Denting sendok terdengar nyaring di ruang makan Mahesa Giandra.
Suasana mencekam menemani makan malam keluarga itu.
Mahesa sedang menunggu panggilan dari asisten pribadinya mengenai kabar putrinya, Caca yang keluar dari rumah dari tadi pagi bahkan sudah lebih dari dua belas jam putrinya belum kembali.
Mahesa bukan takut Anaknya dijambret, dilecehkan atau tindakan yang dilarang norma.
Namun, ia khawatir putrinya membuat onar yang berujung membawa nama baiknya.
Bukan sekali ini Caca berulah, hampir setiap hari ia membuat kedua orang tua dan kakanya kalang kabut dengan prilakunya yang sangat melenceng dari kata normal.
Clubing, trek moge, berkelahi bahkan ia ketua geng kumpulan orang-orang tidak jelas yang bernaung di bawahnya.
Hampir semua temannya itu satu kampus dengannya, walaupun berbeda jurusan.
Caca yang supel dan energik disukai banyak orang, apalagi ia cantik.
Tidak sedikit cowok di kampusnya yang jatuh hati pada cewek jelita itu, bahkan partner kerja papanya pernah melamar Caca untuk putra mereka.
Bukan tanpa alasan Mahesa menolak lamaran mereka, ia tau benar perilaku putrinya.
Jadi, dari pada ia malu, lebih baik menolaknya sehalus mungkin.
Khalil pulang dengan wajah masam, ia melihat Ayah dan ibunya, Maharani di ruang tamu.
Ibunya yang masih terisak, karena putri semata wayangnya belum juga ditemukan, Sedangan Ayahnya mondar mandir dengan tangan bertaut di belakang sisi tubuhnya.
Mahesa menatap putranya dan Asisten pribadinya.
"Bagaimana?" tanyanya tak sabar.
Khalil dan asisten pribadinya, Adam menggeleng pasrah.
"Maaf Tuan, kami sudah melacak seluruh sudut kota, namun Nona kami tidak menemukannya." ucap Adam.
Mahesa kehilangan kendali.
Ia membanting keramik oval di sisi sofa dengan wajah panas.
Maharani memegang lengan putranya, ia takut saat suaminya kalap seperti ini, dan kejadian ini selalu berhubungan dengan peilaku putrinya.
"Anak kurang ajar," Mahesa hampir berteriak saat mengingat perangai Caca.
"Kali ini, kalau dia buat ulah, jangan ada yang peduli." Desisnya.
Hampir jam dua malam, Adam, menerima telepon dari kantor polisi.
Ia segera menghubungi Mahesa dan memberi kabar tentang Caca.
Mahesa geram.
"Mas, kendalikan emosimu," ujar Maharani mengusap lengan suaminya.
"Bagaimanapun, ia putri kita." lanjutnya.
Mahesa meninggalkan istrinya, ia keluar dan menghubungi Adam.
Pernyatannya untuk tidak peduli hanya isapan jempol, ia tetap menyuruh Adam ke kantor polisi dan mengurus Caca.
💕💕💕💕
Jam sudah menunjukkan angka tiga saat Adam dan Caca masuk ke rumah.
Mahesa memandang Caca dengan tatapan marah, seakan ia akan menelan anaknya itu hidup-hidup.
Mahesa melihat luka di wajah putrinya sudah kering tanpa ada anti septik, baju dan celananya persis seperti pengemis di lampu merah.
Jangan tanyakan rambutnya, kalau pernah melihat sangkar burung yang terkena puting beliung, seperti itulah penampakannya.
Caca menunduk.
Ia tidak berani beradu tatap dengan Ayahnya.
Sedangkan Rani hanya diam.
Ia sedih melihat keadaan putrinya, apalagi luka di wajahnya.
Pasti sakit.
Rani menyeka ujung matanya.
Ia tidak berani mendekat, karena suaminya telah memperingatkan.
Padahal ia tidak kuasa menahan untuk memeluk putrinya.
"Kamu dari mana?" Mahesa masih menatap tajam putrinya walaupun ia sudah tau ulah yang dibuat Caca.
Caca tidak berani mendongak, ia lebih memilih melihat sepatu kets nya.
"Em...." gugup, iya. Caca tidak bisa menjawab pertanyaan Ayahnya. Bukan tidak bisa, ia takut.
Sangat takut.
"Dari mana kamu Kiana Anasya?"
Caca gemetar mendengar suara Ayahnya, apalagi Mahesa menyebutkan nama panjangnya?
"Ma...af Yah," cicitnya hampir tak terdengar.
Mahesa mengetatkan rahangnya. "Bagaimana lagi cara Aku mendidikmu, hah?"
Khalil baru turun dari kamarnya saat ia mendengar teriakan Ayahnya.
Ia melihat penampilan Caca yang kucel.
Benar-benar anak ini, batinnya.
"Kamu mau jadi jalang hah?" bentak Mahesa.
"Caca cuma motoran...." sela Caca mendengar kalimat Ayahnya yang menyentil sudut hatinya.
"Motoran katamu?" Mahesa mengusap wajahnya Frustasi. "Itu balap liar Caca, kalau motoran kamu nggak akan berakhir di kantor polisi."
Caca berdecak dalam hati.
Polisinya aja yang lebay, gerutunya.
"Ayah tidak sanggup lagi mendidikmu," ucap Mahesa. Ia melanjutkan kalimatnya. "Minggu depan kamu menikah."
Seketika Caca mendongak melihat Ayahnya.
Menikah?
Gila.
Rani terkejut mendengar ucapan suaminya.
"Caca nggak mau nikah," ucapnya spontan dan mantap.
"Tidak ada bantahan." final, Mahesa meninggalkan mereka semua yang ada di ruangan itu.
Caca memandang ibunya, Rani ikut prihatin melihat putrinya.
"Bu, Caca nggak mau nikah," rengeknya hampir menangis.
"Makanya, jadi cewek itu jangan setengah-setengah," omel Khalil.
"Kak," Caca ingin menyumpal mulut kakaknya itu.
Rani memeluk putrinya.
Saat matanya memindai wajah putrinya, ia menyentuh luka goresan. "Sakit dek?"
Caca mengangguk.
"Sakit, tapi ngeyel." Khalil meninggalkan ibu dan adiknya, ia ingin melanjutkan tidurnya.
"Adam, kamu boleh pulang." ucap Rani saat melihat asisten suaminya.
"Baik, Nyonya. Saya permisi."
"Ke kamar adek yuk, ibu bersihin lukanya." Rani menggandeng lengan putrinya.
Malaikat penolongku, batin Caca menatap wajah ibunya dengan senyum termanisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA BERSELIMUT TASBIH ✔
RomanceJUDUL AWAL ISTIKHARAH CINTA Harga novel 80.000 PART SUDAH TIDAK LENGKAP KARENA KEPENTINGAN PENERBIT. Bulan dan bintang tidak pernah menyatu, tetapi mereka selalu beriringan. Namun kita? Tidak bisakan engkau menjadi bintang yang selalu berada di sisi...