Intro

1.7K 100 7
                                    

Summary:

Rasa ngeri merayapi setiap sel di tubuh Yuki, memenjarkan potongan-potongan nyali yang tersisa dalam diri gadis itu.

Yuki terkesiap, gadis itu gemetar ketakutan melihat sesuatu -tidak- seorang pemuda dibawah onggokan daun dengan kondisi mengenaskan. Masih bernyawakah? Atau..

Tidak-tidak. Ia harus positif thinking. Mungkin saja seseorang dibawah sana masih bernyawa -walau ia sendiri tak yakin berapa presentase pemuda itu bertahan hidup di cuaca sedingin ini.

.
.
.

Terinspirasi dari cerita Singularity milik author favorit saya ChiMaggie . Awalnya mau bikin lanjutan cerita itu dengan imajinasi saya -karena penasaran ceritanya kok belum di lanjutin- tapi saya memutuskan buat yang berbeda namun ada yang sama -Maaf, Stefan-nya sakit jiwa-

Kritik dan saran sangat di perlukan. Jangan lupa tinggalkan jejak seperti vote dan komentar. Karena setiap jejak yang kalian tinggalkan sangat penting untuk author agar lebih rajin lagi menulis cerita ini😁.

Salam, @Nuralalolin

***

L is for the way you look at me
O is for the only one I see
V is very, very extraordinary
E is even more than anyone that you adore...

Dentuman suara Michael Bublé dari piringan hitam milik toserba -tempat Yuki bekerja- sayup-sayup tenggelam dalam pendengarannya. Gadis itu sesekali bersenandung kecil mengikuti irama lagu, tak sadar jika sedari tadi seorang pria sedang menatapnya.

"Hei!" Seru si pria.

Yuki berjengit dari posisinya, gadis itu segera mengangkat sedikit wajahnya lalu tersenyum saat mendapati pria yang berdiri di ambang pintu adalah Jullian -teman kerjanya. "Hei, kau sudah datang. Sejak kapan?"

"Yup. Baru saja." Jullian mengulas senyumnya dan menutup pintu toserba hingga membuat sapuan angin terasa sampai ke tempat Yuki berada.

"Uh dingin sekali." Cicit Yuki pelan. Gadis itu menyempatkan diri melongok ke arah dinding kaca -yang sebagian besar mendominasi toserba. Hujan deras lagi-lagi turun di penghujung musim gugur membasahi tanah di Belanda, membuat langit pukul sepuluh malam yang memang sudah gelap, semakin pekat. Sialnya, Yuki baru menyadari bahwa ia sama sekali tak menyiapkan payung. Padahal, dengan kedatangan Jullian, itu artinya ia harus pulang. Membiarkan Jullian mengambil alih shift-nya. Sial, memang.

"Apa kau lupa membawa payung -lagi?" Suara Jullian mengambil atensi Yuki sepenuhnya. Pria itu mengerutkan dahinya melihat ekspresi aneh terpancar dari wajah Yuki. Menatapnya dengan tampang melongo diselingi dengan tawa polos -yang lebih menjurus ke tawa seorang anak kecil saat tertangkap melakukan kesalahan oleh ibunya. "Tebakan ku benar, bukan?"

Malu-malu, Yuki menganggukan kepalanya. Pipi putih merona miliknya, mencebik lucu membuat Jullian menahan rasa gemas dalam hati.
"Tadi pagi aku bangun kesiangan." Curhatnya sembari memijat pelipis. "Kau pasti sudah tahu kan, bagaimana aku jika sudah terlambat. Aku melupakan payung ku. Bahkan ponsel ku saja ketinggalan." Akunya jujur.

Lagi, Jullian mengulas senyumnya. Mudah ditebak. Bersahabat dengan Yuki selama beberapa tahun sejak mereka duduk di bangku universitas, sedikit banyak membuat Jullian memahami sifat Yuki. Pelupa dan ceroboh, salah satunya. "Ah, selalu saja seperti itu." Ucap Jullian dengan tangan kiri merogoh sesuatu dalam tas. "Mungkin nama Yuki tidak cocok untuk mu." Candanya.

"Ish, kau ini." Yuki menggerutu namun beberapa detik kemudian ia tersenyum melihat benda yang di sodorkan Jullian -sebuah payung hitam bermotif polkadot. Kalau di pikir-pikir, selera Jullian memang agak aneh. Terlepas dari hal tak penting itu, Yuki bersyukur. Ia tak perlu menggigil kedingan atau basah-basahan -dan berakhir flu- karena payung milik Jullian menyelamatkannya.

"Ini, pakailah. Kebetulan aku membawa dua."

"Woah, terimakasih. Aku akan mengembalikannya besok."

"Henh. Kalau begitu pulanglah. Hati-hati di jalan."

"Oke, sampai jumpa besok."

Setelah mengatakan itu, perlahan Yuki mulai berjalan menjauh, meninggalkan Jullian yang diam-diam tersenyum hangat ke arahnya.

.
.
.

Mobil van hitam berhenti tepat di depan sebuah lorong yang berada di pinggiran kota Den Haag. Dua orang lelaki dewasa keluar dari sana menyeret seorang pemuda yang tampak tak berdaya. Tubuh pemuda itu penuh luka lebam dan darah mengalir deras dari perut sebelah kanannya.

"Fred! Apa kau yakin kita akan menghabisi-nya di sini?" Tanya salah satu lelaki bernama Sean pada temannya yang ia panggil dengan nama Fred.

Lelaki itu mengangguk dengan yakin. "Jalanan ini tidak pernah di lalui oleh polisi. Kita akan menghabisi-nya di sini dan membuang mayatnya di danau."

Raut wajah Sean sedikit berubah, lelaki itu memperhatikan keadaan pemuda di tengah-tengah mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. "Tidak kah ini keterlaluan, kita sudah merusak mentalnya. Aku yakin bahkan untuk mengingat jati dirinya saja dia tidak bisa."

Kedua alis Fred saling bertautan, menimbang ucapan Sean. "Kau tahu, bukan. Dia berbahaya. Membiarkan-nya hidup sama saja dengan menanti ajal menghampiri kita."

"Jika begitu, biarkan aku yang melakukannya."

"Tapi -"

Tsk.. tsk.. mulut Fred bungkam ketika melihat Sean menembak pemuda yang mereka seret dengan brutal.

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang