13. Promise

601 91 18
                                        

Pagi itu hari tampak suram. Awan mendung menghiasi sebagian besar kota, membuat waktu pukul delapan pagi terlihat tak ubahnya seperti malam —sebenarnya, ini adalah cuaca yang tepat menggambarkan perasaan gadis itu setelah mendengar pengakuan si pemuda.

Hatinya juga suram, akan tetapi ia berusaha untuk tegar.

Tak apa, suatu saat ini akan terjadi. Dan hari ini, terjadilah.

"Yuki, aku—" kata-kata itu tak sempat di lanjutkan oleh William —tidak, tidak, sekarang pemuda itu sudah tahu nama aslinya. Akan lebih baik jika memanggil nama asli pemuda itu, Stefan.

"Aku mengerti, Stefan." Sela Yuki dengan wajah tersenyum. Gadis itu mencoba untuk tegar —tidak menampilkan senyum palsu, walau hatinya terasa bergemuruh. Toh ia sudah tahu sejak awal, konsekuensi memiliki perasaan —yang secara tidak sengaja tumbuh seiring kebersamaan mereka— akan berakhir bahagia atau sebaliknya —mengenaskan.

Pada kenyataannya, pemuda itu pastilah memiliki kehidupan yang berbeda dengan yang di jalani pemuda itu bersamanya. Yuki tak ingin bersikap egois karena cinta sepihaknya —atau mungkin bukan cinta sepihak. Nyatanya, Stefan juga diam-diam telah menaruh rasa cinta pada gadis itu namun memilih untuk menyembunyikannya karena tak ingin membuat keputusan yang salah. Stefan masih ingat dengan jelas statusnya yang telah di ekspos oleh sahabatnya, Jullian. Akan tetapi, bohong kalau ia bilang ia bisa melupakan hari-harinya bersama Yuki. Bohong kalau hatinya juga saat ini tampak tenang. Bohong kalau ia tak mengingat tindakan cerobohnya tadi malam yang bisa membuat hati gadis itu tersakiti.

Bodohnya.

"Aku—"

"Tak apa." Lagi-lagi Yuki menyela. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menatapi dedaunan yang terkena derasnya air hujan. "Aku senang pada akhirnya kau bisa menemukan titik terang akan identitas mu." Yuki memilih bersikap kooperatif pada keadaan. Pada takdir mereka —Stefan yang memiliki keluarga serta tunangan dan ia yang mencintai Stefan, akan tetapi ia harus mawas diri begitupun Stefan.

Stefan tercenung melihat gadis itu masih mempertahankan senyum tulus padanya yang terlihat kuat di luar sekaligus rapuh di dalam. Ia bukanlah orang yang tak peka, melihat tingkah laku gadis itu dan kelembutan gadis itu selama ini, membuatnya mengerti bahwa gadis itu menyayanginya setulus hati.

Dadanya tiba-tiba terasa sesak, tenggorokannya tercekat tak dapat berkata apapun tatkala melihat gadis itu mendekatinya dan menepuk kedua bahunya dengan lembut. "Kau harus mengingat ini, aku akan selalu ada untuk mu. Walau nantinya setelah kau mendapatkan ingatan mu dan akan meninggalkan ku, tak masalah. Walau kau melupakan kebersamaan kita, tidak apa. Bagaimanapun juga, ibu, ayah dan tunangan mu, masih menunggu mu. Beberapa bulan ini mereka pasti mencemaskan mu dan hidup dalam kepedihan. Kau harus menjalani terapi yang di sarankan Hannah, kau harus memulihkan ingatan mu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mu, tapi aku di sini, aku akan membantu mu semampu ku."

Kedua matanya memanas mendengar ucapan itu, sesuatu di dalam dadanya seakan ngilu melihat ketulusan si gadis.

Tidak ada kepura-puraan, tidak ada siasat ataupun menuntut balas di dalamnya. Perkataan itu benar-benar murni, semurni bulir air yang tiba-tiba menetes dari kedua sudut matanya.

Yah, Stefan menangis.

Gadis ini sejak awal, terlalu polos dan baik hati.

Tangan besar Stefan meraih dan menggenggam tangan yang lebih kecil darinya, meletakan telapak tangan kecil yang terasa hangat di tengah cuaca dingin itu ke sisi pipi kanannya, menenggelamkan wajahnya di sana, menangis tanpa berkata-kata.

"Jangan menangis. Bukankah harusnya aku yang menangis, aku kan perempuan!" Yuki mencoba berkelakar di tengah-tengah kesedihan yang melingkupi mereka. Sejatinya, gadis itu adalah gadis yang ceria. Walau hatinya menjerit ingin menangis, tetapi ia tidak bisa seperti itu, karena ia tak ingin membuat Stefan merasa terbenani dan merasa bersalah padanya.

Stefan mengusap air matanya dengan sebelah tangan yang bebas. Mendangak menatap wajah malaikat penolongnya yang kini tertawa geli dengan air mata meluncur. "Ck, kau juga menangis, bodoh." —entah sampai kapan kita bisa berbincang dan bertatap muka seperti ini.

"Aku bukannya menangis. Ini namanya air mata karena menahan tawa lucu, bodoh." Balas gadis itu asal —Pada akhirnya aku menangis juga.

"Cih, siapa suruh kau mengeluarkan kata-kata tulus seperti itu. Laki-laki juga manusia dan bisa menangis." Balas Stefan. Stefan tahu, Yuki menangis bukan karena merasa lucu melihatnya dan ia memilih berpura-pura menerima alasan konyol gadis itu.

"Hei, maukah kau berjanji pada ku?" Yuki berucap dengan serius menatap netra hazel Stefan dengan intens.

"Kau ingin aku berjanji apa?" Stefan juga menatap netra hazel Yuki. Berusaha meyakinkan gadis itu bahwa ia akan berusaha memenuhi permintaan gadis itu.

"Jangan pernah lupakan aku."

Stefan tertegun sejenak. Lalu beberapa saat kemudian tersadar dan berdiri menghadap Yuki. Ia menatap Yuki begitu lama.

Seakan mengerti dengan maksud tatapan si pemuda, gadis itu mengangguk dengan ulasan senyum, tangannya di rentangkan memberikan ijin pada si pemuda untuk memeluknya.

"Ya, aku berjanji."

Dari balik di balik tembok pembatas ruangan tempat mereka berada, Hannah dan Jullian menyaksikan mereka. Hannah tampak sedih, ia menggenggam tangan Jullian dengan erat.

"Kau tidak perlu khawatir. Yuki bukan anak-anak lagi. Putri kecil mu sudah bertumbuh menjadi gadis dewasa."

Hannah tetap diam, tak menjawab. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jullian.

"Tindakannya amatlah berani dan benar. Kau sebagai sahabat yang bertindak sebagai ibunya, harus mendukungnya." Jullian menunduk, tersenyum pada Hannah.

Hannah membalas senyum itu dengan senyuman tulus. "Terimakasih. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah membantu mereka."

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang