Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnurusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahunsetelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali
Ibnu Rusyd sering dilatinkan sebagai Averroes, adalah seorang filsuf dan pemikir dari yang menulis dalam bidang disiplin ilmu, termasuk Filsafat, telologi atau Aqidah Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik. Karya-karya filsafatnya termasuk banyak tafsir, parafrase dan ringkasan karya-karya , yang membuatnya dijuluki oleh dunia barat sebagai "Sang Penafsir" (The Commentator). Ibnu Rusyd juga semasa hidupnya mengabdi sebagai hakim dan dokter istana untuk Kekhalifahan .
1) Masalah Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada. Pemikiran seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah ada sejak zaman azali Allah menciptakan alam ini bukan dari tiada tapi dari ada.
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada, masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd menyandarkan pendapatnya ini dengan Qs Al-Anbiya: 30
2) Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus: 6
"Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata"
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakanjuz'i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz'i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup berbagai jenis (nau'). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz'i dan kulli. Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.
3) Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam Qs.Yasin: 52
"Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ?. katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang segala makhluq"
Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : "Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas didalam pikiran" dan ucapan Ibn Abbas RA : "Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal keduniawian kecuali nama saja". Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.
Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali sendiri tidakkonsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutulfalasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang muslimpunyang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunyamengenai tasawwuf dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada nantihanya kebangkitan rohani. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwaperbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaaninterpretasi tentang ajaran dasar tentang kebangkitan di akhirat , bukanperbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanyaperbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan katalain perbedaan otak antara satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalammemahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat , hal ini lumrah terjadidikalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepadakekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benardalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalamijtihadnya ia menadapat satu pahala.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafiryang dilontarkan Al-Ghazali terhadap filosof Muslim dalam 3 butir masalahdiatas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka kelirunamun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jikatuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim melanggar ijma', maka dalampemikiran mereka tidak ada ijma' ulama secara pasti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Philosophy's World
RandomWhat is philosophy ? *Referensi di atas berasal dari buku dan internet !