09. Jullian & William

515 87 28
                                    

Masih mengingat satu deretan kalimat "aku akan menuruti semua kemauan mu." -milik William. Kali ini Yuki benar-benar menggunakan kalimat itu dengan baik. Duduk di atas sofa berbekalkan bolpoint dan kertas di tangan, gadis itu mulai menuliskan sesuatu -menuliskan keinginannya.

"William." Panggil sang gadis.

Yang di panggilpun menunduk dengan dua tangan masih setia memegang handuk untuk mengeringkan surai panjang kecoklatan milik Yuki yang masih basah. Posisi William saat ini, berdiri tepat di belakang gadis itu. "Ada apa?"

Ngomong-ngomong, Keduanya memang sering melakukan kegiatan seperti ini -saling mengeringkan rambut. Kalau tidak sang gadis yang mengeringkan rambut sang pemuda maka sang pemuda lah yang bergantian mengeringkan rambut gadis itu.

"Karena hari ini aku sibuk, ku serahkan tugas belanja bulanan pada mu, semua daftar belanjaan sudah ku catat di kertas ini." Ucap Yuki sembari memberikan kertas itu pada William.

Sebelah tangan William mengambil kertas itu dengan kernyitan halus tercetak jelas di dahinya. "Sebanyak ini?" Tanyanya. "Mengapa kita tidak belanja bersama saja?" Lanjutnya berucap. Bukannya William keberatan membayar semua daftar belanjaan menggunakan gajinya, hanya saja ia belum terbiasa berbelanja sendirian tanpa Yuki.

"Tidak bisa, William. Aku benar-benar sibuk. Dan ini adalah permintaan ku. Kau sudah berjanji, bukan? Akan menuruti semua permintaan ku. Jadi, jangan mengeluh, okay?" Balas Yuki panjang lebar membuat William mendesah pasrah.

"Ini?" Netra coklat William membulat sempurna begitu membaca satu deretan daftar belanjaan yang menurutnya sangat tak lazim. "Kau pasti bercanda, bukan?"

Si gadis mendangak, melihat tulisannya yang di tunjuk oleh William dan dengan santainya gadis itu menggeleng. "Aku tidak bercanda, tuan William."

Surai kecoklatan miliknya yang mulai memanjang, menjadi sasaran jambak yang ia lakukan sendiri. William tertawa tak percaya. Apakah gadis ini masih normal? "Demi Tuhan, Yuki. Kau menyuruh pemuda seperti ku untuk membeli pembalut?"

Memasang wajah tanpa dosa, gadis itu mengangguk. Ia menarik tangan William untuk mengeringkan sisi kiri rambutnya yang masih basah. "Persedian ku sudah habis, tolong belikan yang sama seperti biasanya. Jangan lupa. Ukurannya 35."

Lagi-lagi William mendesah. "Bagaimana bisa kau meminta seorang pemuda seperti ku untuk membelikan sesuatu yang -bukankah itu privasi seorang wanita?" -ada ringisan frustasi di dalam kalimat itu. Namun, Yuki mengabaikannya.

"Aku hanya meminta tolong untuk membelikannya. Bukan meyuruh mu untuk memakainya." Ucap Yuki sembari menarik kembali tangan William yang sempat berhenti mengusak rambutnya. "Dus je kunt ontspannen." (So, you can relax).

Pada akhirnya, pemuda itu hanya bisa terdiam dan menuruti permintaan Yuki -walau sebenarnya, ia tidak tahu akan di letakan di mana wajahnya setelah membeli benda sakral tersebut?

Tak apa. Demi Yuki, William.

.
.
.

William merapatkan coat di tubuhnya sembari menyiapkan sepeda yang akan di gunakannya untuk berbelanja. Tak jauh dari tempatnya berada,  Yuki sedang menatapnya —bersandar pada daun pintu dengan wajah tersenyum. Tak lama kemudian,  gadis itu mendekat, menghampirinya.

"Sudah membawa catatan ku?" Tanya gadis itu bersamaan dengan jemari lentiknya yang terangkat membantu mengancingkan coat milik William.

"Ya." Jawab pemuda itu singkat.

Si gadis menyelipkan kepalanya melalui pundak sang pang pemuda, menumpukan dagunya di sana. "Maaf ya." Katanya pelan namun masih mampu terdengar oleh pemuda itu, karena memang si gadis mengucapkannya tepat di telinga kiri sang pemuda.

"Untuk apa?" Tanya William dengan senyum mengembang. Ia tahu maksud permintaan maaf Yuki tetapi memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

"Intinya maaf." Ucap gadis itu sekali lagi dan ucapannya mendapat balasan berupa usapan pelan dari pemuda itu di puncak kepalanya.

"Oke. Tapi sekarang, bisakah kau membiarkan ku pergi?"

"Kalau kau ingin pergi, ya tinggal pergi saja. Aku tidak menahan mu." Yuki masih belum memindahkan dagunya dari pundak William yang kini sudah menaiki sepeda —bersiap untuk berangkat berbelanja. Gadis itu tidak sadar posisinya membuat si pemuda tak bisa beranjak.

Dengan gemas William menoleh membuat kedua hidung bangir itu bertabrakan. Yuki tersadar, buru-buru gadis itu menjauhkan wajahnya dari wajah William. Gadis itu sangat terkejut.

Nyaris saja. Kalau tidak, mungkin mereka akan...

"Kau sudah sadar?" Tanya William dengan senyum gemasnya. Begitu gemas melihat wajah Yuki tiba-tiba bersemu. "Kalau kau terus seperti tadi, aku tidak bisa berangkat."

"A—ah ya. Ma—maaf aku lupa." Balas Yuki terbata. "Kalau begitu hati-hati. Sampai jumpa nanti malam." Dengan berakhirnya ucapan itu, Yuki berlari cepat memasuki rumah. Gadis itu memegangi pipinya yang memanas karena insiden beberapa menit yang lalu. Sedang di luar sana, William mengkayuh sepedanya dengan senyum yang belum pudar.

.
.
.

Jullian menyipitkan matanya ketika melihat seseorang yang familier mendekati stan tempatnya berada saat ini. Pria asli Belanda berdarah Irish itu segera menyapa seseorang yang di lihatnya begitu orang itu mendekat.

"Hi, Will."

William —orang yang di lihat Jullian— tersenyum ramah dan menepuk pundak Jullian bersahabat. "Hi, apa kau juga berbelanja?" William bertanya sembari memperhatikan beberapa tomat yang berada di tangan Jullian.

"Seperti yang kau lihat." Jawab Jullian tersenyum. "Apa Yuki yang menyuruh mu berbelanja?"

"Ya." William mengangguk mengiyakan. Sebelah matanya memicing seolah berniat menggoda Jullian yang beberapa bulan ini sudah sangat akrab dengannya. "Oh, ku rasa kau memiliki jadwal yang padat. Mengapa kau ada di sini? Apa Hannah yang memerintah mu?"

Tawa geli Jullian terdengar. Lelaki itu mengangguk mengiyakan. "Ck, kau tahu sendiri, bukan? Nyonya Hannah sangat senang memberi perintah. Sama seperti Yuki. Aku rasa, kau juga bernasib sama dengan ku. Kita ini sama-sama budak mereka."

Ucapan Jullian sontak mengundang tawa William. "Kalau di pikir-pikir. Ucapan mu memang benar, Jul." Mereka berdua tersadar bahwa mereka memiliki nasib yang sama —sama-sama tak bisa membantah jika para wanita memberi perintah untuk berbelanja.

"Hannah sangat menyeramkan jika aku tak menurutinya." Jullian berseloroh sembari kembali memilih sayuran segar. "Dia tak segan-segan untuk mengomeli ku."

William tampak mengangguk-anggukan kepalanya. Keduanya malah terlihat seperti seorang suami yang sedang curhat mengenai istri mereka. "Yuki lebih menyeramkan. Dia tidak akan berbicara dengan ku selama 24 jam penuh jika aku tak memunih permintaannya."

"Kalian masih sangat beruntung, anak muda." Pemilik stan yang sejak tadi hanya diam dan menyimak, kini ikut berbicara. "Istri ku akan menyuruh ku tidur di gudang jika aku malas bekerja." Seloroh si pria hingga mengundang tawa William dan Jullian.

"Kami turut prihatin, pak." Ucap William.

"Wanita memang selalu berkuasa."

Dan lagi-lagi, mereka tertawa di ikuti oleh si pemilik stan. Saat mereka sedang asyik berbincang-bincang, seorang pria berpakaian serba hitam terlihat sedang mengamati mereka dengan seksama. Lebih tepatnya pria itu tengah mengamati William dengan tatapan tak percaya.

Jullian sepertinya sadar bahwa ada seseorang yang sedang mengawasi mereka. Lelaki itu tiba-tiba berdiri di belakang William. "Kapten, kita harus meninggalkan tempat ini."

William menghentikan kegiataannya. Wajah pemuda itu tampak kebingungan. "Barusan kau memanggil ku apa?"

Jullian mendesah, ia mencengkram pergelangan tangan William dengan erat dan segera mengajak pemuda itu berlari. "Nanti saja bertanya-nya. Saat ini kita harus bersembunyi."

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang