu dan beralih mengambil sepatu beralas datar yang mirip dengan sepatu jaman bangsawan inggris berwarna biru tua dan hitam. Sasuke juga mengikat pita di kakinya.
“Ini juga cocok.”
Tanpa melepas sepatu yang sudah dipasangkan di kaki Sakura, pria itu mengambil setelan berwarna hitam di atas meja disaat Sakura berusaha mengambil kesadarannya.
“Stooop! Apa yang kau lakukan, senpai?” Sakura menahan Sasuke dengan telapak tangannya, menghentikan aktivitas yang hendak dilakukan Sasuke dan memicing melihat pria yang dengan santai merentangkan sebuah jas wanita didepannya.
“Darimana kau tau ukuran sepatuku?”
Sasuke menatapnya datar, “Sepatu yang kubuang. Ada nomornya, Sakura.”
Oke, Sakura bisa memahami itu. Tapi masalahnya adalah jas yang bukan kelihatan saja tapi memang ukuran badan Sakura.
Gadis itu menunjuk jas di tangan Sasuke dengan tatapan membunuh. “Lalu, kau bisa jelaskan darimana kau bisa mendapatkan ukuran untuk itu—“ Sakura menunjuk bagian bawah jas nya, sebuah rok. “...dan itu.”
Dengan menyebalkannya pria itu hanya menatap Sakura dalam diam, kemudian membuat darah Sakura naik ke ubun-ubun ketika seringai pria itu muncul.
“Aku memelukmu, Sakura. Kau ingat?” pria itu masih tersenyum, ada beberapa orang yang memang bisa mengukur ukuran tubuh seseorang hanya dengan memeluk. Tapi itu biasanya dilakukan oleh perancang busana yang sudah berpengalaman. Tapi sialannya Sakura berurusan dengan pria kelewat jenius yang tidak perlu menjadi perancang busa bertahun-tahun. “Apa Aku harus memukul kepalamu kalau-kalau otakmu itu mengalami amnesia?”
Sakura membelalakan matanya, tidak percaya dengan serangan balasan dari pria itu sekarang. Antara malu, dan ingin menjerit—marah, kesal. Sakura tidak bisa menentukan ekspresi mana yang harus ia munculkan sekarang.
Gadis itu memicingkan matanya dan mendesis, “...hentai.”
“Oh, kau baru tahu?”
Sakura ingin mengubur pria itu hidup-hidup.
TBC
Oh, well Aku masih suka ceritain kisah sehari-hari mereka, gimana dong? T_T belum masuk konflik sama sekali :P
Tapi mungkin chapter depan mereka sudah balik lagi ke posisi direktur sama pegawai ya. Tau kan ya posisi direktur dimana pegawai dimana hohoho #tamparberjamaah
Aku udah nganggurin si manajer tampan plus lempeng juga, hehe iyalah Abang Gaara kemana ya? :))
Sampai jumpa di chapter depaaan. Jangan lupa vote dan comment ya
Happy weekend guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink bride, Raven groom
FanfictionMenjalani kehidupan baru yang menyenangkan, lepas dari bayang-bayang masa SMA adalah impian Sakura. Tetapi kehidupan menyenangkan itu sepertinya tidak akan pernah terjadi. Bertemu kembali disaat kau bersumpah tidak akan bernafas dalam satu ruangan y...