14. Don't Say Goodbye

729 92 14
                                    

Tersisa satu hari baginya untuk menghabiskan waktu bersama Stefan. Yuki tak ingin terlihat bermuram durja, yang ia inginkan di hari terakhirnya bersama pemuda itu di penuhi dengan canda tawa. Karenanya, ia berusaha untuk tidak merusak hari mereka.

Tidak ada tangisan, tidak ada penyesalan. Biarlah takdir yang menentukan jalan hidup mereka kedepannya. Saat ini adalah waktu yang tepat membuat kenangan-kenangan indah yang sewaktu-waktu mungkin saja akan mereka rindukan.

Yuki menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Ia tampak cantik memakai syal merah yang membalut leher hingga pundaknya di padukan dengan Coat coklat tua panjang yang menutupi hingga bawah lutut. Lalu, di puncak kepalanya tersemat topi rajut berwarna senada dengan syalnya. Gadis manis itu berputar-putar bak seorang putri raja yang mencoba gaun baru dan hal itu malah mengundang tawa kecil Stefan yang sedang duduk di atas tempat tidur.

"Apa aku cantik?"

Segera, Stefan mengangguk setelah mendengar pertanyaan sang gadis. Kedua telapak tangannya menyatu, menghasilkan suara tepukan. "Hemh, kau cantik." Jawab Stefan jujur.

Yuki memamerkan senyum manisnya. Merasa puas mendapat tanggapan dari partner seatapnya. "Jujur, kau juga terlihat tampan." Puji Yuki. "Tidak buruk memakai atribut yang sama. Kita terlihat seperti anak kembar."

Kedua alis coklat Stefan mengerung, tak setuju tampaknya. "Oh ayolah, bukankah kita terlihat seperti pasangan?" -sayangnya, kalimat itu tidak di suarakannya. Stefan mawas diri, ia bukanlah pemuda single. Ia memiliki tunangan -Alley- dan sejatinya, ia tak ingin menyakiti perasaan kedua wanita yang sama-sama memiliki peran penting di dalam hidupnya.

Yuki juga memiliki peran penting untuknya. Walau mungkin ini salah, tetapi Stefan tak dapat memungkiri, perasaannya terhadap Yuki tidak sesederhana kelihatannya. Rumit.

"Apa yang kau lamunkan?"

Stefan tersadar dari pikirannya. Ia berjengit begitu melihat Yuki telah berada tigapuluh centi meter di depannya. "Ah! Maaf. Aku terlalu asyik menatap tumpukan salju." Dustanya.

"Oh!" Yuki sama sekali tak menaruh curiga, gadis itu malah mengedarkan pandangannya keluar jendela. Benar saja, salju turun sangat deras hingga menutupi sebagian besar jalanan di kota. "Cuacanya agak buruk, apa kita batalkan saja acara kita?"

"Tidak." Stefan menolak dengan tegas membuat Yuki terkejut. "Kau sangat ingin bersepeda, bagaimana mungkin kita membatalkan acara bersepeda kita?"

Benar, mereka telah sepakat berjalan-jalan berkeliling kota menggunakan sepeda dan itu permintaannya sendiri. Bagaimana bisa ia membatalkan acara bersepeda hari ini? "Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda." Kilah Yuki. "Walau badai menerjang, kita tetap haru berjalan-jalan." Ia tertawa renyah dan Stefan terpana melihat tawa itu.

Yuki benar-benar defenisi sempurna dari kata cantik. Atau mungkin kalau ia boleh jujur meski membuatnya terdengar cheesy, Yuki itu ethereal layaknya putri-putri di deskripsikan di dalam dongeng.

"Oke, ayo pergi!"

.
.
.

Puas mengelilingi kota memakai sepeda, Yuki memutuskan untuk mengajak si pemuda berjalan kaki. Cuaca nyaris menyentuh minus dua derajat Celcius kala itu. Dinginnya sampai menembus tulang. Namun, di tengah kedinginan itu, secerca kehangatan dari genggaman tangan Stefan membuatnya merasa nyaman. Sejak tadi, pemuda itu terus menggenggam tangannya dan memasukan tangannya ke dalam saku Coat pemuda itu. Membuat pipi Yuki yang sudah merah, bertambah lebih merah lagi. Hati Yuki pun ikut menghangat. Gadis itu merasa ia adalah gadis yang paling berbahagia di dunia ini -karena bergandengan tangan dengan orang yang diam-diam telah mengisi hatinya.

Banyak tempat yang mereka kunjungi. Mulai dari kedai di jalanan yang menyajikan makanan-makanan khas Den Haag, taman, toko buku, hingga ke pasar telah mereka hampiri, destinasi terakhir mereka adalah taman.

Pengunjung di taman tidak sebanyak biasanya, mungkin karena kebanyakan dari mereka memilih menghabiskan waktu di rumah -duduk manis di depan perapian untuk menghangatkan tubuh.
Stefan membersihkan kursi dari tumpukan salju lalu mempersilahkan Yuki duduk di sana.

"Terimakasih!" Ucap Yuki dan segera duduk sembari menarik tangan Stefan agar duduk di sampingnya.

Stefan tersenyum menanggapi ucapan gadis itu. Tiba-tiba ia menarik tangan Yuki agar berbalik menatapnya. Sebelah tangannya mengeluarkan sebuah camera yang ia pinjam beberapa hari lalu dari Hannah dan cekrek! Selembar kertas persegi keluar dari dalam camera menampilkan potret wajah Yuki yang sama sekali tak bisa di bilang telah siap untuk di foto.

"Astaga! Kenapa tidak bilang lebih dulu?!" Pekik Yuki.

Stefan tertawa renyah mendengar pekikan itu. "Tak apa, dengan gaya apapun, kau tetap terlihat cantik." Jawabnya jujur.

Yuki yang tak terima segera merebut paksa camera itu dari tangan Stefan dan aksi saling rebut pun terjadi. Hari itu mereka benar-benar menghabiskan hari terakhir mereka dengan canda tawa.

.
.
.

Matahari bersinar terang menembus pepohonan yang di tutupi salju. Stefan berdiri di depan Yuki membiarkan gadis itu merapikan seragam tentara yang ia kenakan. Rasanya sangat aneh melihat dirinya dalam balutan seragam itu. Seragam yang dua hari lalu di antarkan Jullian untuknya.

Stefan terus mengamati jemari lentik Yuki yang mulai mengancing seragamnya. Sesudahnya, gadis itu merapikan kerah seragamnya.

Kegiatan yang tengah mereka lakukan nyaris seperti kegiatan pasangan suami istri, di mana sang istri selalu siap membantu suaminya memakai pakaian kerja. Hal itu membuat Stefan diam-diam meringis karena kenyataannya, gadis itu bukanlah istrinya.

"Kau terlihat gagah dan tampan mengenakan seragam ini, kapten."

"Benarkah?"

Yuki mengangguk, mendongak menatap Stefan lekat-lekat dan tak lama kemudian bulir-bulir air mata keluar membasahi pipinya di ikuti oleh isakan kecil yang keluar dari mulut gadis itu.

Stefan terenyuh melihatnya. Ia membawa Yuki ke dalam pelukannya, memeluk gadis itu erat dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya.

"Ma-maafkan aku.. aku tidak ingin menangis tapi aku tidak bisa mengontrolnya." Ucap Yuki di sela tangisannya.

Stefan tak menjawab, ia hanya menepuk punggung Yuki untuk menenangkan gadis itu. Sejujurnya, ia pun ingin menangis tapi ia menahannya karena tak ingin membuat Yuki semakin bersedih.

"Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal, Stef. Bisakah kau tetap tinggal bersama ku?"












STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang